Ontology Ilmu Syar`I dan Sejarah Pentasyriatan
Oleh: Muhajir Syarifuddin,Lc,MA
Pendahuluan
Sejarah pentasyriatan atau
yang lebih dikenal dengan sejarah fikih Islam selalu memiliki kedudukan khusus
dalam cabang ilmu keIslaman, dengannya kita mengetahui perkembangan ilmu fikih
dalam rentang masa yang sekian lama dari semenjak kemunculannya. Dengannya juga
kita memahami hakikat syariat, yang manusia tidak akan mampu berjalan dengan
sendirinya tanpa syariat yang mengayominya, yang selalu jadi pelita yang menerangi
jalan hidupnya, menjelaskan kepada mereka yang benar dan salah dalam kehidupan
duniawi dan ukhrawinya. Syariat yang berasal dari Allah swt yang memberikan
kita kecukupan dari mencari hukum-hukum manusia yang tidak pernah terlepas dari
kekurangan-kekurangan, dan kontradiktif antara satu pasal dengan pasal lainnya,
sebagaimana firman Allah swt:
ولو
كان من عند غير الله لوجدوا فيه اختلافا كثيرا
“ kalau
sekiranya dari sisi selain Allah, maka kalian akan mendapati dalamnya banyak
perselisihan”
(QS
al-Nisa 82)
Walaupun ilmu mengenai
sejarah pentasyriatan ini merupakan salah satu dari sekian ilmu wasilah dalam
cabang ilmu keislaman, sama sekali tidak mengurangi betapa penting dan
urgentnya ilmu ini untuk dipahami oleh setiap Muslim, bagi yang mempelajari
sejarah pentasyriatan akan terpampang didepan matanya perbedaan yang sangat
mencolok antara syariat Islamiyah yang bersumberkan wahyu dengan qanun atau
hukum konvensional yang bersumberkan kemashlahatan `aqliyah semata.
Mengingat ilmu ini
masih sangat baru dalam dunia ilmu keIslaman, maka sangat jarang kita dapatkan
tulisan dalam bentuk karya bidang ilmu tersendiri untuk cabang ilmu ini, hampir
bisa dipastikan yang pertama kali mengarang dalam masalah ini dalam bentuk
karya yang terpisah: Syeikh Muhammad bin al-Hasan al-Hajawi al-Tsa`alibi (wafat
1376 H) dalam bukunya al-Fikri al-Samy fii Tarikh al-Fiqh al-Islamy,
setelahnya baru bermunculan berbagai macam buku dalam bab ini.
A. A. Pengertian
Sejarah Pentasyriatan Islam
Untuk lebih mengenal
sejarah pentasriatan Islam tentunya kita harus terlebih dahulu memahami
defenisi dari Syariat itu sendiri. Dalam bahasa Arab kata Syariat itu
memberikan dua arti:
Pertama, al-Thariqah al-Mustaqimah atau
jalan yang lurus, sebagaimana
firman Allah swt:
ثم جعلناك على شريعة من الأمر
“kemudian kami menjadikanmu berada diatas jalan yang lurus
dari perkara kami”
Kedua, tempat
tampungan air yang dituju oleh orang-orang yang ingin meminum
Sedangkan
dalam pengertian istilah syar`inya adalah apa saja yang disyariatkan Allah swt
untuk hambanya baik berkaitan dengan aqidah, ibadah, muamalat dan akhaq, yang
bertujuan mengatur tatanan hidup manusia dengan berbagai latar belakang mereka,
untuk menggapai kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Tentunya dua pengertian
syariat ini (antara bahasa dan istilah) sangat saling berkaitan, dikarenakan
syariat Islam sebagai sebuah hukum yang memiliki pondasi yang kokoh, asas
peristinbatan yang teratur, lurus manhajnya, mampu mengarahkan manusia menuju
jalan yang lurus didunia dan akhirat, disamping itu syariat Islam bagaikan
sumber mata air yang memberikan kehidupan untuk jiwa-jiwa, sebagaimana halnya
sumber mata air yang memberikan kehidupan untuk jasad dan badan. Wallahu`alam.
Maka,
sejarah pentasyriatan Islam dapat kita simpulkan sebagai ilmu yang membahas
tentang keadaan fikih Islam, baik dari masa kerasulan, dan masa-masa
selanjutnya.
B. B. Kebutuhan Manusia yang sangat mendasar terhadap Syariat Ilahi
Manusia
yang tercipta dalam taqdirnya sebagai khalifah dimuka bumi adalah makhluk
social secara thabiatnya, tidak ada satupun dari mereka melainkan pernah dan
akan terus bermuamalat dengan lainnya, baik sebagai perorangan, masyarakat,
negara, suku dan seterusnya, kita tidak akan terlepas dari transaksi jual beli,
ikatan pernikahan dan hal-hal yang bersangkut paut dengannya, baik mahar
ataupun nafkah, ataupun apa yang terjadi setelahnya dari talaq perceraian dan
al-khulu`. Kadangkala sebagai manusia yang sarat dengan kekurangan kita
terjerumus dalam hal-hal yang bersifat `udwani yang melampaui batas, maka,
terjadinya kasus pembunuhan, kriminalitas, pencurian, perampokan, pemerkosaan,
caci dan makian, dan banyak lainnya yang tidak pernah terlepas dari kehidupan
sosial manusia.
Maka sudah
seharusnya manusia memiliki satu pegangan yang mampu mengatur tatanan kehidupan
muamalat social mereka, yang mampu menjelaskan hak-hak dan kewajiban setiap
mereka terhadap lainnya. Tentunya pegangan ini berasaskan keadilan sehingga
bisa diterima oleh segenap makhluk di alam semesta. Sifat manusia yang tidak
pernah luput dari kekurangan, kefakirannya yang sangat mendasar terhadap
tuhannya, dan sifatnya yang selalu mengutamakan syahwat dan hawa nafsunya
menuntun dia untuk mendahulukan kemashlahatan dirinya dibandingkan orang lain
menjadikan manusia bukan makhluk ideal sebagai poros hukum, yang menciptakan
hukum dan lainnya. Dengan itu Allah swt tidak pernah meninggalkan manusia ini
dalam kesia-siaan, akan tetapi Allah menjadikan untuk manusia ini aturan-aturan
yang berasaskan keadilan, serta syariat-syariat yang menuntun mereka kearah
kebaikan. Menjadikan untuk mereka syariat-syariat yang menjelaskan bagaimana
seharusnya mereka berinteraksi dengan tuhan mereka, yang dikenal dengan ilmu
aqidah dan tauhid, dan menjadikan juga berbagai bentuk peribadatan seperti
shalat, puasa dan lainnya, yang mengindikasikan secara nyata tidak adanya
perbedaan antara manusia satu dengan lainnya, semua mereka beribadah kepada
satu tuhan yaitu Allah swt. Kemudian Allah swt juga meletakkan untuk mereka
berbagai macam aturan dan syariat yang berkaitan dengan interaksi social
mereka, baik syariat yang berkaitan dengan harta, keluarga, kriminalitas,
akhlaq dan suluk, mengatur kehidupan social mereka sesuai dengan semua
tingkatan dan jenjangnya, mengajarkan rakyat bagaimana seharusnya mereka
berinteraksi dengan pemimpin mereka, dan sekaligus mengajarkan para pemimpin
bagaimana seharusnya mereka mengayomi rakyat-rakyat yang mereka pimpin,
sehingga tidak ada satupun kebaikan dan kemashlahatan melainkan syariat sudah
menuntun kita kearah kebaikan tersebut, Allah berfirman:
أفحكم الجاهلية يبغون ومن أحسن من الله حكما لقوم يوقنون
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari, dan tidak ada hukum
yang lebih baik dari hukum Allah kalau mereka menyadari” (QS al-Maidah 50)
C. C. Perbedaan antara Syariat yang berlandaskan Wahyu dengan Qanun-qanun buatan Manusia
Dari
pemaparan perbedaan yang akan disebutkan menunjukkan kepada kita bagaimana
agungnya qanun syariat yang berlandaskan wahyu dibandingkan dengan qanun buatan
manusia yang selalu tidak pernah luput dari kekurangan dan kontradiktif antara
satu dengan lainnya. Diantara perbedaan paling mendasar antara qanun syariat
dengan hukum/qanun buatan manusia, kita ringkaskan dalam beberapa poin berikut
ini:
1. Perbedaan
sumber qanun, syariat Islam bersumberkan Allah swt sang pencipta, sedangkan
qanun buatan manusia bersumberkan manusia, tentu sangat jelas perbedaan antara
Allah sang khaliq dengan manusia makhluknya, dan yang pastinya produk sang
pencipta akan sangat berbeda dengan produk makhluknya
2. Syariat
yang berlandaskan wahyu jauh dari nilai dhalim dan ketidak adilan, kekurangan,
dan hawa nafsu, karena dia bersumberkan Allah. Sedangkan qanun manusia tidak
akan pernah luput dari yang disebutkan, karena sifat dasarnya manusia yang tdk
pernah terlepas dari kebodohan, dan kecondongannya terhadap hawa nafsu
3. Syariat
Islam sangat lebih komprehensif dibandingkan hukum manusia, karena syariat
mencakup permasalahan aqidah, ibadah, muamalah, akhlaq dan lainnya, sedangkan
hukum manusia selalu berporos ke hukum madani yang berkaitan dengan muamalat
social, perekonomian yang merupakan kewenangan negara biasanya
4. Syariat
ilahi selalu bersifat positif dan negative dalam aturannya, datang dalam bentuk
perintah dan larangan, perintah kepada hal yang ma`ruf dan larangan dari
kemungkaran, sedangkan hukum manusia selalu bersifat negative, datang dalam
bentuk larangan-larangan terhadap perkara-perkara yang merugikan orang lain,
tanpa pembebanan terhadap kema`rufan.
5. Balasan
yang diganjarkan bagi yang menerapkan qanun ilahi, baik ganjaran duniawi dan
ganjaran ukhrawi sedangkan dalam penerapan hukum buatan manusia barangkali kita
akan mendapatkan satu balasan saja, yaitu balasan duniawi semata. Wallahu`alam
D. D. Ontologi Hakikat Ilmu Syar`i
Seringkali
kita sepakat dalam memahami hakikat atau ontology ilmu syar`i, walaupun dalam
aplikatifnya kita masih sering keliru. Rasulullah shalallahu`alaihiwasalam
pernah suatu ketika mensifatkan hakikat ilmu syar`i dan membuat permitsalan
ilmu dan petunjuk hidayat yang diberikan kepadanya bagaikan air hujan, beliau
bersabda:
مثل ما
بعثني الله به من الهدى والعلم كمثل الغيث الكثير أصاب
أرضاً ، فكان منها نقية قبلت الماء فأنبتت الكلأ والعشب الكثير ، وكانت منها أجادب
أمسكت الماء ، فنفع الله بها الناس فشربوا وسقوا وزرعوا ، وأصاب منها طائفة أخرى
إنما هي قيعان لا تمسك ماءً ولا تنبت الكلأ فذلك مثل من فقه في دين الله ونفعه ما
بعثني الله به فعلم وعلم ، ومثل من لم يرفع بذلك رأساً ، ولم يقبل هدى الله الذي
أرسلت به
“Permitsalan apa yang Allah swt utusku
dengannya dari ilmu dan petunjuk seperti permitsalan hujan yang lebat, yang
membasahi tanah, diantara tanah tersebut tanah yang suci bersih (dalam riwayat
tanah yang baik), maka hujan itu menumbuhkan tumbuhan dan rerumputan yang
banyak. Diantara tanah itu tanah ajadib bebatuan yang menampung air, dan
Allah swt jadikan air itu bermanfaat untuk manusia, mereka minum dengannya,
menyirami tumbuhan mereka dan bercocok tanam, kemudian air itu menimpa sebagian
bumi yang lain, tanah itu hanya sebatas tanah bebatuan yang tidak bisa
menampung air, dan tidak bisa menumbuhkan tanaman, begitulah permitsalan orang
yang memperdalami agama Allah, dan mengambil manfaat dari apa yang diberikan
kepadaku, dia mengetahuinya dan mengajarkannya, dan permitsalan orang yang
tidak mengangkat kepalanya untuk itu, dan tidak menerima petunjuk yang aku
diutus dengannya” (HR Bukhari Muslim)
Ada beberapa hikmah dan faedah yang
tersirat dari hadits diatas:
·
Ontology ilmu syar`i dan hakikatnya adalah ilmu yang
berasal dari Allah swt, permitsalan ilmu syar`I dengan hujan menyiratkan makna
yang pernah disabdakan Rasulullah shallahu`alaihi wasalam mengenai hujan,
beliau bersabda: “sesungguhnya dia (hujan) baru saja berada disisi Allah swt”.
Hakikat ilmu syar`I itu adalah ilmu yang berasal dari Allah swt, yang mencakup
al-Qur`an, al-Hadits, Qiyas yang shahih, serta ijma` yang berlandaskan kitab
dan sunnah Rasul shallahu`alaihiwasalam
·
Ilmu syar`i yang bersumberkan wahyu memberikan manfaat
dan kemaslahatan untuk kehidupan manusia, seperti halnya hujan dan air yang
memberikan manfaat untuk kehidupan
·
Derajat manusia dalam menerima wahyu, dan tingkatan
–tingkatannya, sebagaimana halnya tanah yang terbagi menjadi tiga kelompok
dalam serapan yang didapatkan dari air hujan
E. E. Fase yang
dilalui oleh tasyri`i Islami dalam rentang masa dan abad
Sebagian para penulis
mengenai sejarah pentasriatan Islam menganologikan fase perkembangan fiqh
islami atau sejarah pentasriatan Islam ini seperti halnya anak manusia yang
melalui empat proses dalam perkembangannya, yaitu: masa kanak-kanak, masa muda,
masa dewasa muda, dan masa dewasa tua. Sebagian yang lain mengembalikan
perkembangan fiqh Islami ini sesuai dengan perkembangan rentan waktunya, dan
tentunya pembagian yang seperti ini lebih relevan untuk perkembangan fiqh dan
pentasyriatan Islam, fase perkembangan ini serta karakteristik setiap fasenya
akankita simpulkan dalam beberapa poin berikut ini:
1. 1. Syariat dimasa
Rasulullah shalallahu`alaihiwasalam
Fase ini
dimulai dari awal tahun bi`tsah diutusnya baginda Rasulullah shallahu`alaihi wasalam
hingga tahun kewafatannya baginda Rasul, sebagian para ulama menilai fase ini
dimulai dari tahun pertama hijrah hingga wafatnya baginda Rasul shallahu`alaihi
wasalam. Adapun sumber-sumber dasar pentasyriatan Islam yang digunakan di fase
ini adalah:
a.
Al-Qur`an al-Karim
Al-Qur`an adalah kalam Allah swt yang
bersifat mukjizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad shallahu`alaihi wasalam,
dinukilkan secara mutawatir, yang tertulis dalam mushaf, yang bernilai ibadah
membacanya, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surah al-Nas.
b. Al-Sunnah
al-Nabawiyah
Sunnah adalah segala hal yang diriwayatkan
dari baginda Rasulullah shallahu`alaihi wasalam, baik bersifat perbuatan,
perkataan, ataupun taqrir persetujuan beliau. Sebagai pelengkap al-Qur`an hukum
hukum yang tercantum dalam sunnah dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Menguatkan
hukum al-Qur`an
2) Mentafsirkan
makna al-Qur`an
3) Mendatangkan
hukum baru yang tidak disebutkan dalam al-Qur`an
c.
Ijtihad Nabi shallahu`alaihiwasalam dan ijtihad para
sahabat dizamannya
Ijtihad adalah proses
yang dilakukan oleh seorang mujtahid dengan seluruh tenaga dan pikiran dengan sungguh-sungguh dalam
menetapkan hukum syariat. jadi, Ijtihad dapat terjadi jika pekerjaan yang
dilakukan terdapat unsur-unsur kesulitan. Menurut pendapat jumhur para ulama,
baginda Rasulullah shallahu`alaihiwasalam dibolehkan berijtihad dalam
permasalahan keagamaan, sebagaimana mereka (para ulama) sepakat yang bahwa
baginda Rasulullah shallahu`alaihiwasalam berijtihad dalam urusan duniawi,
kenegaraan, dan mengatur peperangan.
Begitu juga sesuai dengan
pendapat mayoritas para ulama para sahabat diberikan kewenangan oleh baginda
Rasul shallahu`alaihiwasalam untuk berijtihad dalam permasalahan yang tidak
didapatkan tentangnya dalil syar`I dari al-Qur`an dan Sunnah
2. 2. Syariat dimasa
Khulafa al-Rasyidin
Sepeningalan
Rasulullah shalallahu`alaihiwasalam para sahabat menghadapi banyak
permasalahan-permasalahan baru dalam syariat, hal ini tidak luput dari
perkembangan wilayah Islam yang makin meluas dengan inspansi dan penaklukan
yang dilakukan oleh para sahabat. Adapaun metode yang dilakukan oleh para
sahabat dalam menetapkan hukum syar`I yaitu dengan cara kembali mencari
dalilnya dari al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallahu`alaihi wasalam, kalau
sekiranya hal itu tidak didapatkan dalam duanya, maka mereka akan menempuh
jalur ijtihad, baik secara perorangan ataupun secara jamaah. Difase ini pula
dikenalnya ijma` para sahabat, yang mereka jadikan sebagai sumber syariat
setelah al-Qur`an dan Sunnah.
Fase ini
dikenal sebagai fase dikumpulkan dan ditulisnya al-Qur`an kembali, dan dimasa
ini hadits dan sunnah baginda Rasul shallahu`alaihiwaalam belum juga dibukukan.
3. 3. Masa awal
kemunculan dua madrasah fikih: ahli hadits dan ahli al-ra`yu
Di fase ini
munculnya dua madrasah fikih: ahli hadits dan ahli al-ra`yu (pendapat), dalam
kalkulasi zamani fase ini berkembang dari semenjak mangkatnya para
khulafarasyisin yang empat hingga awal abad kedua hijriah. Adapun madrasah
hadits itu lahir di Madinah, sedangkan madrasah al-ra`yu hadir di kota Kufah, penyebab
kemunculan dua madrasah ini adalah pengaruh dari para sahabat yang mendiami dua
daerah tersebut, penduduk Madinah mengambil ilmu fikih mereka dari Abdullah bin
Umar yang terkenal sangat keras terhadap sunnah baginda Rasul
shallahu`alaihiwasalam, sedangkan penduduk Kufah mengambil fikih mereka dari
Abdullah bin Mas`ud yang dikenal sering menggunakan akalnya dalam memutuskan
hukum syar`I ketika beliau tidak mendapati dalil dari kitab Allah swt dan
Sunnah Rasulullah shallahu`alaihi wasalam.
4. 4. Fikih dimasa
Imam madzhab yang empat
Fase ini
dimulai dari awal abad ke dua hijriah, fase ini bisa dikatakan sebagai masa
awal kegemilangan fikih Islam dengan munculnya empat imam besar, yaitu:
a.
Al-Nu`man bin Tsabit al-Kufi atau imam Abu Hanifah
(80-150 H)
b. Malik bin Anas
al-Humairi (93-179 H)
c.
Muhammad bin Idris al-Syafi`I (150-204 H)
d. Ahmad bin
Hanbal (164-241 H)
Dari setiap imam ini
dinisbahkan kepada mereka madzhab fikih yang empat, setiap madzhab fikih
memiliki asas dasar penetapan hukum dalam madzhabnya, yang dikenal dengan ushul
al-madzhab.
No
|
Madzhab
|
Usul Madzhab
|
Syarat Penerapan
|
1
|
Madzhab Hanafi (Imam Nu`man bin Tsabit RH)
|
a.
Al-Qur`an al-Karim
|
-
|
b. Hadits
mutawatir dan masyhur
|
-
|
||
c.
Hadits Ahad (Jumlah perawinya
sedikit)
|
1. Tidak
menyelisihi perawi
|
||
2. Perawinya
faqih
|
|||
3. Bukan
mengenai masalah genting
|
|||
4. Tdk
menyelisihi qiyas
|
|||
d. Ijma`
|
|||
e. Qiyas
|
|||
2
|
Madzhab Maliki
(Imam Malik bin Anas RH)
|
a.
Al-Qur`an
|
|
b. Hadits
|
|||
c.
Ijma`
|
|||
d. Perkataan
para sahabat
|
Kalau tdk menyelisihi sahabat lain
|
||
e. Amalan
penduduk Madinah
|
|||
f.
Qiyas
|
|||
3
|
Madzhab Syafi`i
(Imam Muhammad bin Idris al-Syafi`i RH)
|
a.
Al-Qur`an
|
|
b. Hadits yang
shahih
|
|||
c.
Perkataan para sahabat
|
Kalau tdk menyelisihi sahabat lain
|
||
d. ijma
|
|||
e. al-Qiyas
|
|||
4
|
Madzhab Hanbali
(Imam Ahmad bin Hanbal RH)
|
a.
al-Qur`an
|
|
b. hadits yang
shahih
|
|||
c.
fatwa para sahabat
|
|||
d. hadits
mursal dan dha`if
|
Ketika tdk ada dalil diatas
|
||
e. qiyas
|
Ketika darurat
|
5. Fase kemunduran fikih Islami
fase ini
bermula dari pertengahan abad ke 4 hijriah hingga abad ke 6 H, adapun penyebab
kemunduran fikih Islam di fase ini bisa kita simpulkan dalam beberapa poin
berikut ini:
a.
keadaan politik kaum muslimin yang tidak stabil
b. kematangan
madzhab fikih yang empat
c.
kurangnya tsiqah dan rasa percaya diri pada diri para
ulama kaum Muslimin
d. masuknya
orang-orang bodoh dalam barisan para ulama
e. fanatik para pengikut madzhab terhadap madzhab mereka
Jazakumullahukhairan
Komentar
Posting Komentar