Bagaimana Nabi shalallahualaihiwasalam berwudhuk?!

Hadits Ketujuh:
عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - «أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إنَائِهِ، فَغَسَلَهُمَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِي الْوَضُوءِ، ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا، وَيَدَيْهِ إلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثَلَاثًا، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ، ثُمَّ غَسَلَ كِلْتَا رِجْلَيْهِ ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا وَقَالَ مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»
  1. Artinya:
Dari Humran maula Utsman bin Affan RA, bahwasanya beliau melihat Utsman bin Affan meminta air wudhuk, kemudian beliau menuangkan air tersebut atas kedua tangannya dari bejana, kemudian beliau mencuci keduanya sebanyak tiga kali, kemudian beliau memasukkan tangan kanannya dalam air wudhuk tersebut, kemudian beliau berkumur kumur dan memasukkan air kedalam hidungnya dan mengeluarkannya, kemudian beliau mencuci wajahnya tiga kali, dan kedua tangannya sampai dua sikunya, kemudian beliau membasuh kepalanya, kemudian beliau mencuci kedua kakinya tiga kali, kemudian beliau berkata: saya melihat Rasulullah saw berwudhuk seperti wudhukku ini dan kemudian beliau bersabda: barang siapa yang berwudhuk seperti wudhuknya aku ini kemudian dia  shalat dua rakaat, dan dia tidak mendengar bisikan hatinya maka Allah swt akan mengampuni dosanya yang telah lalu.
{lihat: shahih bukhari no164:,dan shahih muslim no:226}

  1. Perawi Hadits:
1)      Humran maula Utsman beliau adalah Humran bin Aban bin Khalid, maula Utsman bin Affan, beliau adalah salah seorang dari tawanan `Ain Tamr dari negeri Persia, yang dikirim oleh Khalid bin Walid ke Madinah dan Utsman membelinya dari Musayyab bin Najabah dan memerdekakannya. Beliau meriwayatkan banyak hadits dari Utsman, Qatadah mengatakan: Humran seringkali shalat dibelakang Utsman bin Affan dan ketika beliau lupa Humran mengingatkannya, kemudian beliau berpindah ke Bashrah disebutkan dalam sebagian riwayat sebab perpindahan beliau karena beliau menyebarkan rahasia pribadi Utsman bin Affan kemudian Utsman meminta dari beliau untuk meninggalkan Madinah, beliau wafat pada tahun 118 H.
2)      Utsman bin Affan beliau adalah Abu Abdillah Utsman bin Affan bin Abi `Ash bin Umayyah dari qabilah Quraisy, digelari dengan Zunnurain (yang memiliki dua cahaya) kerena beliau menikahi dua putri Rasulullah saw Ummu Kaltsum dan Ruqayyah, dan beliau termasuk para pendahulu dalam Islam, pernah berhijrah ke Habasyah dipermulaan Islam dan ke Madinah, termasuk salah seorang dari sepuluh sahabat yang dikabarkan masuk syurga, beliau dikenal dengan hartawan yang dermawan beliau mempersiapkan tentara yang kesulitan pada perang Tabuk dengan mendermakan tujuh ratus auqiyah dari emas, lima puluh unta, dan lima puluh kuda perang, beliau khalifah kaum muslimin yang ketiga sepeninggalan Abu Bakar dan Umar RA, beliau wafat dalam keadaan syahid pada tahun 35 H.
  1. Fikih lughawi yang dikandungi hadits:
  1. Kata  (الوَضوء) : ”wadhuk” dengan menfathahkan huruf waw berarti air yang digunakan untuk berwudhuk, sedangkan dengan mendhummahkan waw berarti melakukan ibadah wudhuk, seperti halnya thuhuur dengan thahuur karena thuhuur bermakna kegiatan bersuci sedangkan thahuur adalah air ataupun tanah yang digunakan untuk bersuci, kemudian para ulama berselisih pendapat mereka mengenai kata wadhuk apakah dia itu nama untuk air secara umumnya ataupun nama air yang hanya digunakan untuk berwudhuk? Perselisihan dalam masalah ini sangat mempengaruhi perselisihan para ulama dalam masalah air musta`mal sebagaimana yang telah kita sebutkan dalam penjelasan hadits sebelumnya, karena sebagian para ulama yang menafikan air musta`mal menguatkan - perkataan mereka dengan hadits Jabir yang berbunyi: kemudian Rasulullah saw menyiramiku dari wadhuknya, atas dasar kata wadhuk adalah nama air yang telah digunakan untuk berwudhuk, sedangkan para ulama yang mengatakan tidak bolehnya bersuci dengan air musta`mal mereka mengatakan kata wadhuk digunakan untuk air secara umum baik itu air yang telah digunakan untuk bersuci ataupun air yang disiapkan untuk berwudhuk dengannya, oleh karena itu kita tidak bisa berdalil dengan kata wadhuk yang terdapat dalam hadits ini untuk menafikan air musta`mal, sedangkan pendapat yang rajih dalam masalah telah kita sebutkan dalam penjelasan hadits yang sebelumnya. wallahu`alam
  2. Kata (إلى المرفقين) : ”ilaa almirfaqain” yaitu sampai kedua sikunya, sebagian para ulama berpendapat kata ilaa disini bermakna ma`a (sama) sehingga mereka memasukkan kedua siku kedalam hukum tangan dalam berwudhuk sedangkan sebagian yang lain memandang kata ilaa disini lilghayah (untuk menyatakan tujuan akhir) oleh karena itu mereka mengeluarkan apa setelah ilaa daripada hukum yang sebelumnya, akan tetapi riwayat yang dinukilkan dari Rasulullah saw mengenai kaifiayah wudhuknya saw menguatkan pendapat yang pertama ini diantaranya: hadits Jabir bin Abdillah yang meriwayatkan sifat wudhuknya Nabi saw beliau berkata: bahwasanya Rasulullah saw ketika berwudhuk beliau mencuci sikunya bahkan dalam riwayat Imam al-Tabrani disebutkan beliau mencuci tangannya hinga melewati batas sikunya, wallahu`alam. Secara lebih lengkapnya perselisihan dalam masalah telah kami sebutkan dengan panjang lebar pada penjelasan hadits ketiga dalam kitab ini silahkan dirujuk kembali.
  3. Kalimat ( لايحدث فيهما نفسه) : ”laa yuhaditsu fihima nafsahu” yang artinya dan dia tidak mendengar bisikan hatinya, bisikan atau suara hati yang datang dikala seseorang melakukan shalat ada dua macam:
pertama: sesuatu yang datang pada diri seseorang ketika ia shalat dan tak mungkin baginya untuk menghindarinya, yang pertama ini diuzurkan dalam syariat.
kedua: sesuatu yang datang pada diri seseorang yang mungkin bagi dia untuk menghindarinya, yang kedua inilah yang dinafikan dalam hadits Rasulullah ini. Sabda Rasulullah saw: wa la yuhadditsu fihima menguartkan apa yang kita katakan, karena kata yuhadditsu menunjukkan ada keinginan darinya dalam melakukannya. Dan bisikan hati ini dalam shalat bisa jadi berkenaan dengan perkara duniawi dan bisa jadi pula bisikan itu berkenaan dengan perkara ukrawi(akhirat), sedangkan yang dinafikan dalam hadits ini adalah bisikan bisikan yang berkenaan dengan duniawi, sedangkan bisikan dan suara hati yang berkenaan dengan akhirat kadangkala seseorang dituntut untuk melakukannya seperti halnya  menghadirkan makna dari bacaan yang dia bacakan. wallahu a`lam.
  1. Kata (: (ثـمّ tsumma yang artinya kemudian, pada dasarnya kata tsumma ini dalam bahasa Arab menunjukkan adanya jarak waktu antara kata sebelumnya dan yang setelahnya, akantetapi dalam hadits ini kata tsumma tidak dimaksudkan demikian, kata tsumma disini hanya diinginkan untuk menunjukkan tertib dan susunan saja tanpa adanya jarak waktu antara keduanya, bahkan muwalah (melakukan secara berkesinambungan) sebagian para ulama mewajibkannya dan sebagian yang lain mensunnahkannya.
  2. Kalimat : (نحو وضوئي هذا) nahwa wudhui haza” yaitu seperti wudhukku ini, disini Utsman menggunakan lafadz nahwa bukan lafadz mitsla yang juga berarti seperti, karena lafadz mitsla memberikan makna persis yang tidak ada perbedaan antara keduanya walaupun sedikit dan hal ini tidak mungkin terjadi kecuali dari pelaku pertamanya itu sendiri, berbeda halnya dengan kata nahwa yang memberikan makna persis dengan sedikit perbedaan antara keduanya, akantetapi pernyataan ini bertolak belakang dengan apa yang terdapat di sebagian riwayat hadits ini yang disebutkan dalamnya kata mitsla, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat dari jalur Mu`az bin Abdurrahman dari Humran dari Utsman RA yang berbunyi: mitsla wudhui haza. Dari sekian riwayat ini kita bisa membuktikan yang bahwasanya perbedaan antara lafadz pertama dan kedua dari hadits ini hanya disebabkan oleh para perawi hadits yang meriwayatkannya dengan lafadz yang berbeda beda.kita bisa menggabungkan antara kedua riwayat ini dengan mengatakan kata mitsla dalam bahasa arab walaupun pada dasarnya digunakan untuk sesuatu yang sama persisi tanpa perbedaan sedikitpun akantetapi kata mitsla ini juga digunakan untuk mengutarakan sesuatu yang saling kemiripan walaupun ada perbedaan yang tidak terlalu mencolok antara keduanya, ataupun kita membawa riwayat mitsla dalam hadits ini digunakan dengan makna majaz.
  1. Penjelasan Hadits:
Hadits yang sedang kita bahas ini merupakan sandaran utama mengenai kaifiyah dan tata cara dalam berwudhuk bahkan hadits ini termasuk hadits yang paling sempurna dalam mensifatkan wudhuknya rasulullah saw, Ibnu Syihab berkata: dulunya para ulama kami mengatakan hadits ini menggambarkan kaifiyah paling sempurna terhadap cara wudhuk yang hendaknya dilakukan oleh orang yang ingin bersuci. Utsman bin Affan yang terkenal kedekatannya dengan Rasulullah saw bahkan seringkali beliau melihat bagaimana wudhuknya Rasulullah saw baik itu ketika beliau berwudhuk ataupun ketika beliau mengajarkannya kepada para sahabat, dengan berlalunya periode nubuwah sepeninggalan Rasulullah saw maka para sahabat mengambil alih dalam menyampaikan risalah ini kepada generasi setelahnya, seperti halnya apa yang dilakukan oleh Utsman bin Affan dalam hadits yang agung ini, beliau memilih dalam mengajarkan wudhuk Nabi saw sebagaimana yang terdapat dalam hadits ini dalam bentuk amaliyah (praktek langsung) karena hal ini akan memberikan nilai lebih bagi yang melihat dan menyaksikannya bahkan memudahkan mereka dalam memahaminya, untuk lebih meyakinkan mereka akan kebenaran apa yang beliau sampaikan maka utsman berusaha untuk  mengajarinya didepan para sahabat yang lainnya yang juga pernah bersama Rasulullah saw dan memperhatikan wudhuknya sehingga mereka bisa memperbaiki terhadap kesalahan Utsman dalam mempraktekkannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Imam al-Baihaqi yang mana Utsman bin Affan ketika berwudhuk tiga kali tiga kali kemudian mengatakan kepada para sahabat yang ada disisi beliau: Apakah kalian pernah melihat Rasulullah saw melakukannya sebagaimana yang kulakukan ini, mereka pun menjawab: benar.
Disini Utsman meminta kepada Humran maulanya untuk mengambilkan air wudhuk, kemudian Utsman menuangkan air tersebut dan mencuci kedua tangannya sebanyak tiga kali sehingga kotoran yang ada dikedua tangannya itu tidak mempengaruhi air yang akan digunakan untuk berwudhuk, amaliah ini yang dinamakan oleh para fuqaha dengan nama: al-Istiiqaf (mencuci dua lengan) hadits ini menjelaskan jumlah bilangan seseorang mencuci kedua tangannya yaitu sebanyak tigakali, hal ini dikuatkan juga dengan pernyataan Aus salah seorang sahabat Rasulullah saw yang meriwayatkan wudhuk Nabi saw  sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ahmad dalam kitab shahihnya: saya melihat Rasulullah saw berwudhuk dan mencuci lengannya tigakali. Dan hitungan tigakali ini tidak disebutkan dalam hadits mencuci tangan setelah bangun dari tidur yang telah kita jelaskan sebelumnya dan tentunya sunnah mencuci tangan ini akan lebih ditekankan bagi mereka yang baru bangun dari tidurnya sebagaimana yang telah kita sebutkan pada penjelasan hadits yang sebelumnya, kemudian Utsman memasukkan tangan kanannya kedalam bejana untuk mengeluarkan air yang akan beliau gunakan untuk berkumur kumur dan beristinsyaq. Sunnah dalam madzmadzah (berkumur) itu tidak akan tercapai kecuali dengan menggerak gerakkan air yang ada pada mulut. Adapun yang memasukkan air kedalam mulutnya tanpa menggerak gerakkannya ia tidak akan mendapatkan sunnah yang disebutkan dalam hadits ini, sedangkan untuk hukum  istinsyaq kita telah pernah membahasnya pada penjelasan hadits yang sebelumnya.kemudian utsman mencuci wajahnya sebanyak tiga kali,dari hadits ini kita dapat melihat bahwasanya rasulullah saw mengakhirkan anggota anggota wudhuknya yang wajib setelah terlebih dahulu mencuci anggota anggota yang sunnah,adapun riwayat yang terdapat dalam sunannya imam abu daud yang mengakhirkan alistinsyaq setelah mencuci wajah  adalah riwayat yang lemah karena riwayat ini menyelisihi kebanyakan riwayat yang lain yang lebih utama darinya, kata wajah dalam bahasa Arab merupakan pecahan dari kata al-Muwajahah (saling berhadapan) sebagian para ulama memperhatikan asal kata ini sehingga mereka mewajibkan al-Istinsyaq dan al-Istintsar dalam berwudhuk karena hidung dikatagorikan wajah dengan makna yang kita sebutkan diatas. kemudian utsman mencuci kedua tangannya sebanyak tiga kali, yang melihat hadits ini akan mengira beliau mencuci kedua tangannya sekaligus dalam satu waktu, akan tetapi beberapa riwayat yang lain yang menjelaskan hadits ini secara lebih mendetail menyebutkan beliau mencuci tangan kanan sebelum tangan kiri bukan mencuci keduanya sekaligus, setelah itu Utsman membasuh seluruh kepalanya adapun mengenai kaifiyah membasuh kepala akan kita jelaskan pada penjelasan hadits berikutnya, kemudian utsman mengakhiri tata cara wudhuknya dengan mencuci kedua kakinya sebanyak tiga kali, sebagian para ulama tidak melihat tigakali itu disunnahkan dalam mencuci kaki sebagaimana yang disunnahkan pada anggota wudhuk yang lainnya,mereka berdalil dengan hadits yang lain yang berbunyi: kemudian beliau mencuci kedua kakinya hingga bersih keduanya. dan disini tidak disebutkan bilangan tertentu dalam mencuci kaki ditambah lagi kaki yang sering kali jadi tempat berkumpulnya kotoran karena kedekatannya dengan tanah, akantetapi riwayat yang menyebutkan cuci kaki tiga kali merupakan tambahan terhadap riwayat yang tidak menyebutkan nya, dan mengambil tambahan dalam hal ini merupakan suatu yang keharusan apalagi tambahan ini  sama sekali tidak menyelisihi riwayat yang tidak menyebutkannya. Pernyataan Utsman ini sangat menyelisihi mazhab Syi`ah Rafidhah yang mewajibkan membasuh kaki ketika berwudhuk. Setelah menyempurnakan wudhuknya Utsman menuturkan bahwasanya beliau melihat Rasulullah saw berwudhuk sebagaimana wudhuknya beliau ini, kemudian Rasulullah saw bersabda setelahnya: Siapa yang berwudhuk sebagaimana wudhukku ini kemudian dia melakukan shalat dua rakaat dan tidak mendengar bisikan hatinya maka Allah swt akan mengampuni dosa dosanya yang telah lalu.
Dalam hadits ini Rasulullah saw mengaitkan ganjaran pengampunan dosa yang diberikan hanyalah bagi yang mengumpulkan dua hal ini sekaligus yaitu berwudhuk sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ini dan melakukan shalat dua rakaat setelahnya dengan sifat yang disebutkan dalam hadits ini pula,adapun yang melakukan salah satu dari dua hal ini dia tidak akan mendapatkan pengampunan dosa yang terdapat dalam hadits ini walaupun dia akan mendapatkan keutamaan tersendiri terhadap apa yang ia lakukan.
Dhahir hadits ini menunjukkan pengampunan Allah swt  terhadap dosa dosa yang telah lalu mencakup semua dosanya baik itu dosa yang besar ataupun dosa dosa yang kecil, akantetapi jumhur para ulama mengkhususkan pengampunan disini untuk dosa dosa yang kecil saja adapun dosa dosa yang besar tidak akan terampuni kecuali dengan bertaubat darinya, dalam hal ini mereka berdalil dengan beberapa riwayat yang lain yang mengaitkan pengampunan dosa tersebut dengan untuk dosa dosa yang kecil, sebagaimana hadits Rasulullah saw yang berbunyi: shalat lima waktu, jum`at ke jum`at, ramadhan ke ramadhan merupakan pengampunan dosa antara keduanya kalau sekiranya dia meninggalkan dosa dosa besar. Maka para ulama menjadikan hadits ini sebagai dasar terhadap hadits hadits yang lain yang tidak disebutkan dalamnya pengkhususan dosa dosa kecil.wallahua`lam.
  1. Hukum-Hukum Syar`i yang berkenaan dengan hadits.
Pertama: Hukum membasuh sebagian kepala ketika berwudhuk?
Semua para ulama sepakat atas wajibnya membasuh kepala dalam berwudhuk, dan mereka sepakat juga atas sunnahnya membasuh seluruh kepala dalam  berwudhuk,akan tetapi mereka berselisih pendapat mereka mengenai membasuh sebagian kepala,apakah membasuh sebagian kepala cukup dalam berwudhuk ataupun tidak? Imam al-Tsauri, al-Auza`I, Abu Hanifah dan Asyafi`I berpendapat bolehnya membasuh sebagian kepala dalam berwudhuk karena allah swt berfirman :
وامسحوا برؤوسكم....
Yang artinya: Dan basuhlah kepala kepala kalian, mereka mengatakan huruf baa yang terdapat dalam ayat ini sebelum kata ruusikum digunakan litab`izd ( yaitu menunjukkan sebagian) jadi yang diwajibkan dalam berwudhuk adalah membasuh sebagian kepala bukan seluruhnya kemudian hadits yang diriwayatkan imam muslim dalam kitab shahihnya dari Mughirah bin Syu`bah yang artinya: Sesungguhnya Rasulullah saw berwudhuk dan membasuh ubun ubunnya dan atas serban yang ia pakai, mereka mengatakan Rasulullah saw disini tidak membasuh rambut dibawah serban yang ia pakai.s Sedangkan Imam Malik dan Ahmad berpendapat wajibnya membasuh seluruh kepala ketika berwudhuk, mereka mengatakan semua para sahabat yang meriwayatkan kaifiyah wudhuknya Rasululah saw tidak pernah menukilkan dari beliau saw membasuh sebagian kepala ketika berwudhuk, bahkan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits setelah ini Rasulullah saw membasuh kepalanya dan memulainya dari depan kepala hingga ke tekok belakang kepala kemudian beliau mengembalikannya sampai ke tempat beliau memulainya. Imam Ibnu Qayyim –rahimahullah-: tidak ada satupun hadits yang shahih yang mengatakan Rasulullah saw pernah berwudhuk dan hanya membasuh sebagian dari kepalanya. Mereka menjawab dalil kelompok pertama dengan mengatakan baa dalam ayat ini bukan litab`izd yang berarti sebagian akan tetapi baa disini lililshaq yang berarti melekatkan yaitu melekatkan tangan ketika membasuh kepala dengan air. Mereka menukilkan beberapa perkataan para ahli bahasa yang menafikan datangnya baa dengan makna tab`izd, diantaranya Imam Naftawaih dan Ibnu Duraid pernah ditanyakan tentang huruf baa apakah huruf ini digunakan dengan makna tab`izd ataupun tidak? kedua imam ini pun menjawab: tidak, bahkan Ibnu Burhan pernah berkata: barang siapa yang mengatakan baa digunakan dalam bahasa Arab dengan makna tab`izd sesungguhnya dia telah mendakwakan sesuatu yang tidak diketahui oleh para ahli bahasa Arab. Dari sekian dalil dalil yang kita kemukakan tadi mungkin kita dapat melihat pendapatnya Imam Malik dan Ahmad lebih dekat dengan kebenaran, walaupun demikian kita tidak membenarkan dalil mereka yang menafikan penggunaan huruf baa dengan makna tab`izd, bahkan penggunaan huruf baa dengan makna tab`izd ini seringkali didapatkan dalam bahasa Arab sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli bahasa seperti Imam Ibnu Malik dan ulama ulama lainnya, wallahua`lam.
Kedua: Apakah membasuh kepala disunnahkan tigakali sebagaimana yang disunnahkan pada anggota wudhuk yang lain?
Mazhab Imam Asyafi`I dan sebagian daripada pengikutnya mengatakan sunnah dalam membasuh kepala tigakali, Imam Ahmad dan jumhur para ulama mengatakan sunnah dalam membasuh kepala hanya satu kali saja, Imam Asyafi`I berdalil untuk mazhabnya ini dengan hadits Utsman dalam shahih Imam Muslim yang berbunyi: Rasulullah saw berwudhuk tiga kali tiga kali, dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud yang berbunyi: bahwasanya Rasulullah saw membasuh kepalanya sebanyak tiga kali. Kemudian mereka menqiyaskan membasuh kepala tersebut dengan anggota wudhuk yang lain. Jumhur berdalil dengan kebanyakan riwayat yang menyebutkan kaifiyah wudhuknya nabi saw yang menyebutkan beliau membasuh kepalanya sekali saja. Sedangkan riwayat Imam Abu Daud yang menyebutkan Rasulullah membasuh kepalanya tigakali adalah hadits yang lemah. Hadits Ustman yang ada di shahih Muslim adalah riwayat yang shahih akan tetapi hadits ini menyebutkan kaifiyah wudhuknya Rasulullah saw secara umum dan hadits yang menyebutkan Rasulullah saw membasuh kepalanya satukali menjelaskan keumuman yang ada di riwayat Utsman. kemudian mengqiyaskan kepala dengan anggota wudhuk yang lain bukanlah sesuatu yang tepat karena adanya perbedaan yang sangat mencolok antara keduanya, yang satunya Allah swt memerintahkan kita membasuhnya sedangkan yang lain kita diperintahkan mencucinya, dan tujuan Allah swt mengkhususkan kepala dengan hukum basuh karena hal itu tidak akan terlalu membebankan kita yang melakukannya sedangkan anggota yang lain kita diperintahkan untuk mencucinya, dan ini menunjukkan Allah swt menginginkan keringanan bagi kita dalam membasuh kepala,nilai ini akan hilang bagi yang mensunnahkan basuh kepala itu dilakukan tiga kali karena membasuh kepala tiga kali akan lebih menyusahkan kaum muslimin, dari sini kita dapat mengetahui pengqiyasan kepala dengan anggota wudhuk yang lain bukanlah sesuatu yang tepat, wallahu a`lam. Sedangkan hukum hukum yang lain yang berkenaan dengan wudhuk akan kita sebutkan pada penjelasan hadits setelahnya.
  1. Faedah dan hikmah dari hadits:
1)      Dari hadits ini kita dapat mengambil faedah dibolehkan bagi seseorang meminta bantuan orang lain dalam berwudhuk seperti mengambil air wudhuk untuknya, mengambil cawan dan lain lain, sebagaimana halnya Abdullah bin Mas`ud yang dikenal sebagai orang yang ditugaskan mempersiapkan air wudhuknya Rasulullah saw, akantetapi para ulama memakruhkan seseorang diwudhukkan oleh orang lain kecuali dalam keadaan darurat karena tujuan diwajibkannya wudhuk adalah untuk beribadah kepada Allah swt dan nilai ibadah ini akan hilang kalau wudhuk ini dilakukan oleh orang lain. wallahua`lam.
2)      Adapun hikmah Allah swt mensyariatkan berkumur kumur dan beristinsyaq sebelum seseorang memulai dengan anggota wudhuk yang wajib seperti mencuci wajah dan lain lainnya adalah menguji kesucian air yang akan digunakan untuk bersuci, karena air itu diketahui kesuciannya dengan tiga hal: baunya, warna ataupun rasanya, maka dengan disyariatkan berkumur kumur dan istinsyaq ini kita bisa mengetahui tiga sifat air yang kita sebutkan tadi sehingga dengan ini kita bisa memprediksikan kesucian air yang akan kita gunakan untuk bersuci tersebut.
3)      Pengampunan dosa yang terdapat dalam hadits ini dikhususkan untuk dosa dosa yang kecil sedangkan dosa dosa yang besar dalam mazhab ahlussunnah wal jama`ah tidak akan terampuni kecuali ia bertaubat ataupun dihari kiamat nantinya ia dibawah masyiah (kehendak) Allah swt, baik itu Allah swt mengampuninya dengan rahmatnya ataupun mengazabnya akan tetapi dia tidak dikekalkan dalam neraka,sedangkan dalam mazhab Khawarij ataupun Mu`tazilah pelaku dosa besar keluar daripada Islam dan dikekalkan dalam neraka walaupun mereka berselisih pendapat mengenai penamaan pelaku dosa besar tersebut.
Hadits Kedelapan:
عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ «شَهِدْتُ عَمْرَو بْنَ أَبِي حَسَنٍ سَأَلَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ زَيْدٍ عَنْ وُضُوءِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -؟ فَدَعَا بِتَوْرٍ مِنْ مَاءٍ، فَتَوَضَّأَ لَهُمْ وُضُوءَ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَأَكْفَأَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ التَّوْرِ، فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلَاثًا، ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي التَّوْرِ، فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلَاثًا بِثَلَاثِ غَرْفَاتٍ، ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا، ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي التَّوْرِ، فَغَسَلَهُمَا مَرَّتَيْنِ إلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي التَّوْرِ، فَمَسَحَ رَأْسَهُ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ مَرَّةً وَاحِدَةً ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ وَفِي رِوَايَةٍ بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ، حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إلَى قَفَاهُ، ثُمَّ رَدَّهُمَا حَتَّى رَجَعَ إلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ» .وَفِي رِوَايَةٍ «أَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَأَخْرَجْنَا لَهُ مَاءً فِي تَوْرٍ مِنْ صُفْرٍ»
التَّوْرُ: شِبْهُ الطَّسْتِ..
  1. Artinya:
Dari `Amri bin Yahya al-Muzani dari bapaknya berkata: Saya menyaksikan Amru bin Abi Hasan menanyakan Abdullah bin Zaid tentang wudhuknya Rasulullah saw, kemudian beliau meminta bejana yang diisi air dan berwudhuk untuk mereka sebagaimana wudhuknya Rasulullah saw, dan menuangkan air yang terdapat dibejana tersebut atas kedua tangannya, kemudian mencuci keduanya, kemudian beliau memasukkan tangannya kedalam bejana kemudian berkumur kumur, memasukkan air kedalam hidungnya dan mengeluarkannya sebanyak tiga kali dengan tiga cedukan, kemudian beliau mencuci wajahnya sebanyak tigakali, dan beliau memasukkan tangannya kedalam bejana dan mencuci keduanya sebanyak duakali sampai kedua sikunya, kemudian beliau memasukkan tangannya kedalam bejana dan membasuh kepalanya dengan memulainya dari depan kepalanya hingga belakangnya satu kali, kemudian beliau mencuci kedua kakinya, dalam riwayat yang lain: beliau memulainya dari depan kepalanya hingga ke tekok belakangnya, kemudian beliau mengembalikannya ke tempat pertama kali beliau memulainya. Dan dalam riwayat yang lain: Rasulullah saw  mendatangi kami maka kami pun mengeluarkan bagi  beliau bejana yang terbuat dari kuningan.
{ lihat: shahih albukhari no: 175,dan shahih muslim dengan no: 235}
  1. Perawi Hadits:
  1. Abdullah bin Zaid beliau adalah salah seorang pemuka dari kalangan para sahabat, beliau bernama Abdullah bin Zaid bin Ashim al-Mazini dari bani Najjar dan Khazraj, beliau dikunyah dengan Abu Muhammad dan dikenal dengan Ibnu Ummi Umaarah, beliau turut menyaksikan perang badar sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mandah, akan tetapi riwayat yang benar beliau turut menyaksikan perang Uhud dan lainnya dan tidak ikut serta dalam perang Badar, walahu`alam. Beliau yang membunuh Musailamah al-Kazzab nabi palsu dari negeri Yamamah dengan pedangnya setelah terlebih dahulu alwahsyi melemparinya dengan tombak, disebutkan dalam sebagian riwayat beliau wafat pada hari al-Hurrah[1]. Pada tahun 63 H. Disini perlu kita ketahui beliau bukanlah Abdullah bin Zaid  yang meriwayatkan hadits azan yang terkenal itu, Abdullah bin Zaid yang meriwayatkan hadits azan namanya Abdullah bin Zaid bin Abdul Rabbih bukan Abdullah bin Zaid bin Ashim.
  1. Fikih lughawi yang dikandungi hadits:
  1. Kalimat (بتور من ماءٍ) ”bi taurin min maa in”: yaitu  mendatanginya dengan sebuah bejana dari air, sedangkan di diakhir hadits ini disebutkan: ”bi taurin min shufrin”  yaitu bejana dari kuningan, tentunya dua riwayat ini tidak saling bertentangan karena riwayat yang pertama disana diinginkan makna majaz yaitu bejana yang terisi dengan air bukan yang terbuat dari air,sedangkan riwayat yang kedua menyebutkan hakikatnya yaitu bejana yang terbuat dari kuningan,walaupun kedua riwayat ini menggunakan kata yang sama yaitu huruf jaar min (dari). Kemudian pengarang kitab menafsirkan makna “taurin” disini dengan “atthast” yang berarti bejana kecil, oleh karena itu sebagian para ulama  menjadikan hadits ini sebagai dalil dibolehkannya memasukkan tangan kedalam air yang sedikit tanpa harus meniatkan cedukan dan hal ini tidak menjadikan air tersebut sebagai air yang musta`mal karena disini disebutkan Abdullah bin Zaid memasukkan tangannya kedalam bejana kemudian mencuci wajahya tanpa meniatkan cedukan yang disyaratkan oleh sebagian para ulama Syafi`iyah.
  2. Kalimat (فأكفأ على يديه): ”fa akfaa `ala yadaih” yaitu kemudian beliau menuangkan air tersebut atas kedua tangannya. Disebagian riwayat hadits ini kata tangan ini datang dalam bentuk tunggal (alyad), untuk menyesuaikan dua makna ini maka para ulama menjadikan kata yad (tangan) yang dalam bentuk tunggal ini digunakan untuk mengutarakan jins (jenis) tangan yang mencakup dalamnya dua tangan ataupun lebih sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari.
  3. Kalimat (إلى المرفقين مرتين): ”ilaa almirfaqain marratain” yaitu hingga dua sikunya sebanyak dua kali, Imam al-Shan`ani berkata: seperti inilah yang terdapat didalam kitab Umdatul Ahkam, akan tetapi di dalam riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim kata marratain (dua kali) ini diulangi dua kali yaitu marratain marratain (sebanyak dua kali dua kali). Adapun perbedaan antara keduanya riwayat yang kedua ini menunjukkan beliau mencuci tangan kanannya dua kali dan tangan kirinya dua kali pula, sedangkan riwayat yang pertama ini menunjukkan beliau mencuci kedua tangannya dua kali dan berkemungkinan beliau mencuci tangan kanannya sekali dan tangan kirinya sekali yang jumlah keduanya jadi dua kali, akan tetapi riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang kita sebutkan tadi  cukup menjelaskan salahnya kemungkinan di atas.
  4. Kalimat (فأقبل بهما وأدبر): ”fa aqbala bihima wa adbara” yaitu memulai dari tekok belakang kepalanya hingga kearah wajahnya di tempat permulaan tumbuhnya rambut kemudian mengembalikannya kembali hingga ke tekok belakang kepalanya. Sebagian para ulama bersikukuh dengan lafaz ini maka mereka berpendapat membasuh kepala itu dimulai dari arah belakang sesuai dengan hadits ini, dan sebagian ulama yang lain dari kalangan Assyafi`iyah dan Malikiyah mereka berpegang dengan uraian yang terdapat pada riwayat yang lain yang berbunyi: beliau memulainya dari arah depan kepalanya hingga ke tekok belakang, kemudian mengembalikannya kembali hingga ke tempat pertama kali beliau memulainya. Maka dalam kedua mazhab ini permulaan membasuh kepala itu dilakukan dari arah depan kepala dipermulaan tumbuhnya rambut bukan dari arah belakang, dan disana masih ada pendapat yang ketiga yang berusaha untuk menyesuaikan dua riwayat yang berbeda ini mereka mengatakan membasuh kepala itu dimulai dari ubun ubun kepala kemudian dilanjutkan kearah depannya selanjutnya ia mengembalikan kedua tangannya tersebut kearah belakang kepala serta mengembalikannya lagi ke pertengahan ubun ubun kepalanya.dari sekian pendapat yang kita kemukakan tadi insyaallah pendapat yang kedua (mazhab Asyafi`iyah dan Malikiyah) disini lebih dekat dengan kebenaran dan pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Ibnu Daqiqi al`-Aidi dan Imam Ashan`ani, adapun riwayat: ”fa aqbala minhuma wa adbara” yang terdapat didalam hadits ini huruf waw dalam kalimat ini tidak memberikan makna “tartib” yang menunjukkan kejadian itu terjadi secara tertib dan beraturan. Hal ini membuktikan tidak adanya perbedaan makna antara riwayat yang pertama dengan riwayat yang kedua, wallahu`alam bisshawab.
  1. Penjelasan Hadits:           
Hadits yang kedelapan ini sebagaimana hadits yang sebelumnya kembali menjelaskan tata cara wudhuknya Rasulullah saw, salah seorang sahabat Nabi saw lainnya Abdullah bin Zaid dalam hadits ini memperagakan wudhuknya Rasulullah saw memenuhi permintaan beberapa sahabatnya, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat ini Amru bin Abi Hasanlah yang meminta Abdullah bin Zaid memperagakan wudhuknya Rasulullah saw dan ini menjelaskan keumuman yang terdapat disebagian riwayat hadits ini yang menyembunyikan identitas sang penanya dan menisbahkan pertanyaan ini kepada jamaah. Kemudian Abdullah bin Zaid meminta diambilkan untuknya air dalam sebuah bejana kemudian beliau berwudhuk dengan air tersebut sebagaimana wudhuknya Rasulullah saw. Disini Abdullah bin Zaid mensifatkan wudhuknya Rasulullah saw sebagaimana yang disifatkan oleh Utsman pada hadits yang sebelumnya kecuali pada permasalahan yang sedikit saja, seperti mencuci tangan sebanyak duakali, tata cara dalam berkumur kumur dan beristinsyaq, serta tambahan dalam kaifiyah membasuh kepala. Adapun mengenai pembahasan yang telah kita sebutkan pada penjelasan hadits sebelumnya kita tidak akan mengulanginya lagi pada penjelasan hadits ini. Dalam hadits yang agung ini Abdullah bin Zaid mencuci tangannya sebanyak dua kali dan mencuci anggota yang lainnya sebanyak tigakali sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw, bahkan dalam beberapa riwayat yang pernah dinukilkan dari Rasulullah saw beliau pernah berwudhuk dan mencuci anggota wudhuknya sekali sekali, duakali dua kali dan tiga kali tiga kali, yang tentunya beliau melakukan ini untuk mengajarkan umatnya bolehnya mencuci anggota wudhuk  sekali saja ataupun dua kali. Akan tetapi seringnya beliau saw mencuci anggota wudhuknya sebanyak tiga kali sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Utsman yang telah kita sebutkan sebelumnya, dan kaifiyah yang terakhir ini adalah kaifiyah yang paling sempurna dibandingkan yang lainnya. Kemudian Abdullah bin Zaid memperagakan kaifiyah berkumur kumur dan beristinsyaq yaitu sebanyak tigakali dengan tiga cedukan, mengenai kaifiyah ini para ulama berselisih pendapat mereka. Apakah berkumur kumur ini dilakukan bersamaan dengan al-Istinsyaq dan al-Istintsar? ataupun dilakukan secara terpisah? sebagian para ulama memilih pendapat yang pertama yaitu berkumur kumur dan beristinsyaq secara bersamaan, sedangkan sebagian yang lain memilih pendapat yang kedua yaitu dua hal ini dilakukan secara terpisah, akan tetapi hadits yang  bersama kita ini membenarkan pendapat yang pertama yaitu berkumur kumur dan beristinsyaq dari satu cedukan dengan menggunakan satu telapak tangannya sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat imam muslim kemudian mengulanginya sebanyak tiga kali, wallahu`alam. Selanjutnya Abdullah bin Zaid memasukkan tangannya dalam bejana dan mencuci wajahnya sebanyak tiga kali,di riwayat ini kata tangan datang dalam bentuk tunggal yang menunjukan beliau cuma memasukkan salah satu tangannya seperti ini juga yang terdapat didalam riwayat Imam Muslim dan kebanyakan riwayat Imam Bukhari. Setelah menyebutkan dua riwayat ini Imam al-Nawawi berkata: pendapat yang  masyhur dari kalangan jumhur para ulama disunnahkan mengambil air untuk mencuci wajah dengan menggunakan dua tangan sekaligus karena dengan demikian akan mempermudah dalam mencuci wajah kemudian didalam hadist ini pula Abdullah bin Zaid memperagakan tata cara membasuh kepala beliau memulainya dari arah depan kepala kemudian melanjutkannya hingga ketekok belakangnya. Adapun permasalahan yang lainnya yang berkenaan dengan wudhuk telah kita sebutkan pada penjelasan hadits sebelumnya.
  1. Hukum-Hukum Syar`i yang berkenaan dengan hadits.
Pertama: Apakah diwajibkan mengucapkan bismillah sebelum berwudhuk?
Kedua: Apakah tertib dalam berwudhuk merupakan sebuah kewajiban ataupun bukan?
Jumhur ulama berpendapat tertib dalam berwudhuk merupakan suatu kewajiban dan syarat sahnya wudhuk, sedangkan dalam mazhabnya Imam Abu Hanifah tertib dalam berwudhuk adalah sunnah, oleh karena itu beliau membolehkan seseorang berwudhuk walaupun dengan cara terbalik seperti mendahulukan mencuci kaki sebelum anggota wudhuk yang lain, dan diantara dalil yang beliau jadikan sandaran dalam masalah ini perkataan Abdullah bin Mas`ud RA yang mengatakan: Saya tidak akan memperdulikan dengan tangan yang mana saya memulainya (yaitu ketika berwudhuk)? Kemudian huruf waw yang terdapat pada ayat wudhuk dalam surat al-Maidah tidak memberikan makna tertib yang mengharuskan kegiatan wudhuk ini dilakukan secara berurutan. Pendapat jumhur ulama dalam masalah ini lebih dirajihkan karena kuatnya dalil-dalil mereka kemudian dalam ayat wudhuk di surat al-Maidah Allah swt mengurutkan membasuh kepala antara mencuci tangan dan kaki yang menunjukkan Allah swt disini menginginkan tertib antara anggota wudhuk tersebut, karena dalam tatanan bahasa Arab segala yang sama itu harus disebut secara berurutan, dan tidak akan dipisahkan dari yang sama darinya kecuali ketika digunakan untuk mengutarakan urutan. Adapun mengenai perkataannya Abdullah bin Mas`ud beliau tidak menafikan tertib dalam anggota wudhuk secara umum akan tetapi beliau cuma menafikan tertib antara tangan kanan dan tangan kiri dalam berwudhuk dan hukum tertib antara kedua tangan ini dalam berwudhuk adalah sunnah sesuai dengan ijma` para ulama.
  1. Faedah dan hikmah dari hadits:
1)      Dibolehkannya bersuci dari bejana yang terbuat dari kuningan, dan seluruh bejana bejana yang suci itu dibolehkan bersuci darinya kecuali bejana emas dan perak, karena Allah swt telah mengharamkan makan dan minum dengan menggunakan bejana tersebut maka mengharamkan bersuci yang merupakan sebuah ibadah lebih utama dari makan dan minum. Adapun dalil yang mengharamkan makan dan minum dari bejana emas dan perak hadits Rasulullah saw yang berbunyi: janganlah kalian makan dan minum dari bejana emas dan perak karena sesungguhnya bejana ini untuk mereka di dunia dan untuk kalian di akhirat.
2)      Tabii`in Amru bin Hasan disini mengajarkan kita bagaimana kita harus beradab ketika hendak bertanya kepada guru? yaitu berlemah lembut dalam bertanya dan menggunakan kata kata yang sopan.disebutkan dalam beberapa riwayat hadits ini Amru bin Hasan mengatakan: Bisakah anda memperagakan bagi kami bagaimana Rasulullah saw berwudhuk? beliau menggunakan kata yang begitu sopan. Karena bertanya adalah kunci ilmu dan seseorang bisa diharamkan dari ilmu tersebut disebabkan kata kata jelek yang digunakannya. Ibnu Abbas yang digelari dengan lautan ilmu beliau pernah ditanyakan bagaimana baliau mendapatkan ilmu ilmu tersebut, beliaupun menjawab: Saya mendapatkannya dengan hati yang senantiasa memahami dan lidah yang selalu bertanya.
3)      Tawadhuknya Rasulullah saw sebagai seorang pemimpin dengan mendatangi rumah para sahabat yang merupakan warganya dan mengajarkan mereka apa yang mereka butuhkan tentang perkara perkara agama mereka. Dan apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw ini tidak dinilai menjatuhkan martabat dan marwah beliau sebagai seorang pemimpin didepan masyarakatnya, maka hendaknya para pemimpin kaum muslimin sekarang ini bertauladan dari Rasulullah saw, Allah swt berfirman: sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah saw itu suri tauladan yang baik bagi kalian.




[1] .alhurrah adalah hari dimana pasukan yazid bin muawiyah memerangi penduduk madinah setelah mereka menolak untuk membai`atinya sebagai khalifah kaum muslimin.

Komentar

Postingan Populer