orientalisme dan oksidentalisme
- Latar Belakang Masalah
Wacana Islam dan Barat dalam kajian keislaman
merupakan kajian yang benar-benar baru. Artinya, dalam diskursus keagamaan
klasik tidak mendapat perhatian serius. Kajian keislaman, baik dalam bidang
kalam, tafsir, hadis maupun tasawuf, secara umum hanya membahas hal-hal yang
berhubungan dengan konteks umat Islam. Sedangkan, pembahasan untuk konteks
global seperti sekarang ini, diskursus Islam dan Barat masuk dalam kategori
“yang tak terpikirkan”. Walaupun terdapat pembahasan tentang Islam dan yang
lain (the other), paling hanya berkisar seputar hubungan antara umat
Islam dan non-muslim dalam lingkup ajaran, doktrin dan agama. Sedangkan kajian
yang lebih luas tentang hubungan Islam dan Barat atau budaya masyarakat di luar
Islam masih sulit ditemukan.
Kajian ketimuran dan kebaratan dalam studi
keislaman (islamic studies) biasanya dibingkai dalam istilah
orientalisme dan oksidentalisme. Sebenarnya seperti apa orientalisme dan
oksidentalisme didefinisikan oleh para pakar, dan bagaimana eksistensinya dalam
sejarah dunia? Penulis dalam makalah ini akan menjelaskan dua persoalan di atas
dengan pendekatan historis-fenomenologis, sehingga diharapkan pendekatan itu
dapat mengungkap akar dan faktor terjadinya orientalisme dan oksidentalisme.
Selama ini, asumsi yang dibangun bahwa kajian
orientalisme dianggap negatif oleh para pengkaji keislaman yang notabene
berasal dari timur (occidentalist) karena dianggap tidak objektif dan
mengada-ada, selain itu standar kajiannya terlalu eurosentrism sehingga
memunculkan wacana yang narsisisme (al-Ana). Adapun oksidentalisme –yang
oleh sebagian kalangan akademisi diwacanakan sebagai lawan orientalisme-
merupakan sebuah antitesis yang sifatnya historis, oksidentalisme diwacanakan
untuk mengkonfrontasi kajian orientalisme yang sifatnya dianggap sepihak, tidak
objektif dan mengada ada. Dengan begitu, ketika dua wacana ini dipertentangkan
seakan-akan terjadi perang antara peradaban timur dan barat yang kemudian
oleh Samuel P. Huntington disebut dengan benturan peradaban
(the clash of civilization-1997).
Dalam makalah ini penulis mencoba menelusuri
akar kesejarahan orientalisme dan oksidentalisme serta faktor-faktor yang
memicunya, dengan demikian penulis ingin memetakan seperti apa dinamika
intelektual timur dan barat yang terbingkai dalam wacana orientalisme dan
oksidentalisme, dengan mengetahui persoalan yang terjadi dalam dua wacana yang
menjadi pembahasan inti makalah ini, pembaca ataupun akademisi bisa lebih
obyektif dalam menyikapinya.
Dalam makalah ini, penulis ingin memberi
gambaran awal tentang orientalisme dan oksidentalisme; menelusuri akar sejarah,
eksistensi dan para aktornya. Rasanya terlalu singkat menggambarkan dan
sekaligus menyimpulkan hanya dengan tulisan yang seringkas ini, semoga dengan
membaca sekelumit tulisan ini banyak kalangan akademisi dan peminat kajian
orientalisme dan oksidentalisme mendapatkan inspirasi untuk meneliti lebih
lanjut dengan tema yang sama dan fokus yang berbeda (lebih mendalam).
- Rumusan
Masalah
Adapun poin-poin penting
yang kita sebutkan dalam makalah ini bisa kita rumusan sebagai berikut:
-
Pengertian Orientalisme
dan Oksidentalisme
-
Sejarah dan factor
pendorong wacana orientalisme dan oksidentalisme
-
Ruang lingkup
Orientalisme beserta tujuannya.
-
Tokoh Orientalisme dan
Oksidentalisme
- Tujuan
dari penulisan makalah
Makalah ini merupakan
salah satu tugas yang diembankan kepada penyusun dalam bidang study Metodelogy
Kajian Islam, penyusun disini berusaha untuk membicarakan mengenai Orientalisme
dan Oksidentalisme secara lebih menyeluruh, dengan lebih menekankan sisi
kesejarahannya dan factor kemunculannya. Semoga bermanfaat.
BAB II: PEMBAHASAN
A. Pengertian Orientalisme dan
Oksidentalisme
1. Orientalisme
Orientalisme berasal dari kata orient,
bahasa prancis, yang secara harfiah bermakna
timur dan secara
geografis bermakna dunia belahan timur, dan secara etimologis
bermaknabangsa-bangsa di timur. Kata “orient” telah memasuki
berbagai bahasa eropa, termasuk bahasa inggris. Oriental adalah
sebuah kata sifat yang bermakna hal-hal yang bersifat timur, yang
teramat luas ruang lingkupnya. Orientalis adalah kata nama
pelaku yang menunjukkan seseorang yang ahli tentang hal-hal yang berkaitan
dengan “timur” itu; biasanya disingkat dengan sebutan ahli ketimuran.[1] Kata “isme”
(belanda) ataupun “ism” (inggris) menunjukkan pengertian tentang suatu
paham atau aliran, yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan
bangsa-bangsa timur beserta lingkungannya. Dalam buku Al-Mausu’ah
Al-Muyassarah Fi Al-Adyan Wa Al-Madzahib Al-Mu’ashira,[2] orientalisme
(al-istisyraq) dideskripsikan sebagai gelombang pemikiran yang
mencerminkan berbagai studi ketimuran yang islami. Sedangkan objek kajiannya
mencakup peradaban, agama, seni, sastra, bahasa, dan kebudayaan.
2. Oksidentalisme
Oksidentalisme (al-Istighrab) adalah
lawan dari orientalisme (al-Istisyraq). Kalau
oreintalisme melihat
potret Timur yang dalam tanda petik “Islam” dari kacamata Barat, maka
oksidentalisme justru sebaliknya; melihat potret Barat dari kacamata Timur.[3] Apabila ditinjau dari
segi etimologinya, oksidentalisme diambil dari akar kata occident yang
berarti “arah matahari terbenam”. Kata ini berasal dari bahasa Latin, occidens dari
kata occido atau occedo, dan occidere,
yang berarti to go down. Istilah-istilah itu mengandung beberapa
arti, seperti: turun, memukul, membunuh, menghancurleburkan, jatuh, roboh,
rebah, terbenam, disebelah barat, berakhir, habis riwayatnya, hilang, lenyap,
matahari terbenam, senja atau barat, bagian dunia sebelah barat Asia terutama
Eropa dan Amerika. Sedangkan Misi dari oksidentalisme sendiri
adalah mengurai dan menetralisasi distorsi sejarah antara Timur dan Barat, dan
mencoba meletakan kembali peradaban Barat pada proporsi geografisnya.[4]
Melihat dari dua deskripsi di atas (orientalisme
maupun oksidentalisme), sementara bisa disimpulkan bahwa orientalisme dan
oksidentalisme merupakan kajian kawasan, teritorial baik Timur maupun Barat yang
dideskripsikan melalui wacana pengetahuan dan kebudayaan.
B. Sejarah
dan Faktor Pendorong Wacana Orientalisme Dan Oksidentalisme
1.
Akar Sejarah Dan Faktor Pendorong Orientalisme
Sejak tahun 60-an sehabis perang dunia II
(1939-1945) dikenal sebutan “dunia belahan utara” dan “dunia belahan
selatan” yang masing-masing berarti “negara-negara maju” (industrial
countries) dan “negara-negara berkembang” (developed countries).
Tetapi sebelumnya sejak sekian abad lamanya, dipergunakan sebutan dunia timur dan dunia
barat. Dimaksudkan dengan dunia barat dewasa itu ialah wilayah
Eropa dengan penduduknya, dan belakangan mencakup benua Amerika setelah dunia
baru itu di temukan oleh Christoper Columbus pada tahun 1493 M.
dan setelah itu maka mulailah penduduk yang berada di wilayah Eropa melakukan
emigrasi ke benua baru temuannya. Hasrat untuk mengenali hal-hal yang berkaitan
dengan benua Timur itu disebut orientalisme yang dimunculkan
oleh dunia Barat.[5]
Adapun akar sejarah yang mendorong hasrat para
orientalis untuk mengetahui seluk beluk dunia ketimuran bisa ditelusuri sejak
dari zaman purbakala (ancient age) dan masa-masa berikutnya sampai
menjelang awal abad ke-16 M.
- Zaman Purbakala
Perbenturan kepentingan memperebutkan wilayah
kekuasaan menyebabkan pecahnya perang yang berkelanjutan antara Grik tua dengan
dinasti Achaemenids (600-330 SM) dari imperium Parsi, sejak masa pemerintahan
Cyrus The Great (550-530 SM) sampai kepada raja-raja Parsi turunannya. Pada
masa itu telah terjadi sejenis hubungan permusuhan, perbenturan kepentingan,
yang mendorong masing-masing pihak untuk mengenali keadaan pihak lainnya. perbenturan
kepentingan dan permusuhan yang terjadi berabad-abad lamanya antara pihak Barat
dan pihak Timur dikisahkan dalam buku Anabasis karya Xenophon (431-378
SM).[6]
Belakangan, Alexander The Great (356-323 SM)
dari Macedonia, murid Aristoteles (384-322 SM), merebut Asia kecil dari
kekuasaan Parsi dan kemudian menaklukkan wilayah luas sejak dari Lybia dan
Mesir di pesisir Afrika utara sampai ke Asia tengah berbataskan pegunungan
Thian Shan dengan pihak Tiongkok, maju selanjutnya memasuki anak benua India
dan menempatkan gubenur Grik di kota Taxila,
dekat Peshawar sekarang. Dengan demikian pihak Barat telah
berbenturan langsung dengan daerah pedalaman Asia dan menemukan ragam
bentuk kekuasaan, ragam kebudayaan, ragam keyakinan keagamaan, dan ragam adat
istiadat.[7]
Sewaktu Alexander The Great wafat pada
tahun 323 SM. Tanpa meninggalkan keturunan, maka wilayah
kekuasaannya yang demikian luas menjadi rebutan para
panglimanya.Kekuasaan Grik di anak benua India kemudian
ditumbangkan oleh dinasti Maurya (321-184 SM) yang dibangun
oleh Chandragupta. Kekuasaan Grik dalam wilayah Asia tengah
dan wilayah Iran ditumbangkan kembali oleh dinasti Arsacids (247
SM-226 M). Hanya tinggal kekuasaan grik di Asia kecil, Syiria dan Palestina di
bawah dinasti Seleucids (305-64 SM), dan di Mesir dan Libia di bawah
kekuasaan dinasti Ptolemi (305-30 SM), dan kota-kota di semenanjung Grik saja
yang membebaskan diri kembali menjadi polis-polis merdeka seperti pada masa
sebelum ditaklukkan raja Philip (356-336 SM) dari Macedonia.[8] Kekuasaan Grik pada
akhirnya ditumbangkan pihak Roma dan terbentuklah wilayah imperium Roma yang
menguasai wilayah luas sejak dari Asia kecil, Suria, Palestina, Mesir,
pesisir Afrika utara, semenanjung Iberia (Spanyol-Portugal), Gaul (Prancis),
sampai kepulauan Britain (Inggris).[9]
- Zaman Pertengahan
Zaman tengah bermula pada abad ke-4 masehi dan
berlangsung selama seribu tahun sampai dengan zaman kebangkitan (renaissance)
di Eropa pada abad ke-14 masehi. Ibukota imperium Roma sudah dipindahkan ke
Konstantinopel dikenal dengan imperium Roma timur (Bizantium). Sedangkan
wilayah Eropa barat telah terbagi menjadi sekian banyak kekuasaan-kekuasaan
setempat, dikenal dengan kekuasaan feodal. Sejak abad ke-3 masehi, tidak
henti-hentinya berkecamuk peperangan antara imperium Roma timur dengan dinasti
Sasanids (206-651 M.) dari imperium Parsi sampai pertengahan abad ke-7 masehi.
Kemudian wilayah imperium Parsi itu direbut dan dikuasai pihak Islam pada masa
pemerintahan khalifah Umar Bin Khattab (634-644 M), begitu pula wilayah Suriah,
Palestina, Mesir dan Libia dari kekuasaan imperium Roma timur. Pada
pemerintahan khalifah Walid Bin Abdul Malik (705-715 M) dari daulah Umayyah
(661-750 M) kekuasaan Islam itu membentang sejak dari pegunungan Thian Shan di
belahan timur sampai pegunungan Pyrenees di belahan barat, hingga lautan tengah
dalam masa berabad-abad berikutnya terpandang sebagai lake
of arabs (danau bangsa Arab).[10]
Sampai pada saat tumbangnya kekuasaan Islam
di Andalusia tahun 1492 M. Pada penghujung abad ke-15 masehi -
selama delapan abad
semenjak abad ke-7 masehi- dunia Barat hanya mengenali bangsa-bangsa timur di
sekitar lautan tengah belaka.
Demikianlah sekilas akar sejarah pertumbuhan
minat pihak Barat mempelajari situasi dan kondisi di Timur.
- Faktor pendorong kajian
orientalisme
Apabila diuraikan faktor-faktor pendorong
timbulnya kajian orientalisme maka akan sangat banyak sekali variannya karena setiap sejarawan memiliki
argumen yang berbeda. Meskipun demikian, dalam makalah ini penulis akan
menuliskan beberapa poin penting saja, diantaranya adalah:
1). Perang Salib
Pada tahun 968 M, daulah
Fatimiyah (909-1171 M) yang terbentuk di tunisia akhirnya berhasil
merebut dan menguasai wilayah Mesir dari kekuasaan daulah Abbasiah, sewaktu
daulah fatimiyah berada di bawah kekuasaan khalifah Mu`iz lidinillah (952-975
M), lalu Membangun ibu kota Kairo dan perguruan tinggi al-Azhar dengan
kurikulum berdasarkan paham Syi’ah guna menandingi perguruan tinggi Nizdamiyah
di Baghdad yang kurikulumnya berdasarkan paham Sunni. Belakangan daulah
Fatimiah itu meluaskan kekuasaannya ke Palestina dan Suriah.
Sementara itu, kota suci Jerussalem
sejak dikuasai oleh pihak Islam pada tahun 636 M. tetap
merupakan kota suci bagi tiga agama; Yahudi, Kristen, dan Islam.
Baik orang-orang Kristen maupun orang-orang Yahudi yang berziarah
ke kota suci itu akan memperoleh kebebasan sepenuhnya untuk
mengunjungi tempat-tempat yang dianggap suci oleh masing-masing agama sekaligus
akan diperlakukan sebaik-baiknya selama berada di kota suci itu.
Tetapi di bawah kekuasaan daulah Fatimiah, berlaku tekanan terhadap
orang-orang Kristen yang berziarah
ke kota suci tersebut. Dengan adanya kasus itu oleh Paus
Urban II (1088-1099) dari Vatikan untuk membangkitkan kemarahan
orang-orang Kristen dan raja-raja Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci
(Holy War) ke tanah suci guna merebut tanah suci itu dari kekuasaan
pihak Islam. Itulah yang disebut “Perang Salib” (The Crausades)
yang berlangsung hampir dua abad lamanya.
Selama dua abad itu, Perang Salib terjadi sebanyak
delapan kali;
1- Angkatan Salib I (1096-1099 M)
2- Angkatan Salib II
(1147-1149 M)
3- Angkatan Salib III (1189-1192
M)
4- Angkatan Salib IV
(1202-1204 M)
5- Angkatan Salib V
(1218-1221 M)
6- Angkatan Salib VI (1228-1229 M)
7- Angkatan Salib VII
(1248-1254 M)
8- Angkatan Salib VIII (1270-1271
M)
Akibat dari Perang Salib yang
terjadi hampir dua abad lamanya, besar sekali pengaruhnya terhadap dunia Barat
dalam bidang budaya dan intelektual. Sebelumnya, sejak abad ke-7 masehi, pihak Islam
yang memasuki wilayah-wilayah Kristen sejak dari asia kecil sampai ke
semenanjung Italia dan semenanjung Iberia (Spanyol, Portugal)
dan wilayah-wilayah Eropa yang mengunjungi wilayah-wilayah kekuasaan Islam,
maka hal itu hanya bersifat perorangan belaka. Tetapi
selama Perang Salib yang terjadi hampir dua abad lamanya mereka
datang dalam jumlah yang besar, sampai ratusan ribu setiap angkatan dari
lapisan rakyat umum sampai kaum bangsawan.
Di wilayah-wilayah
Islam itulah mereka menyaksikan kaste-kastel bekas kediaman amir-amir Islam
maupun para sultan di wilayah suriah maupun tanah suci bekas imperium Roma itu,
berhiaskan dekorasi yang membangkitkan rasa estetik. Tetapi
sejak PerangSalib, terjadilah perubahan besar. Mereka mulai memesan
benda-benda yang terpandang mewah ketika itu, sehingga berkembanglah
perdagangan Venezia dan Genoa, yang menyambut barang-barang kebutuhan
tingkat tinggi dari saudagar-saudagar muslim di Bandar-bandardagang
sekitar laut tengah.[11]
Selain menyaksikan perkembangan kebudayaan dunia
Islam, mereka juga menyaksikan betapa tinggi perkembangan ilmiah dan filsafat
sehingga menggelorakan selera kaum cendekiawan yang ikut dalam setiap
angkatan Perang Salib. Semua itu semakin membangkitkan minat dan
perhatian untuk menggali dan mempelajari situasi dan kondisi di benua Timur.
Dari Perang Salib yang terjadi,
sebenarnya terdapat motif yang tersembunyi berupa misi penyebaran
agama Kristen dan perebutan wilayah yang berlandaskan ekonomi,
sehingga pada masa-masa selanjutnya yang terjadi di banyak negara Timur adalah
merebaknya kolonialisme.
2). Sentuhan Barat Dengan Perguruan Tinggi Pihak Islam
Salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan
orientalisme adalah persentuhan tokoh-tokoh dari Barat dengan perguruan tinggi
Islam.[12] Sejarah mencatat
adanya empat perguruan tinggi tertua di lingkungan dunia Islam. Perguruan
tinggi tertua dunia Islam di belahan timur
berkedudukan
di Baghdad (Irak) dan Kairo (Mesir); yang kurang mengundang perhatian
tokoh-tokoh dari Barat pada masa itu dan masa-masa berikutnya. Sebaliknya dua
perguruan tinggi tertua dunia Islam di belahan barat yang
berkedudukan di Cordova (Andalusia) dan Fez (Maroko), justru tarikannya
begitu kuat mengundang tokoh-tokoh dunia Barat untuk belajar dan meneliti.[13] Keempat perguruan
tinggi tertua di dunia Islam itu adalah: Nidzamiah, Al-Azhar, Cordova, Kairwan.
Dari jumlah keempat perguruan tinggi tertua
dalam dunia Islam itu yang sampai saat ini masih hidup hanya cuma dua perguruan
tinggi: Al-Azhar (972 M) dan Kairwan (859) di Maroko. Itulah dua buah
perguruan tinggi tertua di dunia sepanjang sejarah, dibandingkan perguruan
tinggi Oxford (1163 M) dan Cambridge (1209 M) di
Inggris, Sorbonne (1253 M) di Prancis, Tubingen (1477 M) di
Jerman, Edinburgh (1582 M) di Skotlandia.
3). Penyalinan Naskah-Naskah Arab
Ke Dalam Bahasa Latin Mengenai Bidang Ilmiah Dan
Filsafat
Faktor lain yang menumbuhkan kajian orientalisme
adalah keinginan menyelami hal-hal yang berkaitan maupun yang datang dari
Timur, hal itu terjadi dikarenakan terdapat penyalinan manuskrip-manuskrip
kedalam bahasa Latin sejak abad ke-13 masehi hingga bangkitnya zaman
kebangkitan (renaissance) di eropa pada abad ke-14. Kegiatan penyalinan
manuskrip-manuskrip itu pertama kali mendapat restu
King Frederick II dari Sicily (1198-1212) yang
kemudian menjabat kaisar Holy Roman Empire (1215-1250).[14]
Meskipun mendapat persetujuan dari Paus di
Vatikan, namun kegiatan itu tetap berlangsung sehingga terbangun
perguruan-perguruan tinggi di semenanjung Italia, Padua, Florence, Milano,
Venezia, kemudian di susul oleh Oxford dan Cambridge di Inggris, Sorbonne di
Prancis, dan Tubingen di Jerman. Manuskrip-manuskrip karya ilmuwan muslim dari
berbagai cabang ilmiah itu di salin kedalam bahasa latin; utamanya dalam bidang
filsafat sehingga melahirkan aliran Skolastik, Rasionalisme, Empirisme, dan
lainnya.
Berkat penyalinan karya-karya ilmiah dari
manuskrip-manuskrip Arab tersebut, terbukalah jalan bagi perkembangan
cabang-cabang ilmiah tersebut di Barat.[15] Apalagi sesudah
aliran Empirisme –yang dikumandangkan
oleh Francis Bacon (1561-1626) melalui karyanya Novum Organon- menguasai
alam pikiran Barat dan berkembangnya observasi dan eksperimen. Akan tetapi
penyalinan karya-karya filsafat itu juga membangkitkan pro dan kontra yang
sangat tajam pada masa-masa permulaan.
Selain itu, pengaruh lawatan Marco Polo (1254-1324) ke
tiongkok yang mewariskan karya berjudul Description of The World (uraian tentang
dunia) yang belakangan lebih dikenal dengan judul The Travels of Marco Polo (perlawatan Marco Polo) dianggap memberikan
pengaruh besar terhadap Barat untuk mengkaji Timur lebih lanjut.
2. Akar Sejarah Dan Faktor Pendorong Oksidentalisme
Apabila di telisik,
menurut Hassan Hanafi[16] akar oksidentalisme
lebih lampau dari Revolusi Perancis, tapi sudah dimulai jauh sebelum itu,
yaitu sejak lahirnya peradaban ego yang diwakili tradisi Islam
selama empat belas abad atau lebih. Akar oksidentalisme dapat dilacak jika kita
tahu hubungan kita (Timur) dengan Yunani di masa lalu. Yunani adalah bagian
dari Barat baik ditinjau dari segi geografis, sejarah maupun peradabannya.
Yunani dan Romawi merupakan sumber kesadaran Eropa. Sedangkan peradaban
baru ego yang diwakili tradisi Islam kuno memiliki akar lain
yang lebih tua di masa lampau, yaitu peradaban Timur kuno di
Mesir, Kan’an, Asyuriah, Babilonia,
Persia,
India, Cina.
Peradaban-peradaban tersebut adalah peradaban yang diwarisi Islam dan
merepresentasikan peradaban ego-Islam baru. Sebagai sumber,
peradaban-peradaban tersebut merupakan dimensi Timur peradaban baru ego dan
evolusi tauhid dari agama-agama Cina sampai India, kemudian ke
negara-negara antara sungai Kan’an dan Mesir. Begitu pula
Yahudi-Kristen masuk dalam kategori akar peradaban baru ego dari
Timur.[17]
Dengan demikian akar oksidentalisme dapat
dilacak dalam relasi peradaban Islam dengan peradaban Yunani. Ketika peradaban
Islam berstatus sebagai pengkaji, ia mampu menjadikan peradaban Yunani sebagi
obyek yang dikaji. Kemudian terjadilah dialektika yang benar antara ego dengan the
other, ego sebagai subyek pengkaji dan the others sebagai
obyek yang dikaji. Hal ini melalui beberapa fase sebagai berikut:[18]
1- Fase transferensi (al-naql), dalam fase ini
diberikan prioritas kepada “kata” sebagai perwujudan keinginan untuk memberikan
perhatian kepada bahasa buku asli, yaitu bahasa Yunani, serta memberikan
perhatian kepada munculnya istilah-istilah dalam filsafat.
2- Fase transferensi makna (al-naql al-ma’nawi),
fase ini prioritas diberikan kepada “makna” sebagai manifestasi keinginan untuk
memberikan perhatian kepada bahasa terjemahan, yaitu bahasa Arab, serta memulai
karya filsafat tidak langsung.
3- Fase anotasi (al-syarh), dalam fase ini prioritas
diberikan untuk tema atau substansi, dan upaya mengungkapkan tema tersebut
secara langsung dengan sedikit memasukkan redaksi orang lain ke dalam karya
baru ini, serta memberikan perhatian kepada struktur dan pengungkapan tema itu
sendiri.
4- Fase peringkasan (talkhish), yaitu mempelajari
suatu tema dengan memfokuskan kajian pada inti tema tanpa melakukan perdebatan
dan pembuktian; meminimalisir penyampaian tema tanpa melakukan penambahan atau
pengurangan yang dapat mengakibatkan teks berubah menjadi substansi dan kata
berubah menjadi tema.
5- Mengarang dalam lingkup kebudayaan pendatang dengan
melakukan presentasi dan penyempurnaan, sehingga kata, makna serta tema dalam
kebudayaan the other, dapat dibendung. Tema yang ada dapat
dijadikan sebagai tema independen ego.
6- Mengarang dalam lingkup tema kebudayaan
pendatang disamping tema tradisi ego. Disinilah potret ego menemukan
kesempurnaannya dan kebudayaan the other dapat dipisahkan dari
kebudayaan ego.
7- Kritik terhadap kebudayaan pendatang dan
menjelaskan lokalitas serta keterkaitannya dengan lingkungan.
8- Menolak total kebudayaan pendatang karena sudah tidak
diperlukan lagi, dan kembali kepada teks ego yang masih mentah
tanpa ada keinginan untuk sedikitpun atau merasionalkannya serta melakukan
interaksi dengan kebudayaan lain.
Akhir abad ke-18, setelah revolusi Perancis
berakhir tahun 1789, Perancis mulai menjadi negara besar, membayang-bayangi
kebesaran Inggris. Waktu Napoleon menguasai Mesir mulai 2 juli 1798, Mesir jadi kenal dengan kemajuan
Perancis khususnya dan Barat (Eropa) pada umumnya,[19] karena Napoleon hanya membutuhkan waktu 20
hari untuk menundukkan Mesir secara keseluruhan dan langsung menjadikannya
sebagai daerah koloni Perancis. Sewaktu Muhammad Ali dari
Turki menjadi Pasya Mesir,[20] ia sangat
terkesima melihat Eropa dan ingin memajukan Mesir. Dia mengirim ratusan bahkan
sampai ribuan pemuda-pemuda Mesir belajar ke Eropa, terutama Perancis, Inggris,
Italia dan Austria. Untuk mengawal mental spiritual para mahasiswa muslim
tersebut, dikirim pula para imam. Diantara para imam itu terdapat seorang
pemuda yang cerdas, Rifa’ah Badawi Rafi’ Al Tahtawi.[21] Dengan keberadaan sejumlah
besar pelajar dan mahasiswa muslim beserta imam-imam yang mendampingi
mereka di Perancis, berproseslah pembentukan masyarakat minoritas Islam di
kota-kota besar Perancis, terutama Paris. Proses awal ini diperkuat oleh
masuknya tokoh besar pemikir dan pejuang
Islam, Jamaluddin Al-Afghani ke Paris tahun 1880-an.[22] Di Paris ia
membentuk sebuah organisasi Islam, Al-‘Urwah Al-Wusqa yang
anggota-anggotanya terdiri dari muslim-muslim dari Mesir, India, Suriah, Afrika
Utara, dan lainnya. Lewat organisasinya itu,
dia mendirikan dan menerbitkan sebuah jurnal Islam yang juga dinamakan Al-‘Urwah Al-Wusqa.[23]
Faktor Pendorong Kajian Oksidentalisme
Adapun faktor yang mendorong untuk melakukan
kajian oksidentalisme menurut Hassan Hanafi dalam bukunya Muqaddima
fi ‘Ilmi Al-Istighrab[24] adalah
ingin membebaskan Arab (Timur) dari pengaruh hegemoni Barat, hal itu dapat
diurutkan dan diringkas menjadi beberapa poin berikut ini:
a- Awal terjadinya keguncangan peradaban
Barat dengan sains Barat membuat egokehilangan keseimbangan. Ia
sekuat tenaga mengejar ilmu yang tidak diketahuinya untuk dipelajari dan
dikuasai. Ia terpikat oleh pesona the other. Dalam keterpikatannya,
ia melupakan dirinya dan berubah menjadi the other dan
akhirnya teralienasi.
b- Awal kebangkitan dari keguncangan
imperialisme yang ditandai dengan munculnya seruan untuk
menggunakan cara yang ditempuh penjajah dalam menguasai kita
(Timur;Islam). Kita diharapkan dapat membebaskan diri dari penjajah
dengan cara ilmu pengetahuan yang digunakan oleh Barat untuk menjajah
kita. Dengan demikian kita dapat menyerang Barat dengan senjata mereka, yaitu
ilmu pengetahuan dan peradaban yang tidak mengenal perbedaan antara Islam
dan Kristen.
c- Gerakan reformasi dan keinginan untuk
melepaskan diri dari kekuasaan Turki Usmani, tasawuf dan tradisi lama penguasa,
serta munculnya seruan untuk mengambil Barat sebagai contoh kebangkitan modern.
Persoalan utama sekarang bagi umat Islam adalah sebagaimana tercermin dalam
sebuah judul buku limadza ta’akhkhara al-muslimun wa taqaddama
ghairuhum (mengapa umat Islam terbelakang dan umat lain maju).
d- Dibangunnya negara modern setelah
terlepas dari negara elit, dan dibutuhkannya teoritisi, teknokrat, sarjana dan
birokrat untuk mengisi pos-pos pemerintahan. Dalam hal ini Tahtawi dapat disebut
sebagai pemukanya.
e- Awal pengiriman delegasi keilmuan dan
warga kita (Timur) ke Barat untuk belajar disana. Kemudian setelah pulang
mereka melakukan modernisasi masyarakat, membangun Negara dan menciptakan
kecenderungan baru pemikiran dan kebudayaan, mendampingi kecenderungan lama
yang sudah ada.
f- Kunjungan timbal balik antara Timur dan
Barat, dan dikenalnya the other oleh ego yang
kemudian dianggap sebagai cermin bagi ego. Kebanggaan kepada Barat
pun merebak di kalangan kita (Timur), sehingga muncul anggapan bahwa Barat
adalah satu-satunya tipe modernisasi.
g- Arus penerjemahan dari Barat yang dimulai sejak
berdirinya madrasah al-Alsun; beralihnya gerakan penerjemahan,
seperti yang terjadi pada “Diwan Al-Hikmah” pada masa al-Makmun, dari
usaha perorangan menjadi kerja yang terorganisir dan diawasi negara; serta
berlanjutnya transferensi yang tiada hentinya sampai sekarang tanpa dimulainya
fase inovasi.
h- Awal penulisan tema-tema tentang wacana barat dalam bidang
pemikiran, politik, sosial, etika, hukum dan lainnya yang mengakibatkan
tersebarnya madzhab Barat di atas realitas kita dan kemudian menjadi fokus
kebudayaan pemikat bagi umat manusia. Beredarlah buku-buku yang membahas
tentang Positivisme, Eksistensialisme, Pragmatism, dan Marxisme, begitu pula
buku tentang tokoh-tokoh terkenal barat seperti Descartes, Kant, Hegel,
Barkeley, Russel, William James, Bergson, Whitehead, Hume, Lock,
Kierkegard.
Dari sana kemudia di masa sekarang
muncul gejala oksidentalisme dalam generasi kita (Timur; Islam). Banyak orang
membicarakan tentang kemungkinannya bahkan perlunya membangun oksidentalisme
untuk membantu Timur keluar dari wilayah imitasi kebudayaan the other.
Oksidentalisme bukan sekedar kebalikan orientalisme, atau orientalisme
terbalik, atau orientalisme berlawanan, tetapi merupakan reaksi atas
westernisasi dan suatu upaya untuk mengentaskan ego dari
keterasingannya di dalam the other.[25]
C. Ruang Lingkup Orientalisme
Ruang lingkup orientalisme yaitu antara lain:
1. Keagamaan
Agama merupakan motif utama bagi para orientalis dalam
menjalankan misi mereka.Yaitu ketika para pendeta melihat umat Nasrani dalam
jumlah besar masuk dalam agama Islam, kemudian takjubnya khalayak ramai lainnya
terhadap Islam yang tersimpan dalam lubuk hati mereka. Ketika melihat kemajuan
dan keunggulan militer kaum muslimin, peradaban yang dimiliki umat Islam yang
mempunyai pengaruh dalam merongsong aqidah (menurut orang-orang Barat), maka
mereka menganggap Islam sebagai musuh satu-satunya bagi agama Nasrani.[26] Yang penting bagi mereka adalah
untuk mensudutkan agama Islam, memburuk-burukkan agama Islam dan memutar balikan
kebenaran agama Islam.Ketika itu mereka memandang bahwa Islam merupakan musuh
mereka. Tidak berhak berkembang dan kaum muslimin itu dipandangnya
orang biadab, perampok dan pembunuh. [27] Kita juga tidak akan mendapatkan
seorang pun pendeta Kristen, Yahudi, Rahib maupun Uskup, kecuali mereka
benar-benar sangat keras menghantam umat Islam.Semua itu tidak ada tujuan lain,kecuali
untuk memalingkan pandangan orang-orang Barat sehinggga mereka tidak lagi
mengkritik aqidah dan kitab suci mereka,selain itu sisa-sisa perang salib,ekspansi
Turki Usmani ke Eropa masih terasa dalam hati orang-orang Barat. Sehingga
membuat mereka takut dengan kekuatan Islam sehingga mereka selalu membenci umat
Islam.Hal-hal tersebut diatas membuat temperatur jiwa mereka meningkat,sehingga
membuat mereka semakin bersemangat untuk mempelajari tentang hal-hal yang
berhubungan dengan keIslaman.Hal ini juga ditambah dengan tujuan para pendeta
yang tidak melupakan tentang penyebaran aqidah agama Nasrani,karena memang
hal itu yang pertama mereka inginkan.Lalu mereka melakukan perbuatan-perbuatan
yang tidak layak,sebagai salah usaha untuk membuat keragu-raguan dalam hati
kaum muslimin terhadap aqidah yang mereka imani dengan cara yang profesional.
Dari segi lain mereka juga berusaha meyakinkan pengikutnya, bahwa peradaban
Barat lebih unggul dari pada peradaban Islam. Mereka menggambarkan agama Islam
dalam bentuk agama yang apatis dan tidak mampu mengikuti perkembangan zaman.
Para orientalis juga bertujuan untuk menciptakan jiwa yang lemah dan pribadi
pesimis dalam pribadi-pribadi umat Islam dan bangsa Timur lainnya, sehingga
membuat mereka tunduk kepada peradaban materialis Barat yang modern.Dan
diantara tipu daya mereka adalah selalu menyimpulkan ajaran umat Islam dari
kondisi riil umat Islam sekarang (yang ada),dengan meninggalkan dan mengacuhkan
referensi kaum muslimin dan peninggalan-peninggalan yang bernilai tinggi.Mereka
juga selalu memilih lingkungan umat Islam yang paling parah dan bobrok untuk
dijadikan contoh kenyataan dari hasil ajaran Islam.[28]
2. Bahasa
Pemutusan sendi-sendi yang menghubungkan antara Arab dengan
ummat Islam tidak mungkin dilakukan selama masih ada huruf Arab resmi,yang
menyatukan ummatnya antara masa sekarang dengan peninggalan-peninggalan masa
lalu.Maka ia berfikir,jika mampu menjauhkan dan melupakan umat Islam dengan
huruf Arab dan menggantinya dengan huruf latin,maka terputuslah hubungan antara
Arab, umat Islam,al-Quranul karim,peninggalan-peninggalan keIslaman mereka,
kebanggaan mereka menggunakan bahasa arab,kesusastraan,sejarah,dan pemikiran
Islami.Kemudian jadilah bahasa Arab sebagai kesatuan bahasa yang tidak dikenal
lagi bahkan setelah itu kesatuan ini menjadi saling controversial dengan
masa.Maka hanya membutuhkan waktu sedikit lagi untuk menundukkan umat Islam.
Akan menjadi gampang untuk mewarnai pengikut Muhammad dengan ajaran Kristen dan
menjadikan mereka bangsa-bangsa yang mengikuti peradaban Barat. Dengan
demikian, maka terealisasilah cita-cita orang-orang Eropa untuk mengakhiri
eksistensi ajaran Islam dan kaum muslimin.[29]
3. Sejarah
Ketika berakhirnya perang salib dengan kekalahan kaum salib,
dimana menurut zahiri yahnya perang itu perang Agama dan pada hakekatnya perang
penjajahan, orang-orang Barat tidak berputus asa untuk menduduki negeri-negeri
Arab dan seterusnya negeri-negeri Islam .Lalu mereka berketetapan hati untuk
mempelajari negeri-negeri itu.[30]
4. Politik
Melihat bahwa kebutuhan politiknya menginginkan agar konsul
dan dutanya yang memiliki bekal yang mapan tentang kajian yang berhubungan
dengan dunia Timur. Dengan cara demikian mereka akan dapat menjalankan
kepentingan-kepentingan politik bagi mereka, seperti membuat hubungan dengan
para pemikir, wartawan dan ahli politik untuk mengenal pemikiran, situasi
negara, dan menyebarkan aliran-aliran politik yang diinginkan negara-negara
imperialis dinegara-negara jajahannya. Selain itu juga membuat hubungan dengan
agen-agen yang mau dan mampu membantu mereka untuk merealisasikan tujuan-tujuan
politik mereka dinegara tersebut.[31] Dengan dorongan politik itu, dapat
dihembus-hembuskan semangat perpecahan diantara sesama bangsa yang satu, agama,
dan diantara sesama bangsa yang berlainan agama, hal itu semua, tentunya setelah
dipelajari cara-caranya dan kuncinya oleh ahli keTimuran. Meskipun penjajahna
sudah lenyap, tetapi penjajahan dalam bentuk lain bisa saja diusahakan dengan
berbagai jalan. Umpamanya penjajahan ekonomi, penjajahan aqidah, penjajahan
pengaruh ideologi dan lain-lain.[32]
5. Adat istiadat
Agar impian mereka benar-benar terwujud para orientalis
mulai berusaha menghidupkan nilai-nilai sejarah kebangsaan (nasionalisme)
Fir’aun di Mesir Phoenix di Damaskus, Lebanon dan Palestina dan bangsa Asyuria
di Irak, hal ini digunakan untuk memecah belah umat Islam dan guna mengetahui
sejauh mana ketangguhan Islam dalam mempertahankan kemerdekaaan, persatuan,
ras, tanah air dan kekayaan alam. Serta sejauh mana keinginan kita untuk
kembali memimpin peradaban sebagaimana yang pernah dicapai. Yaitu, kerinduan
untuk mengikat kembali persatuan dan berjumpa dengan saudara-saudara seaqidah,
menjalani hidup dengan budi pekerti yang tinggi, menghargai nilai-nilai sejarah
dan mewujudkan kemaslahatan bersama.[33] Pada masa sekarang, setelah
berkembang blok Timur dan blok Barat maka masing-masing dari mereka berusaha
mempengaruhi akan masyarakat, dimana mereka ditempatkan untuk kepentingan
politik dari negaranya. Dibawahnya hal-hal yang mempengarihi kebudayaan,
kehidupan dan penghidupan kepada bumi puteranya. Sehingga tanpa disadari
penduduk asli itu hanya mengalami perubahan dalam segala bidang, bidang
kebudayaan dan keagamaan khususnya. Mereka tahu akan segi-segi kelemahan dari
penduduk Timur, lalu kelemahan itu dapat dimanfaatkan oleh mereka.[34]
6. Keilmuan
Sejak dahulu tidak ada yang menyangsikan kebenarannya dan
terlukis dalam getirnya pengalaman historis bahwa orientalis
dan misionaris bagaikan baut-baut dari seperangkat mesin imperialis. Yang
tujuan utamanya adalah menggetarkan sendi-sendi Islam dengan mempopulerkan
ilmu-ilmu sekuler Barat, kebudayaan Barat, kehidupan ala Barat yang lengkap
dengan atribut dekadensinya, untuk mempengaruhi generasi Islam dan mereka yang
lemah imannya agar mengkultuskan Barat sehingga rela meninggalkan peradaban
serta bahasanya seakan-akan atas kesadarannya sendiri menjadi modern. Dalam
bidang garapan ini, mereka mencapai hasil yang nyata, dengan perhitungan
apabila generasi tersebut mencapai usia lanjut maka generasi berikutnya akan
semakin jauh dengan ajaran Islam, lebih tidak mengerti lagi tentang fikih
Islam, serta mengenal alquran hanya sebagian kecil saja dari ayat-ayatnya.
Apabila telah sampai pada kondisi semacam ini maka mudahlah untuk dicundangi
dan dikacaukan pemikiranya.[35]
7.Ekonomi
Bagi negeri-negeri industri yang memerlukan pasaran untuk
melemparkan hasil industrinya , mereka harus meneliti kesukaan negeri-negeri
yang menjadi sasarannya, warna apa, kain apa, barang apa dan sebagainya.
Sehingga barang-barangnya menjadi laku dan dan dapat pula membeli dari
hasil-hasil bumi dari negeri Timur dengan harga yang murah. Kemudian dapat pula
mematikan industri dalam negeri, demi memajukan industri mereka sendiri. Dari
itu, memerlukan penellitian dan pengatahuan yang cukup tentang negeri-negeri
Timur itu, bagi negeri-negeri Barat yang telah mempunyai kemajuan industri yang
demikian pesat dan menghasilkan barang-barang yang tidak sedikit, yang perlu
dilemparkan kepasar-pasar dunia.[36]
8.Kesusasteraan
Terminologi orientalis menunjukkan betapa hebat dan berkuasanya
kesusateraan mereka terhadap kita. Fenomena yang merekalakukan dengan meragukan
keunggulan sastra Arab terhadap sastramereka, bertujuan untuk memperlihatkan
kepada dunia bahwa sastra Arab itu rendah dan kalah, jika dibandingkan dengan
sastra mereka. Ini adalah contoh dari imperialisme sastra yang mereka inginkan,
disamping imperialisme militer yang mereka ragukan.[37]
9.Kemasyarakatan
Dengan menghidupkan paham kesukuan yang dulunya sempat
mencuat dalam komunitas suatu masyarakat sebelum datangnya dinul Islam.
Mereka juga menghembuskan isu-isu yang dapat mengakibatkan perang saudara
diantara mereka sendiri.[38]
10 .Archeologi, keturunan, dan lainnya.
Bagi kaum muslimin kebudayaan Islam adalah asli, dalam
pengertian ia lepas dari tradisi-tradisi Yunani dan Romawi atau kebudayaan yang
dipusakai dari Persia. Bangunan kebudayaan Islam didirikan diatas kepercayaan
Islam, dengan sendirinya pula alqur’an dan kehidupan serta ajaran nabi besar
Muhammad saw. Islam telah menjadi sumber ilham utama bagi beragam kebudayaan
kaum muslimin. Diberbagi bagian dunia Islam, pola-pola kebudayaan sesungguhnya
telah mengalami evolusi dengan sedikit variasi. Kebanyakan itu bersifat detail,
disebabkan keadaan setempat. Dengan tauhid, kebudayaan Islam berbeda dengan
peradaban-peradaban lainnya. Tidak mengakui perbedaan-perbedaan bangsa, warna
dan Negara. Juga tidak memperlihatkan penghargaan istimewa terhadap pakaian dan
makanan. Disebagian kaum orientalisten, timbullah kesan, bahwa agama Islam
tidak mempunyai apa-apa, dan hanyalah merupakan pengambilan dari agama Yahudi
dan Kristen.[39]
Penulis disini tidak mencantumkan
ruang lingkup oksidentalisme karena masih sangat minimnya kerja nyata dan
pengaruh oksidentalisme itu sendiri,apalagi wacana oksidentalisme yang
seringkali menuai pro dan kontra dari kubu kaum Muslimin yang sedikit banyaknya
mempengaruhi gerakan oksidentalisme ini dalam bergerak.
D. Tujuan Orientalisme
Tujuan utama orientalisme adalah mengungkap dan menyingkap
signifikansi simbolik ungkapan kultural Islam yang dalam, dimana bahasa Arab
merupakan wahana utamanya. Harus kita akui dengan terus terang bahwa beberapa
orang diantara para orientalis telah menghabiskan sebagian umur, kekuatan atau
kemampuan mereka mempelajari agama Islam. Mereka bentuk organisasi untuk
menyelidiki dan mempelajari masalah-masalah keTimuran dan keIslaman tanpa
pengaruh-pengaruh politik ,ekonomi, atau agama, tetapi semata-mata kedoyanan
atau kegemaran mereka mendapatkan ilmu pengetahuan.[40]Orientalist
yang kerjanya hanya mencari kejelekan-kejelekan dan kelemahan-kelemahan agama
Islam, kebudayaan Islam, dan sejarah Islam, yang mereka sengaja membeberkannya
dalam kitab-kitab karangan mereka dengan tujuan tertentu yang bersifat politik
dan agama. Adapun tujuan-tujuan yang ingin mereka wujudkan adalah:
1. Membuat keraguan terhadap keabsahan
alqur’an sebagai firman Allah Para Orientalis mengatakan tentang humanismenya
Al Qur’an sehingga mereka berkesimpulan bahwa ia bukan besumber dari Allah,
tapi merupakan ungkapan tentang lingkungan Arab yang dikarang oleh seorang
Rasul.[41]
2. Membuat keraguan terhadap kebenaran
ajaran nabi Muhammad Upaya peraguan yang mereka lakukan mencakup masalah
keabsahan hadist-hadist Nabi Muhammad, mereka mencari-cari alasan bahwa hadist
Rasulullah mengandung dusta tanpa menghiraukan usaha keras yang dilakukan
ulama-ulama kita dalam menyeleksi hadist-hadist yang sahih atau tidak.[42]
3. Membuat keraguan terhadap urgensi
bahasa Arab sebagai bahasa yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Tidak hayal lagi, bahwa bahasa Arab termasuk salah satu bahasa dunia yang
paling kaya kosa katanya, istilah-istilah didalamnya, dan ia mampu berjalan
seiring dengan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan.[43]
4. Membuat keraguan terhadap nilai
fikih Islami yang asasi. Para orientalis benar-benar membuat kekeliruan ketika
menelaah tentang kebebasan undang-undang fikih tersebut. jadi mereka langsung
saja menduga bahwa fikih yang luar biasa ini bersumber dari undang-undang
Romawi (Eropa).[44]
5. Membuat keraguan terhadap nilai
peninggalan kebudayaan Islam dan ilmu pengetahuan yang ditemukan oleh
cendikiawan muslim. Dalam pandangan mereka, Islam hanya bisa berdiri terbengong
dihadapan kemajuan manusia dan mencekik perjalanan hidup ini. Padahal,
sebagaimana kita ketahui Islam bukanlah agama yang mencekik nilai-nilai akal
dan Islam selalu mengajak orang untuk menggunakan akalnya.
6. Melemahkan jiwa ukhuwah Islamiyah
antara sesama umat Islam diberbagi Negara. Mereka menghembus isu-isu yang dapat
mengakibatkan perang saudara. Demikian juga yang mereka lakukan dinegara-negara
Islam dansecara terang-terangan menghalangi persatuan dan kekompakan ummat
Islam dengan metode jahat yang ada pada pikiran mereka.[45]
7. Mereka pertama-tama menentukan objek
yang akan mereka kritik, lalu dengan segala kepandaian dan kecerdikan berfikir
mereka, mereka tetapkan cara-cara membeberkannya. Sekalipun hal-hal yang
merekakemukakan itu bohong semata dan tak ada nilai sama sekali, mereka sajikan
begitu rupa seakan-akan kejadian yang sebenarnya, sebab mereka tambahi dan
bumbui. Lalu mereka tetapkan pandangan mereka tentang hal-hal tersebut yang
tidak ada sama sekali dalam agama Islam, hanya keluar dari otak khayal mereka
sendiri.[46]
8. Tujuan akhirnya adalah untuk
menggantikan fenomena-fenomenadan pemahaman-pemahaman yang membantu Islam, juga
mengecilkan peran penting Islam serta efeknya dalam kehidupan perorangan,
maupun masyarakat. Dalam waktu yang sama, pemikiran Barat, aturan-aturannya,
dan kebudayaannya semakin mengental dan mengkristal dalam pemikiran umat Islam
itu sendiri. Apabila tujuan diatas benar-benar membuahkan hasil yang baik dalam
masyarakat Islam, sehingga sesat dari jalan yang benar, menjadi kacau balau,
dan terjerat dalam suatu jaringan pemikiran Barat, maka umat Islam sendiri akan
yang memusuhi Islam yang telah berhasil didirikan oleh musuh-musuhnya dengan
perantaraan para orientalis maupun kelompok lainnya. Demikianlah, begitu mudah
dan gampang bagi mereka untuk memerangi masyarakat Islam. Yaitu, dengan menghubungkannya
denganfenomena-fenomena dan prinsip-prinsip serta pemikiran-pemikiran Kafir
Barat agar umat Islam benar-benar hidup dalam jeratan musuh-musuhnya .Dalam hal
ini Allah Swt. berfirman:[47]
Artinya:
“
Mereka
berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan)
mereka, dan Allah tidak menghendaki selain smenyempurnakan cahayanya, walaupun
orang-orang yang kafir tidak menyukai. Dialah yang Telah mengutus RasulNya
(dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya
atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.”( QS.
At-Taubah:32-33).[48]
E.
Tokoh- tokoh
Orientalisme dan
Oksidentalisme
Berikut ini penyusun akan
menyebutkan nama beberapa tokoh yang menurut pemakalah punya andil yang besar dalam bidang Orientalisme dan Oksidentalisme:
1.
Tokoh – tokoh Orientalisme,
diantaranya:
a.
Henryfrederik
Amendros (1854- 1917)
b.
Wihelm
Ahlward (1828- 1909)
c.
Micchele
Almari (1806- 1889)
d.
Theador
Zenker (wafat pada th
1884)
e.
Jean-
Jacques- Antoine de percevel (1759- 1835)
f.
Franciscus
Martelottus
g.
Friedrich
August Muller (1847- 1892)
- Tokoh –
tokoh Oksidentalisme, diantaranya:
Terdapat
banyak sekali tokoh oksidentalism/ pengkajian dunia barat yang ada di dunia
ini, diantaranya adalah:
a.
Jamaluddin
al-Afghani.
b.
Dr. Muhammad
Abduh. (1849 – 1905 M)
c.
Sheikh
Muhammad Rasyid Ridha.
d.
Dr. Muhammad
Imarah.
e.
Dr. Hasan
Hanafi.
f.
Nurcholish
Madjid. M.A.
g.
Adian
Husaini. M.A.
BAB III : PENUTUP
Kesimpulan
Jika diperhatikan secara seksama, baik
orientalisme maupun oksidentalisme sama-sama mengkaji tentang yang lain (the
other). Orient nama lainnya orientalisme, sedangkan
occident
nama lainnya
oksidentalisme. Baik orientalisme maupun oksidentalisme memposisikan
yang lain sebagai objek kajian. Kedua belah pihak sama-sama kritis terhadap
sang objek. Obyek itu dilihat berada di sana. Sesuatu yang berbeda dari
yang di sini. Yang lain hendak dikenali. Itu tujuan pertama. Namun tujuan
selanjutnya mungkin penguasaan, “pencerahan” atau sekadar pembongkaran.
Jika penguasaan dan pembongkaran yang dituju,
tentu akan muncul penolakan dari the other. Antagonisme potensial
terjadi. Egoisme nir toleransi pun lebih mengemuka. Andai kata
pencerahan the other yang dibayangkan terjadi, penyeragamanlah
yang akan menggejala karena pencerahan the other tak lain dari
upaya menyesuaikan the other
dengan
ego
yang
dianggap lebih sempurna. Dalam kondisi-kondisi sedemikian rupa,
the other
cenderung
dilecehkan. Pihak asing
dikenali untuk dilucuti dan/atau dipaksa tunduk pada diri. Berelasi
dengan the other sedemikian rupa tentu tidak terpuji.
Seorang filsuf Jerman
bernama Martin Heidegger (1889—1976) mengajukan konsep "Fürsorge"
sebagai alternatif cara berelasi dengan the other. Konsep
tersebut merupakan turunan dari konsep Dasein, In-der-Welt-sein, Besorge,
Mitsein, dan Mitdasein. Secara sederhana,
Dasein adalah eksistensi
ada dalam ruang dan waktu. Keberadaannya di bumi (In-der-Welt-sein) mau
tidak mau memposisikannya menghadapi Besorge: dunia yang
diperhatikan. Dalam pada itu, Dasein adalah Mitsein:
ada bersama yang lain. Ia juga Mitdasein: ada bersama Daseinlain.
"Dasein pada dasarnya ada bersama yang lain".[49]
Oleh Heidegger kebersamaan Daseindengan the
other itu tidak didorong ke arah Selbstsorge: perhatian
pada diri yang menurutnya tautologis. Mitdasein itu justru
digiring ke Fürsorge: perhatian pada the other.[50] Dengan kesadaran
pada the other sebagai keniscayaan dalam Dasein,
the other diperhatikan
dengan penuh kehangatan sebagai kenyataan tak terpisahkan.
Lebih
lanjut Jacques Derrida menawarkan konsep "hospitalité"
(kesanggrahan). Filsuf Perancis kontemporer
ini mendefinisikannya dengan "Sambutan tanpa tedeng aling-aling dan tanpa
kalkulasi, keterbukaan tanpa batas kepada siapa pun yang tiba".[51]The other diterima
sebagai yang lain yang selalu melain, karena yang lain selamanya lain.
“Semua the other keseluruhannya the
other.”[52]
Kita tidak pernah dapat menguasai the other sepenuhnya. Selalu
saja meleset upaya untuk meringkus the other dalam suatu
kerangkeng yang pasti. Karena itu, kesanggrahan pada the other mau
tak mau menjadi cara berelasi dengan the other.
Demikianlah sedikit tulisan mengenai
orientalisme dan oksidentalisme; menelusuri akar, faktor dan aktor
kesejarahannya, penulis meyakini bahwa tulisan ini hasilnya jauh dari harapan
pembaca. Oleh karena itu, diharapkan adanya tulisan lebih lanjut. Semoga
tulisan ini bermanfaat. Wallahu a’lam.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
2008.
Hanafi, Hassan, Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat,
Terj. M. Najib Buchori, (Jakarta: Paramadina, 2000).
Sou’yb, H. M. Joesoef, Orientalisme Dan Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1995).
Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam, jilid 6-7; Dinamika Masa Kini, (Jakarta;
Ichtiar
Baru
Van Hoeve, 2002).
Watt, W. Montgomery, Islam Dan
Peradaban Dunia; Pengaruh Islam Atas Eropa Abad Pertengahan,
terj. Hendro Prasetyo, (Jakarta; PT Gramedia Utama,
2004).
Mochtar, Affandi, Tradisi Kajian Islam
Modern; Survey Akademik Studi Islam Di Belanda,
(Yogyakarta; UIN Sunan Kalijaga Press, 2001).
Ensiklopedi Oxford;
Dunia Islam Modern, jilid 4, ed. John L. Esposito, (Jakarta; Mizan,
2001).
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran Dan Gerakan,
(Jakarta; Bulan Bintang, 2001).
Shimogaki, Kazuo, Kiri Islam Antara
Modernism Dan Postmodernisme; Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, terj.
M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula, (Yogyakarta; LKiS,
2004).
[1]
. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan,
2008, “Orientalis” didefinisikan sebagai orang yang ahli bahasa,
kesusastraan, dan kebudayaan bangsa-bangsa Timur (Asia).
[2]. Ensiklopedi ini sudah diterjemahkan dalam
bahasa indonesia dan diterbitkan oleh Al-I’tisham Cahaya Umat dengan
judul Gerakan Keagamaan Dan Pemikiran (Akar Ideologis Dan Penyebarannya).
Untuk lebih jelasnya bisa di baca dalam terjemahannya dengan tema ‘Orientalisme’. 15-25.
[3]
.
Burhanuddin Daya dalam memformulasikan oksidentalisme agak sedikit
berbeda dengan yang lain yaitu: Pertama, oksidentalisme dipandang
sebagai suatu mode pemikiran yang dibangun berdasarkan suatu epistemologi dan
ontologi tertentu yang menancapkan perbedaan yang jelas antara Timur dan Barat.Kedua,
oksidentalisme mungkin bisa juga dilihat sebagai istilah akademik yang merujuk
kepada seperangkat lembaga, disiplin ilmu, dan berbagai aktivitas, yang
biasanya terbatas pada perguruan-perguruan tinggi Timur yang berkepentingan
dengan kajian tentang masyarakat dan kebudayaan Barat. Ketiga,
oksidentalisme dapat dilihat sebagai lembaga berbadan hukum yang berkepentingan
dengan masyarakat Barat. BurhanuddinDaya, Pergumulan Timur Menyikapi Barat;
Dasar-Dasar Oksidentalisme, (Yogyakarta: Suka Press, 2008), 83-86.
[4]
. Untuk bacaan lebih lanjut bisa dilihat
dalam Hassan Hanafi, Oksidentalisme; Sikap Kita TerhadapTradisi Barat,
Terj. M. Najib Buchori, (Jakarta: Paramadina, 2000), 25-34.
[5]
. H. M. Joesoef Sou’yb, Orientalisme Dan Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 18. Sejak abad ke-19, "orientalis"
telah menjadi istilah tradisional untuk para ahli dalam bidang studi Oriental. Orientalisme lebih
digunakan secara luas sebagai istilah yang merujuk pada karya-karya seniman
Prancis pada abad ke-19, yang mengandung unsur-unsur yang didapat dari
perjalanan mereka ke negara-negara di luar Eropa, khususnya Afrika Utara dan
Asia Barat. Untuk lebih jelasnya baca juga di
“Ensiklopedia Wikipedia” On Line dengan kata kunci “Orientalism”, Diakses
Pada 15 Januari 2012. “Orientalist” muncul dalam bahasa inggris pada sekitar
1779 dan dalam bahasa perancis pada 1799, konferensi internasional para
orientalis pertama kali berlangsung di Paris pada 1873. Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, jilid 6-7; Dinamika Masa Kini,
(Jakarta;Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), 248.
[11]
. Ibid,. 35. Bisa juga dalam tulisan W. Montgomery
Watt, Islam Dan Peradaban Dunia; Pengaruh Islam Atas Eropa Abad
Pertengahan, terj. Hendro Prasetyo.
(Jakarta; PT Gramedia Utama, 2004). 63-80.
[12].
Mengenai bagaimana
tokoh-tokoh dari Barat mempelajari Islam (sebagai contoh) bisa dibaca dalam
bukunya Dr. Affandi Mochtar, MA., Tradisi Kajian Islam
Modern; Survey Akademik Studi Islam Di Belanda, (Yogyakarta; UIN Sunan
Kalijaga Press, 2001).
[13]
. Kenapa para tokoh dunia Barat begitu tertarik
dengan perguruan tinggi Kairwan karena budaya intelektual
di sana saat itu begitu dinamis. Selain itu, dalam sejarahnya dari
sanalah ilmuwan-ilmuwan muslim seperti Ibnu Thufail (1106 M), Ibnu Rushd
(1126-1198 M) dan yang lainnya melahirkan karya-karya cemerlang, yang sampai
sekarang menjadi kajian dunia Barat.
[14]
. Di Perancis muncul Pierre Le
Venerable (1094-1156 M). Seorang pendeta Venezia dan kepala
biarawan Cluny, membentuk kelompok penerjemah. Tujuannya agar mendapat
pengetahuan objektif tentang Islam. Ia sendiri adalah orang pertama yang
menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Latin (1143 M). sedangkan penerjemahan
al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris dilakukan pertama kali
oleh Robert Of Ketton.
[15]
. Tahun 1130 M, kepala uskup Toledo menerjemahkan
beberapa buku ilmiah Arab. Kemudian jejak ini diikuti oleh Gerard De
Cremona (1114-1187 M) dari Italia. Ia pergi ke Toledo dan
menerjemahkan buku tidak kurang dari 87 judul di bidang filsafat, kedokteran, astronomi
dan geologi. Juan De sevilla, Yahudi yang masuk Kristen ini
mucul pada pertengahan abad ke-12 dan menaruh perhatian pada bidang astonomi.
Ia telah menyadur 4 buah buku berbahasa Arab karya Abu Ma’syar Al-Balkhi (1133
M).tugas penerjemahannya dibantu oleh Adelard. Roger Bacon (1214-1294
M),dari Inggris. Ia menuntut ilmu di Oxforddan Paris serta
meraih gelar doktor di bidang teologi. Ia menerjemahkan buku berbahasa
Arab, Mir’at Al Kimia tahun 1251 M.
Baca ensiklopedi
Gerakan Keagamaan Dan Pemikiran
(Akar Ideologis
DanPenyebarannya),15-16. Baca juga Ensiklopedi
Oxford;Dunia Islam Modern, jilid 4, ed. John L. Esposito,
(Jakarta; Mizan, 2001), dalam entri kata “Orientalisme”, 212-214.
[16]
. Nama Hassan Hanafi mulai mencuat di forum
internasional ketika dia memperkenalkan apa yang disebutnya “Kiri Islam”. Nama
“Kiri Islam” juga menjadi nama jurnal yang diterbitkan pada tahun 1981,al-yasar
al-islami; kitabat fi al-nahdhah al-islamiyah. Hassan Hanafi, Oksidentalisme;
Sikap Kita Dalam Menyikapi Tradisi Barat, (Jakarta; Paramadina, 2000), xi.
Mengenai bagaimana konsep “Kiri Islam” menurutHassan Hanafi sudah ada
buku khusus yang menjelaskan tentang itu, Kazuo Shimogaki, Kiri
Islam Antara Modernism Dan Postmodernisme; Telaah Kritis Pemikiran Hassan
Hanafi, terj. M. Imam Aziz dan M. JadulMaula,
(Yogyakarta; LKiS, 2004).
[19]
. Kemajuan Eropa di waktu itu tidak terlepas dari
pengaruh umat Islam di abad pertengahan, bagaimana kedatangan Islam dan reaksi
eropa bisa di lihat dalam tulisan W. Montgomery Watt, Islam Dan
Peradaban Dunia; Pengaruh Islam Atas Eropa Abad Pertengahan,
terj. Hendro Prasetyo, (Jakarta; PTGramedia Utama, 2004).
[20]
. Muhammad Ali dilahirkan di
Kawalla, Yunani, pada tahun 1765, dan meninggal di Mesir pada tahun 1849. Untuk
mengetahui perjalanan karirnya lihat bukunya Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam; Sejarah Pemikiran Dan Gerakan, (Jakarta; Bulan Bintang,
2001), 27-33.
[21]
. Ia lahir pada tahun 1801 di Tahta,
suatu kota yang terletak di Mesir bagian selatan, dan meninggal di
Kairo pada tahun 1873. Rifa’ah Badawi Al-Tahtawi adalah pembawa
pemikiran pembaharuan yang besar pengaruhnya di pertengahan pertama dari abad
ke-19 di Mesir. Dalam gerakan pembaharuanMuhammad Ali Pasya,
Al-Tahtawi turut memainkan peranan. Al-tahtawi adalah murid kesayangan Syikh
Hasan Al-‘Attar yang banyak mempunyai hubungan dengan ahli-ahli ilmu
pengetahuan dari Perancis yang datang dengan Napoleon ke Mesir. Ibid.,
34-42.
[22]
. Jamaluddin Al-Afghani lahir
di Afghanistan pada tahun 1839 dan meninggal dunia di Istambul di tahun
1897. Ia adalah seorang pemimpin pembaharuan dalam Islam yang tempat tinggal
dan aktifitasnya berpindah dari satu negara Islam ke negara Islam lainnya.
Ketika baru berusia 22 tahun ia telah menjadi pembantu bagi pangeran Dost
Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864, ia menjadi penasehat
Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian Ia diangkat oleh Muhammad Azam
Khan sebagai perdana menteri. Ibid,. 43-48.
[24]
. Yang dalam Bahasa Indonesia sudah diterjemahkan
menjadi Oksidentalisme; Sikap Kita Dalam Menyikapi Tradisi Barat,
Paramadina, 2000. Untuk selengkapnya bisa dilihat dalam pembahasan “Akar
Oksidentalisme”, 64-66. Dalam upayanya untuk melepaskan hegemoni Barat,
dalam buku Islam Dan Barat: Membangun Teologi Dialog, Hasan dan
Very mengusulkan umat Islam (Timur) harus mengembangkan sikap yang lebih
humanis, pluralis, dan demokratis untuk menuju masyarakat yang
damai. Hasan Basri Marwah dan Very Verdiansyah, Islam
Dan Barat: Membangun Teologi Dialog, (Jakarta; LSIP-Lembaga Studi Islam
Progresif, 2004), 129-157.
[25]
. Mengenai kajian oksidentalisme yang mengemuka
di Indonesia akhir-akhir ini, justru tidak hanya diwacanakan
oleh Hassan Hanafi melainkan juga
oleh Edward W. Said, ilmuwan asal Pakistan, dengan bukunya yang
berjudul “Orientalism”, ditebitkan oleh New York: Pantheon Books, 1978,
ISBN 0-394-74067-, seri Indonesia dipublikasikan dengan judul “orientalisme”.
terj. Asep Hidayat, (Bandung; Pustaka,1996).
[40]
. Abul HasanAli Al Hasani An Nadwi,
Islam dan Para Orientalist , terj. Bey Arifin,(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983),
hlm. 28
[49]
. “Dasein is essentially Being with Others”.
(Mantin Heidegger, Being and Time, terj. JoanStambaugh,
Albani: State University of New York Press, 1996),
281.
[51]
. “A welcome without reserve and without
calculation, an exposure without limit to whoever arrives’’. (Jacques Derrida,
"Principle od Hospitality: Interview with Dominique Dhombres for Le
Monde,December 2, 1997, translated by Asley Thomson, Parallax, vol. 11, no.
1, 2005), 6.
[52]
. “Tout autre est tout autre.”
(Jacques Derrida, The Gift of Death, terj. D. Wills,
Chicago:
University
of
Chicago Press, 1995), 82
Komentar
Posting Komentar