makalah takhrij alhadits
A. Latar Belakang
Takhrij
Hadist merupakan langkah awal dalam kegiatan penelitian hadist. Pada masa awalnya
penelitian hadist ini telah dilakukan oleh para ulama salaf yang kemudian
hasilnya telah dikodifikasikan dalam berbagai buku hadist. Mengetahui masalah
takhrij, kaidah. dan metodenya adalah sesuatu yang sangat penting bagi orang
yang mempelajari ilmu-ilmu syar‟i, agar mampu melacak suatu hadist sampai pada
sumbernya.
Takhrij
alhadits merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan sekali, karena orang yang
mempelajari ilmu tidak akan dapat membuktikan (menguatkan) dengan suatu hadist
atau tidak dapat meriwayatkannya kecuali setelah para ulama meriwayatkan hadist
tersebut dalam kitabnya lengkap dengan sanadnya, karena itu, masalah takhrij
ini sangat dibutuhkan setiap orang yang membahas atau menekuni ilmu-ilmu syar’i
dan yang sehubungan dengannya.
Takhrij hadist bertujuan untuk
mengetahui sumber asal hadist yang di takhrij. Tujuan lainnya adalah mengetahui
di tolak atau diterimanya hadist-hadist tersebut. Dengan cara ini, kita akan
mengetahui hadist-hadist yang pengutipannya memperhatikan kaidah-kaidah ulumul
hadist yang berlaku sehingga hadist tersebut menjadi jelas, baik asal-usul
maupun kualitasnya.
B. Perumusan Masalah
Didalam
makalah ini penulis akan membahas beberapa hal berikut ini,meliputi :
1.Pengertian
takhrij hadits
2.Sejarah
perkembangan takhrij alhadits
3.Metode
dalam pentakhrijan hadits
4.Kitab-kitab
yang diperlukan dalam takhrij alhadits
5.Contoh
tentang takhrij alhadits
6.Tujuan
dan Faedah dari takhrij hadits
C.
Manfaat Penulisan:
Manfaat
dari penulisan ini yaitu selain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Ulumul Hadits, penulis berharap dengan makalah ini dapat menambah ilmu
pengetahuan kita terutama pengetahuan tentang Ulumul Hadits secara umumnya dan
masalah takhrij alhadits secara khususnya.
BAB II: PEMBAHASAN
1.Pengertian Takhrij Alhadits
a.secara etimologi
Kata
takhrij berasal dari kata kharaja, yang berarti al-zuhur (tampak) dan al-buruz
(jelas)[1].
Takhrij juga bisa berarti al-istinbat (mengeluarkan),al-tadrib
(meneliti) dan al- taujih (menerangkan),Takhrij juga bisa berarti Ijtima’
al-amra’aini al-muttadla diin fi syai’in wahid (berkumpulnya dua persoalan
yang bertentangan dalam suatu hal), al-istinbath (mengeluarkan dari
sumbernya), at-tadrib (latihan), al-taujih (menjelaskan duduk persoalan,
pengarahan).Sedang menurut Syeikh Manna’ Al- Qaththan, takhrij berasal dari
kata kharaja yang artinya nampak dari tempatnya, atau keadaan,terpisah dan
kelihatan. Al-kharaja artinya menampakan dan memperlihatkannya,dan al-makhraja
artinya tempat keluar, dan akhraja al-khadits wa kharrajahu artinya menampakkan
dan memperlihatkan hadits kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.[2]
b.secara terminologi
Banyak
para ulama yang mengarang kitab dalam masalah ini,baik mereka yang melakukan
pentakhrijan hadits yang terdapat dikitab2 tafsir,fiqih atau lainnya seperti
alhaafidz ibnu hajar,alhafizd al`Iraqi dll,akan tetapi mereka tidak pernah
menyinggung tentang defenisi takhriij alhadits secara terminology/istilah,sehingga
hal ini menjadikan para peneliti setelah mereka saling berselisih pendapat
mengenai makna dari takhrij alhadits itu sendiri.dibawah ini kita akan
menyebutkan sedikit tentang beberapa penggunaan kata takhrij alhadits oleh para
ulama almutaqaddimin dan selanjutnya kita akan menyebutkan beberapa defenisi mengenai
takhrij alhadits menurut para peneliti almutaakhirun.
a.Makna
kata takhrij dalam penggunaan para ulama almutaqaddimin:
Kata
takhrij kadangkala pula digunakan dengan makna :alikhraaj yaitu seorang
ahli hadits menampakkan/memunculkan hadits dengan sanadnya kepada baginda
rasulullah saw dan kemudian dia meriwayatkan hadits tersebut untuk khalayak
ramai.Sebagaimana perkataan imam muslim di muqaddimah kitab shahihnya:kami
insyallah sedang memulai mentakhrij alhadits sebagaimana yang pernah dimintakan
kepadaku,dan menyusunnya sesuai dengan syarat serta ketentuannya.beliau disini menamakan
kegiatan yang beliau lakukan dengan mengeluarkan hadits2 shahih didalam
kitabnya dengan sebutan attakhriij,dan ini bisa kita katakan juga untuk semua
kitab hadits yang dikarang oleh para penulis-penulisnya dengan menyebutkan
sanad hadits baik itu dalam bentuk kitab shahih,musnad,sunan-sunan dan yang lainnya.maka
para ulama menamakan para penulis kitab hadits ini dengan sebutan mukharrij
alhadits.
kadangkala
mereka menamakan takhriij alhadits juga untuk orang yang mengeluarkan hadits
dari kitab-kitab induk dan meriwayatkannya kepada orang lain,sebagaimana yang
disebutkan oleh DR. Mahmud attahhan[3].seperti
yang dikatakan oleh imam assakhawi RH:”takhriij adalah kegiatan seorang ahli
hadits mengeluarkan hadits dari kitab induk atau semisalnya dengan menggunakan
jalur periwayatan dia sendiri….”[4]
Dr.bakar
abu zaid mengatakan:dalam defenisi diatas beliau mengisyaratkan tentang
perbedaan hakikat takhriij itu sendiri dikarenakan perbedaan jalan dan
hakikatnya.kemudian beliau menyebutkan kadangkala kalimat takhriij ini
digunakan dengan makna yang luas untuk mensinonimkan kata alikhraaj/sebatas
penisbatan hadits kepada penulisnya.
Kadangkala
kata takhriij ini juga diartikan dengan alintiqa` yaitu pemilihan.
Sebagaimana takharij imam khatib albagdady untuk beberapa kitab.dengan makna yg
satu ini kata takhriij bisa dikatakan untuk semua kitab2 para ulama yang mereka
pilih haditsnya dari kitab-kitab induk hadits.akan tetapi makna takhriij yang
satu ini hilang dan tak popular dizaman para mutaakhirin,sedangkan yang banyak
digunakan dizaman mutaakhir sampai pada saat ini kata takhriij digunakan untuk
mengatakan penisbatan hadits kepada kitab-kitab induk/sumber aslinya. penggunaan
yang akhir inilah yg paling popular dikalangan para almuhadditsin almutaakhirin
apalagi setelah berkembangnya takhriij alhadits yang dilakukan oleh para ulama-ulama
hadits yang banyak terdapat didalam kitab fiqih ,tafsir dll.
Dari
apa yang kita paparkan diatas jelas kalau sekiranya para ulama almutaqaddimin
tidak mendefinisikan kata takhriij ini dengan apa yang didefinisikan oleh para
ahli hadits almutaakhirin,dan barangkali yang paling dekat dengan defenisi
takhrij para almutaakhirin adalah defenisi yang dikatakan oleh imam assakhawi
dan almanawy,oleh karena itu para ulama mutaakhrin yang menulis mengenai usul
takhriij berselisih pendapat mereka mengenai defenisi kata takhrij itu.
b.Takhriij
alhadits dalam defenisi para ulama mutaakhirin:
Syeikh
Mahmud athtahhan mengatakan:”
takhrij adalah menunjukkan tempat hadits pada sumber-sumber aslinya, dimana
hadits tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan sanadnya,serta menjelaskan
derajatnya jika diperlukan.[5]DR.bakar
abu zaid menolak defenisi ini dan mengatakan:defenisi ini cocok untuk jalur
pengeluaran hadits,dan tidak bisa diterima untuk mendefenisikan/memperjelaskan
makna takhrij secara hakikat karena defenisi yang seperti ini tidak sesuai
dengan metode pembentukan ta`riif/defenisi menurut para ahli ilmu manthiq.[6]
Imam albuqqa`i berkata:takhrij adalah menampakkan tempat2
hadits tersebut dari sumber2nya yang dilengkapi dengan sanad.kemudian beliau
mengatakan defenisi yang beliau sebutkan ini tidak akan bertolak belakang
dengan sebagian kitab-kitab takhrij alhadits yang menyebutkan didalamnya hukum
mengenai hadits2 baik dari segi keshahihan atau kedha`ifannya,karena beliau
disini hanya memperhatikan inti dari kata takhrij tanpa memperhatikan tambahan2
yang lainnya.akan tetapi defenisi yang kedua ini pun tidak terlepas dari apa
yang kita katakan pada defenisi yang pertama tadinya.[7]
DR.Sa`ad bin Abdullah alu humaid
menyebutkan untuk takhrij alhadits ada tiga defenisi secara istilah,yaitu:
Defenisi pertama:mengeluarkan hadits dan
menampakkannya untuk orang ramai dengan menyebutkan sanad dan matan,maka
dikatakan:hadits ini dikeluarkan oleh imam albukhari yaitu beliau
menampakkannya untuk orang ramai dengan menyebutkan sanad dan matannya secara
sempurna.
Defenisi kedua:mengeluarkan hadits dari
kitab-kitab tertentu dengan menyebut nama almukharrij (yang menyebutkan hadits
ini dalam kitabnya) lengkap dengan sanad sebagaimana yang dilakukan oleh imam
alhafidz ibnu hajar dalam kitabnya nataaij alafkaar fii takhriij ahaadits
alazkaarimam,anawawi dalam kitab alazkar hanya menyebutkan hadits tanpa
menyebutkan sanad dengan tetap menyebut penulisnya sebagaimana metode beliau
dalam kitab riyadhushalihin kemudian alhafidz ibnu hajar mengeluarkan
haditsnya satu persatu dengan menyebut sanadnya yang panjang hingga ke
rasulullah saw dengan sedikit perubahan.
Defenisi ketiga:barangkali defenisi yang terakhir
inilah yang lebih tepat dibandingkan dengan defenisi-defenisi yg sebelumnya yaitu defenisi DR.Bakar abu
zaid,beliau mengatakan: takhrij adalah mengetahui perawi dan apa yang
diriwayatkannya,tempat hadits itu dikeluarkan,serta hukumnya baik shahih atau
dha`if dengan mengumpulkan keseluruhan jalur periwayatan dan lafadz2 nya[8].kemudian
beliau mengatakan:inilah defenisi attakhrij dengan makna yang lebih konkrit,dan
inilah yang dimaksud ketika lafadz attakhrij itu diitlaqkan,dan defenisi ini lebih
sesuai dengan praktek nyata para ahli hadits dalam mentakhrij alhadits.
2. Sejarah Perkembangan Takhrij
Alhadits
Para
ulama dan peneliti hadist terdahulu tidak membutuhkan kaidah-kaidah dan
pokok-pokok ilmu takhrij ( Ushulut-Takhrij ),karena pengetahuan mereka sangat
luas dan ingatan mereka sangat kuat terhadap sumber-sumber sunnah. Ketika
mereka membutuhkan hadist sebagai penguat, dalam waktu singkat mereka dapat
menemukan tempatnya dalam kitab-kitab hadist berdasarkan dugaan yang kuat.
Disamping itu, mereka mengetahui sistematika penyusunan kitab-kitab hadist,
sehingga mudah bagi mereka untuk mempergunakan dan memeriksa kembali guna
mendapatkan hadist. Hal seperti itu juga mudah bagi orang yang membaca hadist pada
kitab-kitab selain hadist,karena ia berkemampuan mengetahui sumbernya dan dapat
sampai pada tempatnya dengan mudah.
Keadaan
seperti itu berlangsung sampai berabad-abad, hingga pengetahuan para ulama
tentang kitab-kitab hadist dan sumber aslinya menjadi sempit, maka sulitlah
bagi mereka untuk mengetahui tempat-tempat hadist yang menjadi dasar Ilmu Syar’i,
seperti fikih, tafsir, sejarah, dan sebagainya.Berangkat dari kenyataan inilah
sebagian ulama bangkit untuk membela hadist dengan cara menakhrijkannya dari
kitab-kitab selain hadist, menisbatkannya pada sumber asli, menyebutkan
sanad-sanadnya, dan membicarakan keshahihan dan kedhoifan sebagian atau
seluruhnya maka timbullah kitab-kitab takhrij.
Ulama
yang pertama kali melakukan Takhrij menurut Mahmud Ath-Thohan adalah Al- Khatib
Al-Baghdadi (w, 436 H),Kemudian dilakukan pula oleh Muhammad bin Musa Al-Hazimi
(w. 584 H) dengan karyanya yang berjudul Takhrij Ahadist Al-Muhadzdzab. Ia
mentakhrij kitab fikih karya Abu Ishaq Asy-Syirazi. Ada juga ulama lainnya
seperti Abu Qosim Al-Husaini dan Abu Al-Qosim Al-Mahrawani. Karya kedua ulama
ini hanya beberapa makhthuthah (manuskrip) saja.
Pada
perkembangan selanjutnya, cukup banyak bermunculan kitab yang berupaya
mentakhrij kitab-kitab dalam berbagai ilmu agama.
Ulama-ulama
hadits telah menulis berpuluh-puluh kitab-kitab tentang Takhrij, yang populer
di antaranya adalah sebagai berikut:
1.
Kitab Takhrij Ahadisil Muhadzab, karya Abu Ishaq Al-Syirozi, tulisan Muhammad
bin Musa Al-Hazimi(w. 584 H).
2.
Kitab Takhriju Ahadisil Mukhtashoril Kabir, karya Ibnu Hajib, tulisan Ahmad bin
Abdul Hadi Al-Maqdisi(w. 774 H).
3.
Kitab Nasbur Royah Li Ahadisil Hidayah , karya Al-Margigani, tulisan Abdulloh
bin Yusuf Az-Zaila‟i(w. 762 H).
4.
Kitab Takhriju Ahadisil Kassyaf li Az-Zamakhsyari, karya Al-Jahiz, tulisan
Hafidz Az-Zailai.
5.
Kitab Al-Badrul Munir fi Takhrijil Ahadisti wa Asiril Waqi‟ati Fish-Syrkhil
Kabiri, karya Rofi‟i, tulisan Umar bin Ali bin Al-Mulqin(w. 804 H).
6.
Kitab Al-Mughni An Hamilil Asfar Fil Al-Ashfar Fi Takhriji Ma Fil Ihya‟ Minal
Akhbar, tulisan Abdur-Rahim bin Al-Husain Al-Iroqi(W.806 H).
7.
Kitab-kitab Takhrij At-Turmudzi yang ditandainya dalam setiap tulisan Al-Hafidz
Al-Iroqi juga.
8.
Kitab-kitab Talkhisul Kabir Fi Takhrijil Ahadisti Syarkhil Wajizil Kabir, Kitab
Ar-Rofi‟i, tulisan Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Ashqolani(w. 852 H).
9.
Kitab Ad- Diroyah fi Takhrijil ahadisil Hidayah, tulisan Al-Hafidz Ibnu Hajar
juga.
10.
Kitab Tuhfatur-Rawi Fi Takhriji Ahadisil Baidawi, tulisan Abdur Rouf Al
Munawi(w.1031 H).[9]
3.Metode yang digunakan dalam
mentakhrij alhadits
Jika
kita hendak menakhrijkan hadist dan hendak mengetahui dan tempatnya dalam
sumber aslinya, terlebih dahulu harus mempelajari keadaan hadist. Hal ini
dengan cara melihat sahabat yang meriwayatkannya, pokok bahasannya,
lafal-lafalnya, lafal pertamanya, atau dengan melihat sifat-sifat tertentudalam
sanad atau matannya. Demikian ini agar kita dapat menentukan metode yang tepat
dan mudah dalam menakhrijkan hadist yang dimaksud.
Menurut
Mahmud At-Thohan macam-macam metode menakhrijkan hadist adalah sebagai berikut:
a.
Dengan cara mengetahui sahabat yang meriwayatkan hadist.
Metode
takhrij ini dapat diterapkan selama nama sahabat yang meriwayatkan terdapat
dalam hadist yang hendak ditakhrij. Jika sebaliknya atau tidak mungkin dapat
diketahui dengan cara apapun, maka metode ini tidak dapat diterapkan.
Adapun
kitab-kitab pembantu metode ini adalah sebagai berikut:
1.
Kitab-kitab Musnad
Musnad
adalah kitab hadist yang disusun berdasarkan nama-nama sahabat, atau kitab yang
menghimpun hadist-hadist sahabat.
2.
Kitab-kitab Mu’jam.
Mu’jam
adalah kitab-kitab hadist yang yang disusun berdasarkan musna-musnad sahabat,
guru-gurunya, Negara atau lainnya.dan umumnya susunan nama- nama sahabat itu
berdasarkan urutan huruf hijaiyah, tetapi ada kitab-kitab mu’jam yang disusun
berdasarkan musna-musnad sahabat.
3.
Kitab-kitab Atraf
Kitab
Atraf adalah bagian kitab-kitab hadist yang hanya menyebutkan bagian (tarf)
hadist yang dapat menunjukan keseluruhannya, kemudian menyebutkan
sanad-sanadnya, baik secara menyeluruh atau hanya dinisbahkan (dihubungkan)
pada kitab-kitab tertentu.[10]
b.
Metode Takhrij menurut Lafadz Pertama dari Matan Hadist.
Metode
takhrij hadist dari lafadz pertama, yaitu suatu metode berdasarkan pada lafadz
pertama matan hadist, sesuai dengan urutan huruf hijaiyah dan alfabetis,
sehingga metode ini mempermudah pencarian hadist yang dimaksud.
Adapun
kitab-kitab yang membantu kita dalam menggunakan metode ini adalah sebagai
berikut:
1)
Kitab-kitab tentang hadist-hadist yang masyhur di kalangan masyarakat.
Yaitu
ucapan-ucapan yang banyak beredar dan selalu diriwayatkan di kalangan
masyarakat, yang disandarkan pada nabi Muhammad SAW.
2)
Kitab-kitab tentang hadist yang disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah.
3)
Kitab-kitab miftah(kunci) dan Fahras (kamus) kitab-kitab hadist tertentu.
c.
Mencari Hadist berdasarkan Tema
Penelusuran
Hadist yang didasarkan pada tema / topic (maudhu‟i) hendaknya sudah mengetahui
topic hadist kemudian ditelusuri melalui kamus hadist tematik. Salah satu kamus
hadist tematik adalah Miftah min Kunuz As-Sunnah oleh Dr. Fuad Abdul
Baqi, terjemahan dari aslinya berbahasa inggris A Handbook of Early Muhammadan
karya A.J Wensink. Pencarian matan hadist yang berdasarkan topic masalah sangat
menolong pengkaji hadist yang ingin memahami petunjuk-petunjuk hadist dalam
segala konteksnya.[11]
d.
Metode Takhrij menurut Lafadz-Lafadz yang Terdapat dalam Hadist.
Metode
Takhrij hadist menurut lafadz yang terdapat dalam hadist, yaitu suatu metode
yang berlandaskan pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadist, baik berupa
kata benda ataupun kata kerja. Dalam metode ini tidak digunakan huruf-huruf,
tetapi yang dicantumkan adalah bagian hadistnya sehingga pencarian
hadist-hadist yang dimaksud dapat diperoleh.
Kamus
yang diperlukan dalam dalam metode takhrij ini salah satunya yang paling mudah
adalah Kamus Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadz Al-Hadist An-Nabawi yang disusun
oleh A.J Wensinck dan kawan-kawannya dalam 8 jilid.[12]
e.
Metode dengan Jalan Meneliti Sanad dan Matan Hadist.
Metode
ini adalah mempelajari tentang keadaan matan dan sanad hadist, kemudian mencari
sumbernya dalam kitab-kitab yang membahas tentang keadaan matan dan sanad
hadist tersebut. Metode ini terbagi menjadi 3 yaitu sebagai berikut:
1.
Penelitian Matan
Jika
dalam matan hadist terdapat tanda-tanda kepalsuan seperti lemah lafalnya, rusak
maknanya atau bertentangan dengan teks Al-Qur‟an yang sarih atau sebagainya,
maka cara yang tepat untuk mengetahui sumbernya adalah melihat kitab-kitab
Al-Maudhuat(Kitab-kitab tentang hadist maudhu‟). Dengan kitab-kitab ini, dapat
diketahui hadist-hadist yang mempunyai sifat-sifat tersebut diatas, takhrijnya,
bahasan, dan penjelasan tentang orang yang memalsukannya. Contoh kitab-kitab
tentang hadist maudhu‟ adalah Al Maudu‟atul Kubro karya Syekh Ali Al-Qori Al
Harawi (w, 1014 H) dan kitab Tanzihus-Syari‟ah Al Marfu‟ah Anil Ahadist-
Syari‟ah Al Maudhuat karya Abu hasan Ali sbin Muhammad bin Iraq Al Kinani(w,
963 H). Jika matan hadist tersebut termasuk hadist qudsi maka sumber yang tepat
untuk mencarinya adalah kitab-kitab khusus yang membahas tentang hadist qudsi
karena di dalamnya disebutkan hadist dan perawinya secara lengkap, misalnya
dalam kitab Misykatul Anwar Fima Ruwiya Anillahi Subhanahu Wa Ta‟ala Minal
Akbar karya Muhyidin Muhammad bin Ali binArabi Al Khatimi Al-Andulisi(w, 638
H).
2.
Penelitian Sanad
Kegiatan
ini dilakukan jika dalam sanad suatu hadist terdapat kesamaran,seperti:
a)
Seorang bapak meriwayatkan hadist dari anaknya, maka sumber yang tepat untuk
menakhrijkannya adalah kitab-kitab khusus tentang hadist-hadist riwayat bapak
dari anaknya. Misalnya kitab Riwayatul Aba‟ „Anil Abna‟, karya Abu Bakar Ahmad
bin Ali Al-Khatib Al-Bagdadi(w, 436 H).
b)
Sanadnya Musalsal, maka dapat digunakan kitab-kitab yang membahas tentang
hadist musalsal, diantaranya seperti kitab Al Musalsalatul Kubra, karya
As-Suyuthi yang menghimpun 85 hadist musalsal.
c)
Sanadnya Mursal, maka digunakan kitab-kitab tentang hadist mursal, diantaranya
seperti kitab Al-Marasil, karya Abu Dawud As Sijistani.
d)
Perawinya lemah, maka dapat dicari dalam kitab-kitab tentang perawi dho‟if dan
yang masih dibicarakan kualitasnya diantaranya esperti kitab Mizanul I‟tidal
karya Az-Zahabi.
3.
Penelitian Matan dan Sanad
Kegiatan
ini dilakukan jika dalam suatu hadist yang akan diteliti terdapat beberapa
sifat dan keadaan separti adanya „illat dan kesamaran hadist, maka dapat
mencari hadist tersebut dalam kitab-kitab yang membahas tentang “illat dan
kesamaran hadist, diantaranya kitab „ Illalul hadist karya Ibnu Hatim Ar-Razi,
Al-Asma‟ul Mubhamah dalam Fil Anbail Mukhkamah karya Al-Khatib Al-Bagdadi,
Al-Mustafad Min Mubhamatil Matni wal Isnad, karya Abu Zur‟ah Ahmad bin Abdur
Rohim Al‟Iroqi.[13]
Berdasarkan
kelima metode takhrij di atas dapat diambil kesimpulan bahwa seorang peniliti
hadist harus memahami tentang metode-metode takhrij dan kitab-kitab yang
dipakai dalam mempraktikan setiap metode takhrij itu. Peneliti hadist juga
harus faham tentang ulumul hadist dan cabang-cabang ilmu hadist.
4.Kitab-kitab
yang dibutuhkan dalam mentakhrij alhadits
Ketika melakukan takhrij hadist kita
memerlukn kitab-kitab yang berkaitan dengan takhrij hadist ini. Adapun
kitab-kitab tersebut antara lain sebagai berikut:
1) Hidayatul bari ila tartibi
Ahadisil Bukhori,Penyusun kitab ini adalah Abdur Rohman Ambar Al-Misri
At-Tahtawi. Kitab ini disusun khusus untuk mencari hadist-hadist yang termuat
dalam Sokhikh Bukhori. Lafadz hadist disusun menurut aturan huruf abjad arab,
namun hadist-hadist yang dikemukakan secara berulang dalam Sokhikh Bukhori
tidak dimuat secara berulang dalam kamus di atas. Dengan demikian perbedaan
lafadz dalam matan hadist riwayat Al-Bukhori tidak dapat diketahui melalui
kamus tersebut.
2) Mu‟jam Al-Fadzi wala Siyyama
Al-Garibu Minha atau Fahras litartibi Ahadisti Shohih Muslim,Kitab
tersebut merupakan salah satu juz ke-5 dari kitab Shohih Muslim yang disunting
oleh Muhammad Abdul Baqi. Juz ke 5 ini merupakan kamus terhadap juz ke 1-4 yang
berisi:
a) Daftar urutan judul
kitab, nomor hadist, dan juz yang memuatnya.
b) Daftar nama para
sahabat Nabi yang meriwayatkan hadist yang termuat dalam Shohih Muslim.
c) Daftar awal matan
hadist dalam bentuk sabda yang tersusun menurut abjad serta menerangkan
nomor-nomor hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori bila kebetulan hadist
tersebut juga diriwayatkan oleh Bukhori.
3) Miftahus Shohihain
,Kitab ini disusun oleh Muhammad Syarif bin Mustofa Al-Tauqiyah. Kitab ini
dapat digunakan untuk mencari hadist-hadist yang diriwayatkan oleh Muslim, akan
tetapi hadist-hadist yang dimuat dalam kitab ini hanyalah hadist-hadist yang
berupa sabda saja. Hadist tersebut disusun menurut abjad dari awal lafadz matan
hadist.
4) Al-Bughyatu fi
Tartibi Ahadisti Al-Hiyah ,Kitab ini disusun oleh Sayyid Abdul Aziz bin
Al-Sayyid Muhammad bin Sayyid Siddiq Al-Qomari. Kitab hadist tersebut memuat
dan menerangkan hadist-hadist yang tercantum dalam kitab yang disusun oleh Abu
Nuaim Al-Asbuni(W.340 H) yang berjudul Hilyatul Auliyai wathabaqotul Asfiyani.
Sejenis dengan kitab
tersebut adalah kitab Miftahut Tartibi li Ahadisti Tarikhil Khotib yang disusun
oleh Sayyid Ahmad bin Sayyid Muhammad bin Sayyid As-Shiddiq Al-Qomari yang
memuat dan menerangkan hadist-hadist yang tercantum dalam kitab sejarah yang
disusun oleh Abu Bakar bin Ali bin Subit bin Ahmad Al-Baghdadi yang dikenal
dengan Al-Khotib Al-Bagdadi(w 436 H). Kitabnya diberi judul Tarikhu Baghdadi
yang terdiri dari 4 jilid.
5.al-jamius
shoghir,kitab ini disusun oleh imam jalaluddin Abdurrahman assayuthi (w 91
H) ktab kamus hadits ini memuat hadits hadits yang terhimpun dalam kitab
himpunan hadits karya imam assayuthi juga,yakni al-jam`u aljawami`,hadits yang
dimuat dalam kitab jami`us shogir disusun berdasarkan huruf abjad dari awal lafadz
matan hadits.sebagian dari hadits-hadits itu ada yang ditulis secara lengkap
dan ada juga yang ditulis sebagian saja,namun telah mengandung pengertian yang
cukup,kitab hadits tersebut juga menyebutkan nama-nama sahabat Nabi yang
meriwayatkan hadits yang bersangkutan lengkap dengan nama mukharrijnya
(periwayat hadits yang menghimpun hadits dalam kitabnya),selain itu hamper
setiap hadits yang dikutip dijelaskan kualitasnya menurut penelitian yang
dilakukan dan disetujui oleh imam assayuthi.
6.Al-mu`jam
almufahras li alfadz al-hadits annabawi,penyusun kitab ini adalah sebuah
tim dari kalangan orientalis,Diantara anggota tim yang paling aktif dalam
proses penyusunan ini adalah DR.Arnold john wensink(w 939 M),seorang professor
bahasa semit termasuk bahasa arab di univ leidin,belanda.kitab ini dimaksudkan
untuk mencari hadits yang berdasarkan petunjuk lafadz matan hadits,berbagai
lafadz yang disajikan tidak dibatasi hanya lafadz-lafadz yang berada ditengah
dan bagian-bagian lain dari matan hadits.Dengan demikian kitab mu`jam mampu
memberikan informasi kepada pencari matan dan sanad hadits selama sebagian
lafadz dari matan hadits yang dicarinya itu telah diketahuinya.kitab mu`jam itu
terdiri dari tujuh juz dan dapat digunakan untuk mencari hadits-hadits yang terdapat
didalam Sembilan kitab hadits:shahih albukhari,shahih muslim,sunan abu
daud,sunan at-turmudzi,sunan annasa`I,sunan ibnu majah,sunan addarimi,muwatha`
malik dan musnad imam ahmad.
Berdasarkan uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa diantaranya ada enam kitab yang dibutuhkan dalam
mentakhrij alhadits,yaitu: hidayatul baari ilaa tartib alhadits bukhari,mu`jam
alfadz wala siyyama algharib minha atau fahras li tartib hadits shahih
muslim,miftahua shohihain,al-bughyatu fi tartib alhadits alhilyah al-jami`us
shoghir,almu`jam almufahras li alfadz alhadits nabawi.
5.Contoh
tentang takhrij alhadits
Di
masyarakat muslim ditemukan salah satu upacara keagamaan, talqin al-mait, mengajarkan
ucapan laa ilaha illallah kepada orang mati. Pelaksanaannya, ada yang
mengajarkan ucapan tersebut ketika mait sudah dikubur, ada pula yang
mengajarkannya untuk calon mati. Persoalannya, bagaimana bunyi hadits itu
secara lengkap ? hadits itu diriwayatkan oleh siapa saja, dan didalam kitab
apa? Hadits itu mutawattir apa tidak, shahih apa tidak?
1.
Kita mulai dengan membuka kitab Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al Hadits, dengan
membawa kosa kata talqin, yang kata dasarnya bahwa hadits itu
diriwayatkan oleh Imam al-Turmudzi dan Imam Abu Daud.Hadits riwayat al-Turmudzi
berbunyi :
حدثنا أبو سلمة يحي بن خلف قال:حدثنا بشر بن مفضل عن عمارة غزية عن يحي بن عمارة عن أبي
سعيد الخدري عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:لقنوا أمواتكم لا إله إلا الله
Artinya
:
Telah
bercerita kepada saya Abu Slamah Yahya Ibn Khalaf, katanya, telah bercerita
kepada saya Bisyr ibn al-Mufaddhal, dari Ummarah Ibn Ghaziyyah dari Yahya Ibn
Ummarah dari Abu Sa’id al-Khudri dari Nabi saw, katanya : “Talqinlah mayitmu
dengan laa ilaha illallah”
Adapun
hadits riwayat Abu Daud berbunyi :
حدثنا مسدد ثنا
عمارة بن غزية ثنا يحي بن عمارة قال :سمعت أبا سعيد الخدري يقول:قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم:لقنوا أمواتكم لا إله إلا الله
Artinya
:
Telah
bercerita kepada kami, Musaddad, katanya, bercerita kepada kami Bisyr, katanya,
telah bercerita kepada kami Ummarah Ibn Ghaziyah, katanya, saya mendengar Abu
Sa’id al-Khudri berkata, Rasulullah saw pernah bersabda, “ Talqinlah mayitmu
dengan la ilaha illalah”
2.
Langkah berikutnya membuat bagan sanad hadits. Sesuai dengan dua hadits
tersebut, kita harus membuat dua bagan sanad. Tetapi karena pada dua jalur
sanad itu ada periwayat yang sama, maka dapat dibuat satu bagan, sehingga bagan
dimaksud adalah sebagai berikut :
NABI MUHAMMAD SAW
f.abu said alkhudri (w.75)
e.yahya bin ummarah (w.?)
d.ummarah bin ghaziyyah (w.140)
c.bisyr bin al-mufaddhal (w.187)
Abu salamah
b.musaddad(w.228) Yahya
bin khalaf (w.242)
a.al-turmudzi (209-279) a.abu daud (w.202-272)
3.
Langkah berikutnya adalah menelusuri persambungan sanad dan reputasi
masing-masing periwayat.
Jalur
Al-Turmudzi
a.Al-turmudzi
itu sendiri.Karena sudah amat terkenal bahwa al-Turmudzi seorang periwayat hadits
yang dihabit dan tsiqah, maka penelusuran terhadapnya tidak diperlukan.Hanya perlu
dicantumkan disini bahwa ia hidup antara tahun 209-279H.
b.
Abu Salamah, Yahya Ibn Khalaf
Didalam
kitab Tahdzib al-Tahdzib[14]
ditemukan, nama lengkap tokoh ini adalah Yahya Ibn Khalaf al-Bahilli Abu
Salamah al-Bishri, terkenal dengan al-Jubari. Kode yang dicantumkan disebelah
nama untuk Yahya ini adalah م د ت
ق dengan
huruf ta dan dal berarti ia termasuk rijal al-Turmudzi dan Abu Daud. Dan,
karena kebetulan tidak ada orang lain yang dimaksud dalam sanad hadits ini.
Tidak disebutkan kapan ia lahir, tetapi disebutkan ia wafat pada tahun 242 H.
Melihat tahun wafatnya ini, al-Turmudzi bertemu dengan tokoh ini.
Banyak
Ulama hadits yang ditimba haditsnya oleh Yahya Ibn Khlaf. Banyak juga yang
meriwayatkan hadits darinya. Bisyr Ibn al-Mufaddhal termasuk yang disebut oleh
Ibn Hajar sebagai periwayat hadits kepada tokoh ini, dan al-Turmudzi disebut
sebagai seorang penerima hadits darinya.
Kata
Ibn Hajar di tahdzibnya, Ibn Hibban memasukkan Yahya ini kedalam kelompok orang
tsiqoh. Komentar lain tidak ada, dan al-jarh yang ditujukan kepadanya juga
tidak ada. Tidak banyak uraian disebutkan dalam tahdzib tentang tokoh ini.
Karena tidak ada al-jarh terhadapnya, justru ada penilaian tsiqoh untuknya,
maka ia digolongkan orang adil dan dhabit, haditsnya shahih.
c.
Bisyr Ibn al-Mufaddhal
Didalam
tahdzib, ada 38 orang bernama Bisyr. Hanya satu yang Ibn al-Mufaddhal. Ia
diberi kode ‘ain artinya ia seorang rijal kutubus sittah. Artinya juga ia rijal
al-Turmudzi dan Abu Daud. Tokoh ini bernama Bisyr Ibn al-mufaddhal Ibn Lahiq
al-Raqasyi. Ia menerima hadits dari banyak ulama dan meriwayatkan hadits kepada
banyak orang juga. Tidak ada informasi tentang kapan ia lahir, tetapi
diinformasikan, ia wafat tahun 187 H.
Kalau
sanad hadits ini menghendaki Bisyr ini menerima hadits dari Ummarah Ibn
Ghaziyah, dan menyampaikan hadits kepada Musaddad (b. Jalur Abu daud) dan Yahya
Ibn Khalaf (b. Jalur al-Turmudzi), maka kitab tahdzib telah menyebut hubungan
itu. Artinya sanad Bisyr dengan yahya Ibn Khalaf dan Musaddad bersambung.Dari
segi ‘adalah (keadilan), agaknya tokoh ini tidak perlu diragukan karena beberapa
orang kritikus memujinya. Kata Ali Ibn Al-Madini, Bisyr shalat 400 rakaat dalam
sehari, dan sehari puasa sehari tidak. Ibn ma’in dan Ahmad Ibn Hanbal
mengomentarinya sebagai Syuyukh al-Bashriyyin. Ibn Hibban dan Al-Bazzar
menilainya tsiqat, sementara al-‘Ajli menilainya tsiqah, faqih, tsabat fi
al-hadits, shahibu sunnah dan hasanul hadits. Tidak seorang ulama pun
menilainya majruh. Dengan demikian ia ‘adil dhabit haditsnya shahih.
d.
Ummarah Ibn Ghaziyyah
Ada
26 orang bernama ‘Ummarah disebut di Tahdzib, yang menguntungkan bagi
peneliti,mereka yang ibnu Ghaziyah hanya satu orang[15].dengan
kode م ت
خ.
namanya ‘Ummarah Ibn Ghaziyyah Ibn al-harits Ibn ‘Amr Ibn Ghaziyyah Ibn ‘Amr
Ibn Tsa’labah Ibn Khansa Ibn Mabzul Ibn Ghanam Ibn Mazin Ibn al-Najjar
al-Anshari. Banyak Ulama yang menimba hadits kepadanya. Yahya Ibn Ummarah (e)
dan Bisyr Ibn al-Mufaddhal (c) disebut oleh Ibn Hajar, masing-masing sebagai
pemberi hadits kepada tokoh ini, dan penerima hadits darinya. Baik dari kode
maupun pertalian sanad, tidak diragukan bahwa inilah orang yang dimaksud dalam
sanad hadits.
Penilaian
terhadap tokoh ini agak bervariasi. Ibn Hibban dan al-Ajli menilainya tsiqat.
Ta’dil ringan dikemukakan oleh beberapa orang. Abu Hatim menilai ‘Ummarah ma fi
haditsihi ba’s”. Komentar al-nasa‟i terhadap tokoh ini “laisa bihi
ba‟s”.Sementara Muhammad Ibn Sa’ad, sungguhpun menilainya tsiqah, tetapi ia
menambahi embel-embel, katsirul hadits. Yahya Ibn Ma’in hanya memberi nilai
shalih. Sebaliknya, Ibn Hazm menilai ‘Ummarah dha’if. Abdul Haq berkata, “Orang
Mutaakhir menilai dha’if kepadanya”.Dari komentar para Ulama terhadap ‘Ummarah
ini kita melihat ada ta’arudh yang dikemukakan para Ulama pada tingkatan yang
rendah, sebagai bentuk toleransi. Tidak ada pujian yang berupa ta‟kid, apalagi
luar biasa. Artinya, periwayat ini tidak istimewa. Disisi lain, ada yang
menilai lemah, kendati tidak berat, seperti tuduhan pendusta. Di sini, al-Jarh
tidak disebut rinciannya, mengapa dikatakan dha’if.
Memperhatikan
berbagai komentar tadi, kita dapat mengatakan bahwa haditsnya bukan shahih dan
juga bukan dha’if, tetapi hasan.
e.
Yahya Ibn Ummarah
Amat
banyak nama Yahya dalam kitab Tahdzib. Tetapi hanya dua orang yang bin Ummarah.
Yang satu Yahya Ibn „Ummarah Ibn Ibad. Disebutkan oleh al-Asqalani bahwa ia hanya
meriwayatkan hadits kepada A’masy, dan menerima hadits dari Ibn ‘Abbas, itupun
hanya tentang kisah wafatnya Ali Ibn Abi Thalib[16].Agaknya
bukan ini orang yang dimaksud dalam sanad. Yang tepat adalah Yahya Ibn ‘Ummarah
Ibn Abi Hasan al-Anshari. Tidak ada informasi dari al-Asqalani, kapan ia lahir
dan kapan pula ia wafat. Beberapa sahabat disebut oleh al-Asqalani, sebagai
penyalur hadits kepadanya, termasuk Abu Sa’id al-Khudri. ‘Umarah Ibn Ghaziyyah
juga disebut sebagai salah seorang penerima hadits dari Yahya ini. Dengan
demikian persambungan sanad keatas dan kebawah telah terjadi.
Tidak
banyak komentar ulama terhadap tokoh ini. Ibn Ishaq, al-Nasa’i dan Ibn Kharrasy
memujinya kendati tidak luar biasa dengan nilai tsiqah. Begitu juga Ibn Hibban.Komentar
lain tidak ada.Maka,tidak ada pertentangan antara penilaian ‘adil dan cacatnya.Dengan
demikian, haditsnya tergolong shahih.
f.
Abu Sa‟id al-Khudri
Ia
seorang sahabat Nabi, wafat tahun 75 H. Al-Aqsani memberi informasi bahwa Abu
Sa’id meriwayatkan hadits kepada Yahya Ibn Ummarah. Bila kita menggunakan teori
bahwa semua sahabat itu ‘adil, maka Abu Sa’id tidak perlu diperiksa langsung
dikatakan bahwa haditsnya shahih.
Jalur
Abu Daud
Abu
Daud menerima hadits dari Musaddad (b). Didalam tahdzib hanya seorang yang
punya nama ini. Ia Musaddad ibn Musarhad Ibn Musarbal al-Bishri al-Asadi Abu
al-Hasan al-Hafidz[17].Entah
kapan dia lahir, tetapi tahun wafatnya disebut 228 H. Dapat dipastikan, ini
orang yang dimaksud didalam sanad. Apalagi, disana ada kode س ت د خ , dengan kode dal dan ta’ maka ia termasuk rijal al-Turmudzi
dan Abu Daud.
Oleh
Ibn Hajar al-Asqalani, Bisyr Ibn al-Mufaddhal (c) disebut sebagai salah seorang
yang menyampaikan hadits kepada Musaddad. Abu Daud disebut sebagai penerima
hadits dari tokoh ini. Persambungan sanad keatas maupun kebawah sudah jelas.
Jawaban
atas pertanyaan tentang Musaddad, menurut Abu Abdillah, “benar, Ia syeikh,
semoga Allah mengampuninya.” Imam Ahmad menilainya shaduq (dikenal
kejujurannya). Ibn Ma’in menilai Musaddad tsiqah-shaduq. Tidak ada yang
menyacat.
Dari
pujian yang ada tergambar bahwa Musaddad tidak terlalu hebat. Istilah yang
digunakan didalam ta’dil adalah syeikh, shaduq, malah disertai permohonan
ampun.Itu artinya ia ditolelir sebagai penyalur hadits. Untungnya ia tidak
dicacat orang,untungnya lagi ada yang menilai Tsiqah shaduq seperti Ibn Ma’in.
Maka, kalau dikatakan haditsnya shahih agaknya shahih pas-pasan. Tetapi istilah
itu tidak ada didalam ilmu hadits. Setelah kita menghadapi kasus semacam ini,
maka kita percaya bahwa kadar kesahihan hadits itu berlapis-lapis. Karenanya,
benar kalau didalam ilmu hadits ada konsep ashahul asanid (sanad primadona).
Adapun
tokoh lain dari jalur Abu Daud adalah Bisyr dan terusnya keatas sampai dengan
Nabi, sudah diuraikan dijalur al-Turmudzi.Dari hasil tayangan sanad kedua jalur
itu dapat dikatakan bahwa sanadnya bersambung. Dari segi kualitas rijal, semua
periwayat jalur al-Turmudzi berpredikat dhabit dan tsiqah. Karena itu Ummarah
Ibn Ghaziyah (d), dinilai kurang tsiqah. Karena itu hadits jalur al-Turmudzi
nilainya hasan. Demikian juga jalur Abu Daud. Karena hadits ini melalui
„Ummarah Ibn Ghaziyah yang sekaligus rijal al-Turmudzi maka nilai haditsnya
juga hasan. Bahkan pada jalur Abu Daud terdapat periwayat yang tingkat
keadilannya begitu rendah, sampai ada yang menilai seraya memintakan ampun.
Itulah dia Musaddad (b pada jalur Abu Daud).
Baik
jalur al-Turmudzi maupun jalur Abu Daud tidak dapat saling membantu mengangkat
nilai Hadits, karena “Titik lemahnya” terdapat pada tokoh yang sama ‘Ummarah
Ibn Ghaziyah.
6.Tujuan
dan faedah dari takhrij alhadits
Kegiatan
Takhrijul Hadist mempunyai tujuan yang ingin dicapai.Adapun tujuannya adalah
sebagai berikut:
a)
Mengetahui sumber otentik suatu hadist dari buku hadist apa saja yang
didapatkan.
b)
Mengetahui ada berapa tempat hadist tersebut dengan sanad yang berbeda di dalam
sebuah buku hadist atau dalam beberapa buku induk hadist.
c)
Mengetahui kualitas hadist makbul (diterima) atau mardud ( ditolak).
d)
Mengetahui eksistensi suatu hadits apakah benar suatu hadist yang ingin
diteliti terdapat dalam buku-buku hadist atau tidak[18].
e)
Mengetahui asal-usul riwayat hadist yang akan diteliti.
f)
Mengetahui seluruh riwayat bagi hadist yang akan diteliti.
g)
Mengetahui ada atau tidak adanya syahid dan mutabi’ pada hadist yang akan
diteliti.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa manfaat Takhrij adalah sangat besar terutama bagi orang
yang mempelajari hadist dan ilmunya. Adapun manfaat takhrijul hadist cukup
banyak diantaranya adalah sebagai berikut:
1)
Menghimpun sejumlah sanad hadist, dengan takhrij seseorang dapat menemukan
sebuah hadist yang akan diteliti di sebuah atau beberapa tempat di dalam kitab
Al-Bukhori saja, atau di dalam kitab-kitab lain. Dengan demikian ia akan
menghimpun sejumlah sanad.
2)
Mengetahui referensi beberapa buku hadist, dengan takhrij seseorang dapat
mengetahui siapa perawi suatu hadist dan yang diteliti dan didalam kitab hadist
apa saja hadist tersebut didapatkan.
3)
Mengetahui keadaan sanad yang bersambung(muttashil) dan yang terputus (munqathi’)
dan mengetahui kadar kemampuan perawi dalam mengingat hadist serta kejujuran
dalam periwayatan.
4)
Mengetahui status suatu hadist. Terkadang ditemukan sanad suatu hadist dhoif,
tetapi melalui sanad lain hukumnya sahih.
5)
Meningkatkan suatu hadist yang dhoif menjadi hasan lighorihi karena adanya
dukungan sanad lain yang seimbang atau lebih tinggi
kualitasnya,
atau meningkatnya hadist hasan menjadi shohih ligoirihi dengan ditemukannya
sanad lain yang seimbang atau lebih tinggi kualitasnya.
6)
Mengetahui bagaimana para imam hadist menilai suatu kualitas hadist dan
bagaimana kritikan yang disampaikan.
7)
Seseorang yang melakukan takhrij dapat menghimpun beberapa sanad dan matan
hadist.
8)
Dengan takhrij dapat diketahui banyak sedikitnya beberapa jalur periwayatan
suatu hadist yang sedang menjadi topik kajian.
9)
Dengan takhrij akan diketahui kuat dan tidaknya periwayatan. Makin banyaknya
jalur periwayatan akan menambah kekutan riwayat, sebaliknya tanpa dukungan
periwayatan lain maka berarti kekuatan periwayatan tidak bertambah.
10)
Dengan takhrij kekaburan suatu periwayatan, dapat diperjelas dari periwayatan
jalur isnad yang lain. Baik dari segi rawi, isnad maupun matan hadist.
11)
Dengan takhrij akan dapat ditentukan status hadist shahih dzatihi atau shahih
lighoirihi li ghoirihi, hasan li dzatihi atau hasan lighoirihi. Demikian juga
akan diketahui istilah hadist mutawatir, masyhur, aziz, dan ghorib.
12)
Dengan takhrij akan dapat diketahui persamaan dan perbedaan atau wawasan yang
lebih luas tentang berbagai periwayatan dan beberapa hadist terkait.
13)
Memberika kemudahan bagi orang yang hendak mengamalkan setelah mengetahui bahwa
hadist tersebut adlah maqbul (dapat diterima), sebaliknya orang yang tidak
mengamalkannya apabila mengetahui bahwa hadist tersebut mardud (ditolak).
14)
Mengetahui keyakinan bahwa suatu hadist adalah benar-benar berasal dari Rasululloh
SAW yang harus diikuti karena adanya bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran
hadist tersebut, baik dari segi sanad maupun matan.
BAB
III: PENUTUP
Kesimpulan
Takhrij
hadits merupakan kegiatan penelitian suatu hadits baik dari segi sanad, rowi,
maupun matan hadits.
Ketika
semangat belajar mereka melemah mereka kesulitan untuk mengetahui tempat-tempat
hadist yang dijadikan sebagai rujukan para ulama syar’i. Maka sebagian ulama
bangkit dan memperlihatkan hadist-hadist yang ada pada sebagian kitab dan
menjelaskan sumbernya dari kitab As-Sunnah yang asli, menjelaskan metodenya,
dan menerangkan hukumnya dari yang shohih atas yang dho’if. Lalu muncullah apa
yang dinamakan dengan “ Kutub At-Takhrij” (buku-buku takhrij).
Takhrij
hadist mempunyai tujuan yaitu meneliti dan menjelaskan tentang hadist pada
orang lain dengan menyebutkan para periwayat dalam sanad hadist tersebut ,
mengeluarkan Manfaat takhrij hadist sangat besar terutama bagi orang yang
mempelajari hadist dan mendalami ulumul hadist.
Metode-metode
takhrij antara lain yaitu dengan cara mengetahui sahabat yang meriwayatkan
hadits, Metode Takhrij menurut Lafadz Pertama dari Matan Hadist.Mencari Hadist
berdasarkan Tema, Metode Takhrij menurut Lafadz-Lafadz yang Terdapat dalam
Hadist, Metode dengan Jalan Meneliti Sanad dan Matan Hadist
Langkah
praktis penelitian hadits adalah penelitian rowi, sanad, I‟tibar, Tarikh
Ar-ruwat, Al Jarh wa Ta‟dil serta matan hadits.
Kitab
yang diperlukan ketika melakukan takhrij hadits yaitu Hidayatul bari ila
tartibi Ahadisil Bukhori, Mu‟jam Al-Fadzi wala Siyyama Al-Garibu Minha atau
Fahras litartibi Ahadisti Sokhikh Muslim, Miftahus Shokhihain, Al-Bughyatu fi
Tartibi Ahadisti Al-Hiyah Al-Jamius Shogir, Al Mu‟jam Al Mufahras li Al Alfadzi
Hadist Nabawi.
DAFTAR
PUSTAKA
1.Ushul
attakhrij wa dirasat alasaanid,DR.Mahmud Tahhan,penerbit:maktabah alma`arif ,Riyadh.
2.Atta`shil
li ushul attakhrij,DR.Bakar Bin Abdullah Abu Zaid,penerbit:dar al`ashimah,Riyadh,cetakan
pertama tahun 1413 H.
3.fathu
almughits syarh alfiyah alhadits,Imam Al-sakhawi,penerbit:dar alkutub
al`ilmiyah,Beirut,1414 H.
4.`Ilmu
attakhrij wa dauruhu fi hifdzi assunnah annabawiyah,Muhammad Bin Adzafr
Al-syahri,terbitan majma` malik Fahd.
5.Tahdzib
al-tahdzib,Imam Ibnu Hajar Al-`asqalani,penerbit:matba`ah dairah
alma`arif.India 1327 H.
6.Arrisalah
almustarafah,Imam Muhammad Bin Ja`far Alkinany,penerbit:dar alkutub
al`ilmiyah.beirut 1414 H.
7. almu`jam alwashit,Ahmad
Azziyaat,Hamid Abdul Qadir dan Muhammad Al-najjar,penerbit darul annadwah.Riyadh.
8.Ulumu
alhadits,Abdul majid khan,Jakarta 2007.
[1] .almu`jam alwashit karya ahmad
azziyaat,hamid abdulqadir dan Muhammad annajjar,penerbit darul annadwah,jilid
1,hal 223.
[2] .ushul attakhrij,DR.Mahmud
attahhan,hal:10.
[3] .ushul attakhrij,DR.Mahmud attahhan hlm 12.
[4] .lihat kitab:fathu almughits,imam assakhawi jilid
2,hlm 34.
[5] .ushul takhrij hlm 12.
[6] .kitab atta`shil,DR.Bakar Abu Zaid
hlm 79.
[7] .lihat kitab “takhrij alhadits
asysyarif” hlm 16.
[8] .lihat kitab atta`shil,DR.Bakar Abu Zaid hlm 41-52.
[9] .alkinani arrisalatu almustatrofah, (damaskus:darul
fikr,1383 H)185-190.
[10] .Mahmud,Ibid 26-30.
[11] .Abdul majid,Ibid 121.
[12] .Ibid 55.
[13] .mahmud al-tohan,ushul attakhrij hlm 12.
[16] .’Ibid,j 11,hlm 259.
[17] .’Ibid,j 10,hlm 107.
[18] .Abdul majid Khan,Ulumu alhadits (Jakarta 2007)
hlm:117-118.
Komentar
Posting Komentar