Efektifitas Regulasi Qanun Jinayat ISLAM untuk non Muslim DI Aceh
ABSTRAK
Ditilik dari
sejarah panjang kerajaan Aceh, dimasa kejayaannya syariat dan peradilan Islam
sudah jadi landasan utama dalam mengatur tatanan hukum yang diatur oleh para
ulama. Setelah bergabungnya propinsi Aceh dalam negara kesatuan republic
Indonesiapun Aceh masih mendapatkan keistimewaannya dalam menjalankan syariat
Islam secara kaffah bagi masyarakat dalamnya, qanun-qanun syariat Islam itupun
secara berurutan disahkan. Tepatnya pada tahun 2013 masyarakat Aceh dikejutkan
dengan disahkannya qanun hukum jinayat yang berisi tuntutan hukum pidana Islam
untuk non Muslim selama pelanggaran tersebut tidak diatur dalam KUHP. Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui latar belakang
dikeluarkannya qanun tersebut dan respon masyarakat terhadap qanun tersebut.
Dan adapun hasil dari analisa yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini qanun
tersebut dikeluarkan semata-mata untuk menciptakan rasa keadilan dan
keseimbangan bagi seluruh masyarakat Aceh tanpa terkecuali, sedangkan respon
masyarakat terhadap qanun tersebut menuai pro dan kontra.
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang Masalah
Islam dengan
syariatnya yang komprehensif dan universal datang sebagai rahmat untuk sekalian alam, dapat
memenuhi semua kebutuhan dan bahkan mampu bersaing dengan norma dan aturan
hukum yang ada sekarang. Oleh karena itu, umat Islam secara umumnya sangat
merindui tegaknya hukum syariat diatas bumi dan negeri mereka. Secara
prinsipnya Islam tidak pernah memperdulikan agama orang-orang yang berada di
wilayahnya dan tidak pernah memaksa mereka untuk mengikuti ajaran agama Islam
itu sendiri ataupun lainnya.
Aceh yang
secara historisnya punya peranan sangat penting dalam perkembangan kemerdekaan
Indonesia rasanya sangat pantas untuk mendapatkan perlakuan khusus dan istimewa
dalam hal penegakan syariat Islam didaerahnya, dengan keluarnya qanun no 11
tahun 2002 dan diikuti dengan qanun-qanun lain setelahnya secara resmi Aceh
mendapatkan izin penerapan syariat Islam diwilayahnya. Sedangkan untuk hukum
acara jinayat baru termaktub dalam qanun Aceh no 7 tahun 2013, yang berisi: sanksi
hukum bagi para pelaku pelanggaran syariat Islam di Aceh diperlakukan bagi
setiap orang yang berada di propinsi tersebut,
dilaksanakan terhadap semua orang yang berada di Aceh tanpa memandang
agama, daerah maupun kewarganegaraan. Hukum prosedur pidana Islam ini disahkan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh pada tanggal 13 Desember 2013.
Seringkali kita
mendengar tentang prinsip dan asas persamaan dihadapan hukum atau yang dikenal
dengan Equality Before the Law sebagaimana
termaktub dalam Deklarasi HAM PBB, yang menegaskan
bahwa setiap orang harus diperlakukan sama dihadapan hukum. Hukum dan hakim tidak
boleh memberikan perlakuan (treatment) berbeda hanya karena memandang
latar belakang ras, jenis kelamin, kebangsaan, warna kulit, kesukuan, agama,
cacat, atau hal-hal lainnya yang bertujuan untuk membedakan antara satu dengan
yang lain. Pemberlakuan prinsip Equality Before the Law ini sudah
diterapkan oleh negara-negara Eropa dan negara maju lainnya. Barangkali prinsip
Equality Before the Law tersebut menjadi acuan utama dalam pemberlakuan
qanun hukum acara jinayat untuk non Muslim di Aceh.
Dengan seiring
munculnya sikap pro dan kontra mengenai pemberlakuan hukum acara jinayat
terhadap non Muslim (selama pelanggaran tersebut tidak terdapat didalam KUHP), dan
muncul banyaknya argumentasi dari berbagai macam kalangan yang berangkat dari
latar belakang yang berbeda, bahkan disana ada yang beranggapan Rancangan Qanun
Hukum Acara Jinayah untuk non Muslim tersebut hanya bersifat antisifatif saja
dan tidak benar-benar diperlukan, maka dari sini penulis dalam penelitian ini
ingin menanggapi secara ilmiah mengenai hal tersebut baik dari sudut pandang
normative Islam ataupun dari pandangan mereka para tokoh pemuka agama non Islam
yang merupakan objek utama dalam penerapan qanun diatas.
Makalah ini selain menguraikan tentang penerapan hukum acara
jinayah untuk non Muslim juga menyebutkan beberapa hal yang berkaitan dengan
syariat Islam secara umumnya seperti mengenai adab-adab dalam berpakaian untuk
non Muslim diwilayah Islam. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti dalam
makalah yang sederhana ini ingin mengetahui tentang bagaimana penerapan
qanun jinayat Islam untuk non Muslim di Aceh.
- Rumusan
Masalah
Berdasarkan
apa yang telah kita sebutkan dalam latar belakang diatas peneliti dalam makalah
yang sederhana ini ingin mengetahui beberapa hal berkaitan dengan penerapan syari`at
Islam di Aceh yang dapat kita rumuskan dalam beberapa pertanyaan berikut ini:
1. Mengapa Dinas Syari`at Islam
Aceh mengeluarkan qanun tentang Hukum Acara Jinayat untuk non Muslim tersebut?
2. Bagaimana respon, sikap dan
tanggapan masyarakat non Muslim serta pemuka agama mereka dalam menyikapi
penerapan Qanun Acara Jinayat Islam untuk non Muslim di Aceh?
3. Apakah masyarakat non Muslim
(yang berada diwilayah Islam) diharuskan mengikuti hukum jinayat Islam dari
sudut pandang normative syariat?
- Tujuan
Penelitian
Dari rumusan
permasalahan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Untuk mengetahui latar
belakang Dinas Syari`at Islam Aceh mengeluarkan Qanun Acara Hukum Jinayat untuk
non Muslim di Aceh.
2.
Untuk mengetahui bagaimana
respon dan tanggapan masyarakat non Muslim dan pemuka agama mereka terhadap
Qanun Acara Hukum Jinayat untuk non Muslim di Aceh.
3.
Untuk mengetahui apakah hukum
jinayat Islam juga diterapkan untuk non Muslim yang berada diwilayah Islam
dalam sudut pandang normative syariat ataupun tidak.
- Kegunaan
dan Manfaat Penelitian
Peneliti
sangat berharap penelitian ini nantinya bisa memberikan kontribusi yang
bemanfaat atau dampak positif bagi pihak-pihak yang berwenang dalam penerapan
syariat Islam di aceh, khususnya dalam masalah yang belakangan ini sering
menimbulkan kekontrofersian yaitu mengenai qanun hukum acara jinayat untuk non
Muslim di Aceh. Adapun manfaat untuk peneliti secara pribadi, penelitian ini
memperdalam keilmuan peneliti dalam memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan
non Muslim yang berada di wilayah/daerah Islam, secara tidak langsung
penelitian ini mendekatkan peneliti dengan khazanah keIslaman yang lebih
khususnya mengenai buku-buku/kitab klasik dan baru yang berbicara tentang hukum
jinayah.
- Defenisi
Operasional
1.
Qanun Jinayat terdiri dari dua
kata, yaitu qanun dan jinayah, kata qanun berasal dari bahasa arab yaitu ((قنّ qanna,
yang bermakna membuat hukum dan kemudian qanun dapat diartikan sebgaai hukum,
peraturan atau undang-undang. Sedangkan jinayah secara etimologis berarti perbuatan
terlarang. Menurut Ahmad Wardi jinayah secara bahasa adalah:
اسم لما يجنه المرء من شر وما اكتسبه
“ nama bagi perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang
diusahakan”. Sedangkan jinayah menurut istilah fuqaha, sebagaimana dikemukakan
oleh Abdul Qadir Audah adalah:
فالجناية اسم
لفعل محرم شرعا, سواء وقع الفعل على نفس أو مال أو غير ذلك
“ jinayah adalah suatu istilah
yang dilarang oleh syari`at, baik perbuatan yang mengenai jiwa, harta dan lainnya”
Menurut Sayid Sabiq pengertian jinayah adalah: “yang dimaksud
jinayah dalam istilah syara` adalah setiap perbuatan yang dilarang dalam
syari`at kita melakukannya, karena adanya bahaya terhadap agama, jiwa, akal,
kehormatan, dan harta benda”.[1]
Menurut Amir Syarifuddin pengertian jinayah atau lengkapnya adalah fiqh jinayah
merupakan satu bagian dari pembahasan fiqh. Kalau fiqh adalah ketentuan yang
bersifat wahyu Allah dan amaliyah yang mengatur kehidupan manusia dalam
hubunganya dengan Allah dan sesame manusia, maka fiqh jinayah secara khusus
mengatur tentang pencegahan tindak kejahatan yang dilakukan manusia dalam
hubungannya dengan Allah dan sesama manusia, maka fiqh jinayah secara khusus
mengatur tentang pencegahan tindak kejahatan yang dilakukan oleh manusia dan
sanksi hukuman yang dikenakan dengan kejahatan itu adalah mendatangkan
kemashlahatan untuk manusia, baik itu mendatangkan manfaat dan keuntungan untuk
mereka ataupun menghindari kerusakan dan kemudharatan dari manusia. Segala
bentuk tindakan terhadap orang lain atau makhluk lain dilarang oleh agama dan
tindakan tersebut dinamakan tindak kejahatan atau jinayah. Semua bentuk
tindakan tersebut yang dilarang oleh Allah dan diancam pelakunya dengan hukuman
tertentu itu secara khusus disebut jinayah. Menurut Sudarsono istilah fiqh
jinayah adalah pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap hak Allah
atau larangan Allah, hak-hak manusia dan hak binatang dimana orang yang
melakukan wajib mendapat hukuman yang sesuai baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam rumusan lain disebutkan jinayah itu kehajatan dosa besar ataupun
(kriminal/pidana) seperti membunuh, melukai orang, berzina dan menuduh orang
baik berzina.
2. Adapun mengenai pengertian non Muslim, menurut Khalid
bin Muhammad Majid mereka adalah orang-orang yang tidak beriman dengan nabi
Muhammad saw, ataupun orang-orang yang tidak mengimani ushul atau
pokok-pokok ajaran Islam yang diketahui secara dharurah.
- Metode
Penelitian
1.
Metode Penelitian:
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis, yakni suatu
penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang realitas pada obyek
yang diteliti secara obyektif. Penelitian ini menekankan pada satu variable
yaitu penerapan Qanun Hukum Acara Jinayah di Aceh untuk non Muslim. Peneliti
akan melakukan kajian tentang masalah ini baik secara teoritis maupun yang
terjadi dilapangan, disampin itu penulis juga menggunakan metode fenomonologis
yang tidak terbatas pada empiric (sensual) tapi juga mencakup persepsi,
pemikiran, kemauan, keyakinan “dan keyakinan subjek tentang sesuatu diluar
subject: ada sesuatu yang transenden disamping yang opsteroti”. (Noeng Muhajir,
Metodelogi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), hal.12.
2.
Lokasi Penelitian
Wilayah
Banda Aceh yang merupakan ibukota provinsi Aceh, dan lebih khususnya lagi
tempat-tempat ibadah masyarakat non Muslim yang ada di Banda Aceh.
a.
Populasi
Masyarakat
non Muslim kota Banda Aceh yang terdiri dari:
-
Masyarakat non Muslim secara umum
-
Masyarakat non Muslim yang
berpendidikan ataupun para pemuka agama mereka
-
Instansi-instansi pemerintahan,
seperti Dinas Syariat Islam Aceh, MPU Aceh, dll.
b.
Sampel
Diwawancarai
sejumlah orang yang terdiri dari para pemuka agama Islam dan non Islam,
instansi pemerintahan seperti Dinas Syari`at Islam Aceh, MPU Aceh.
c.
Tehnik Pengumpulan Data
Seperti
yang telah dijelaskan diatas bahwa metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah gabungan antara descriktif analisis dan fenomenalogi dan menggunakan
tehnik pengumpulan data sebagai berikut:
1. Wawancara yang mendalam (in
depth interview), tehnik ini digunakan untuk mendapatkan informasi yang akurat
dari nara sumber.
2. Data kepustakaan, tehnik ini
bertujuan untuk melengkapi data yang didapatkan dari wawancara mendalam,
ditambah informasi-informasi dari media seperti internet dan Koran-koran yang
ada relevansinya dengan objek penelitian yang dilakukan.
d.
Analisis Data:
Penelitian
ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan data kualitatif sebagai
dasar deskripsi, inti permasalahan yang ingin diketahui adalah apa latar
belakang dikeluarkannya Qanun Hukum Acara Jinayat untuk non Muslim di Aceh. Dan
bagaimana respond dan tanggapan masyarakat non Muslim di Aceh terhadap qanun
tersebut. Oleh karena itu, analisis data yang dilakukan lebih terfokus pada
analisis konstektual, dengan cara melihat hubungan satu data kedalam system
dimana data itu berasal. Data yang telah diperoleh direduksi sedemikian rupa
sesuai dengan kerangka konseptual dan pertanyaan penelitian. Kemudian data
tersebut diklarifikasi, diverifikasi, dan diinterpretasikan.
BAB II
PEMBAHASAN
- Studi
Keperpustakaan
Menurut hemat
peneliti, telah banyak karya penelitian yang bertema tentang penerapan syariat
Islam di Aceh, baik dalam bentuk skripsi ataupun tesis, diantaranya ada yang
meneliti tentang syariat Islam di Aceh secara umumnya, sedangkan sebagian yang
lain membuat penelitian dengan menganalisis qanun-qanun tertentu dari sekian
banyak qanun syariat Islam yang telah diterapkan. Peneliti sendiri dalam
penelitian ini banyak mengambil manfaat dari penelitian-penelitian yang
dilakukan sebelumnya, baik dari metode dalam menganalisis data, ataupun hal-hal
lainnya yang berhubungan dengan metode penulisan. Dengan table berikut ini kita
akan menguraikan sebagian dari penelitian tersebut:
No
|
Nama/Nim
|
Judul
Skripsi/Tesis
|
Tanggal
Sidang
|
1
|
Usep
Sanjabil Ms.Sy
105045101502
|
Pidana
Rajam menurut Hukum Islam dan HAM
|
23 Juni
2013
|
2
|
Dede Hendra
MR
1006754882
|
Eksistensi
Penerapan Pidana Cambuk terhadap Pelanggar Qanun Syariat Islam di Propinsi
Aceh
|
18 Juni
2012
|
3
|
Willy
Purnamasari
|
Efektifitas
Regulasi Hukuman Cambuk terhadap Pelaku Tindak Pelaku Minum-Minuman Keras
(Khamar) dan Perjudian (Maisir) di Kota Langsa Aceh
|
27 Mei 2013
|
Disamping
penelitian-penelitian ilmiah yang kita sebutkan diatas, yang jauh dekatnya
sedikit berhubungan dengan judul penelitian ini, disana ada Beberapa artikel
yang pernah ditulis mengenai penerapan syari`at Islam untuk non Muslim di Aceh,
seperti:
1. Muhammad Siddiq, Syariat Islam
bagi non Muslim.[2]
Disini beliau lebih menekankan akan pentingnya penyamaan antara non Muslim dan
lainnya dalam hal penegakan syari`at Islam baik itu jinayah ataupun lainnya,
dalam artikel ini beliau mencantumkan beberapa bukti/dalil untuk menguatkan
argumen tersebut.
2. Nurdin Hasan, Hukum Syari`at
berlaku untuk warga non Muslim di Aceh.[3]
Dalam artikel ini penulis memunculkan argument yang mengatakan Qanun nomr 7
tahun 2013 mengenai Hukum Acara Jinayah untuk non Muslim di Aceh selama
pelanggaran tersebut tidak termaktub dalam undang-undang KUHP hanya bersifat
antisipatif dan tidak benar-benar diperlukan, dengan dalih segala macam
pelanggaran telah disebutkan dalam undang-undang KUHP.
Beberapa
penelitian yang kita sebutkan diatas sangat membantu peneliti dalam melakukan
kajiannya tentang efektifitas regulasi qanun jinayah Islam untuk non Muslim di
Aceh.
- Kerangka
Teori
1.
Pengertian Syari`at Islam,
tujuan serta keistemewaannya.
Syari`at
bisa disebut syir`ah, artinya secara bahasa adalah sumber air yang mengalir
yang didatangi oleh manusia ataupun binatang untuk minum. Perkataan “syara`a fi
maa`I” artinya datang kesumber air mengalir. Kemudian kata itu digunakan untuk
pengetian hukum-hukum Allah swt yang diturunkan untuk manusia, sedangkan arti
syari`at menurut istilah adalah hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah
swt melalui rasul-rasulNya yang mulia, untuk manusia, agar mereka keluar dari
kegelapan kedalam terang, dan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus.
Jadi,syariat Islam adalah hukum dan aturan yang mengatur seluruh sendi
kehidupan umat Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, syariat Islam juga
berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. kata syara`a berarti memakai
syari`at, dan juga kata ini digunakan dengan arti membentuk syari`at atau hukum
seperti firman Allah swt :
Q,s
almaidah:18 atau asy-syura:13.
Ada lima hal
pokok yang merupakan tujuan utama dari syariat Islam: 1). Memelihara
kemaslahatan agama, 2). Memelihara jiwa, 3). Memelihara akal, 4). Memelihara
keturunan dan kehormatan, 5). Memelihara harta benda.
Adapun
diantara keistimewaan syariat Islam kita bisa ringkaskan dalam beberapa poin
berikut ini: 1). Dalam Islam kekuasaan mutlak itu hanya milik Allah swt semata,
2). Syariat Islam bersifat komperhensif, yaitu mengatur semua aspek kehidupan,
3). Syariat Islam sempurna dan sesuai dengan fitrah manusia, 4). Syariat Islam
fleksibel atau luwes.
2.
Sejarah penerapan syari`at
Islam di Aceh
Aceh
dikenal dengan seramboe mekkah (serambi mekkah). Nafas Islam begitu menyatu
dalam adat budaya orang Aceh sehingga aktifitas budaya kerap berazaskan Islam.
Islam di Aceh punya sejarah panjang yang bisa kita ringkaskan dalam poin-poin
berikut ini:
- masa
kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh mencapai gemilang masa pemerintahan
iskandar muda (1607-1636). Salah satu usaha beliau adalah meneruskan perjuangan
sultan sebelumnya untuk melawan kekuasaan Portugis yang sangat membenci Islam.
Dia juga mendorong penyebaran agama islam keluar kerajaan Aceh, seperti malaka
dan pantai barat pulau Sumatera. (Zakaria Ahmad, 1973:20-22). Peradilan islam
dibentuk untuk mengatur tatanan hukum yang di atur oleh ulama. Pengadilan
diberikan kewenangan sepenuhnya untuk mengatur jalan roda hukum tanpa meminta
persetujuan pihak atasan, peranan Qadhi malikul Adil (hakim agung kesultanan)
di pusat kerajaan Aceh memiliki kewenangan seperti Mahkamah Agung sekarang ini.
Setiap kawasan ada Qadhi ulee balang yang memutuskan perkara di daerah
tersebut. Jika ingin mengajukan banding diteruskan pada Qadli Maliku Adil.
Kedua Qadhi ini diangkat dari kalangan ulama yang cakap dan berwibawa. ( http//
www. Mahkamah syariahaceh.go.id). Sultan Aceh merupakan pelindung ajaran Islam
sehingga banyak ulama datang ke Aceh. Pada masa itu hidup ulama seperti Hamzah
fansuri, Syamsuddin As-samathrani, syekh Ibrahim as-syami dll. Di bawah
perintah sultan juga ditulis buku mit’at-uttullah karangan syekh
Abdurra’uf disusun pada masa pemerintahan sultanah safiattuddin syah (
1641-1675 ), dan buku safinat-ulhukkamyi takhlish khashham
karangan syekh Jalaluddin at-Tarussani disusun masa pemerintahan sultan
Alaiddin Johansyah (1732-1760). Buku ini ditulis sebagai pegangan hakim dalam
menyelesaikan perkara yang berlaku di seluruh wilayah di seluruh kerajaan Aceh
sendiri dan di seluruh rantau takluknya. Kedua buku ini bersumber pada
buku-buku fiqih bermazhab syafi’i. Hukum berlaku untuk setiap lapisan
masyarakat termasuk kaum bangsawan dan kerabat raja. Dari cerita mulut ke mulut
iskandar muda menjatuhkan hukuman rajam kepada anak kandungnya sendiri karena
terbukti berzina dengan salah seorang isteri bangsawan di lingkungan istana.
Raja ling eke XIV masa sultan ala’uddin ri’ayatsyah-al qahhar (1537-1571) di
jatuhi hukuman oleh qadli malikul adil untuk membayar 100 ekor kerbau kepada
keluarga adik tirinya yang dia bunuh dengan sengaja ( al yasa’ abu bakar,
2006:389-390), dari sekian banyak kisah yang kita dapatkan membuktikan yang
bahwa pemerintah kerajaan Aceh dimasa dulu telah menerapkan Syariat Islam.
- Masa
awal kemerdekaan Indonesia dan orde baru.
Ketika kemerdekaan Indonesia di deklarasikan Soekarno
pada 17 agustus 1945, Aceh belum menjadi bagian dari NKRI. Kesediaan bergabung
dalam wilayah RI karena adanya janji Soekarno yang ingin memberikan kebebasan
untuk mengurus diri sendiri termasuk pelaksanaan syariat Islam. Janji itu
terucap pada tahun 1948, bung karno datang ke Aceh mencari dukungan moril dan
materil bagi perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda. Kebebasan melaksakan
syariat merupakan imbalan jika bangsa Aceh bersedia memberikan bantuan. Gayung
pun bersambut. Di bawah komando Daud Beureueh berhasil terkumpul dana sebanyak
500.000 dolar AS. Untuk membiayai ABRI 250.000 dolar, 50.000 dolar untuk
perkantoran pemerintahan, 100.000 dolar untuk biaya pengembalian pemerintahan
RI dari Yogya ke Jakarta. Bangsa Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk
membeli oblogasi pemerintahan dan dua pesawat terbang, selawah agam dan selawah
dara. Janji yang di lontarkan sang presiden RI tidak diwujudkan malah provinsi
Aceh di satukan dengan provinsi sumatera utara tahun 1951. Hak mengurus wilayah
sendiri dicabut. Rumah rakyat, dayah, menasah yang hancur porak-poranda akibat
peperangan melawam Belanda dibiarkan begitu saja. Dari sinilah Daud Beureueh
menggulirkan ide pembentukan Negara islam Indonesia ( DII ), april 1953 dia
bergerilya ke hutan. Namun pada tahun 1962 bersedia menyerah karena di janjikan
akan di buatkan UU syariat Islam bagi rakyat Aceh (majalah Era Muslim “untold
history”. ] 30 September 2009 jam 22:35) Setelah itu di berikan otonomi
khusus untuk menjalankan proses keagamaan, peradatan dan pendidikan namun
pelaksanaan syariat Islam masih sebatas yang di izinkan pemerintah pusat. Hal
itu tertuang dalam keputusan penguasa perang (panglima militer 1 Aceh/ iskandar
muda, colonel M.Jasin) no KPTS/PEPERDA-061/3/1962 tentang kebijaksanaan unsur-unsur
syariat agama Islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh yang berbunyi : pertama:
terlaksananya secara tertib dan seksama unsur-unsur syariat agama islam bagi
pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh, dengan mengindahkan peraturan perundangan
Negara. Kedua: penertiban pelaksanaan arti dan maksud ayat pertama di
serahkan sepenuhnya kepada pemerintah Daerah Istimewa Aceh. (al yasa Abu Bakar,
2006:33).
Pada tahun 1966 orde baru yang berkuasa, di sahkan
peraturan daerah nomor 1 tahun 1966 tentang pedoman dasar Majelis
Permusyawaratan Ulama. Fungsi majelis ini adalah sebagai lembaga pemersatu
umat, sebagai penasehat pemerintah daerah dalam bidang keagamaan dan sebagai
lembaga fatwa yang akan memberikan pedoman kepada umat Islam dalam hidup
keseharian dan keagamaanya. Langkah untuk mewujudkan syariat Islam melalui
PERDA yang mengatur rambu-rambu pelaksanaan syariat Islam di Aceh ditempuh
dengan membuat panitia khusus yang terdiri dari cendekiawan dan ulama di luar
DPRD. Rancangan ini disahkan DPRD menjadi peraturan daerah nomor 6 tahun 1968
tentang pelaksanaan unsur syariat Islam Daerah Istimewa Aceh. Ketika peraturan
daerah ini diajukan kedepartemen dalam negeri untuk mengesahkan namun di tolak
dan secara halus (tidak resmi) meminta DPRD dan PEMDA Aceh mencabut PERDA
tersebut. Tahun 1974 pemerintah mengesahkan undang-undang tentang pokok
pemerintahan didaerah yang antara lain menyatakan bahwa sebutan Daerah Istimewa
Aceh hanyalah sekedar nama, peraturan sama dengan daerah lain. Syariat Islam
yang berlaku di tingkat gampong diganti dengan undang-undang no:5 tahun 1979
tentang pemerintahan desa ( alyasa abu bakar, 2006:31-39). Tidak ada penerapan
syariat Islam sama sekali baik pada masa orde lama maupun orde baru. Syariat Islam
Cuma senjata politik untuk memuluskan rencana penguasa. Periode orde lama, Soekarno
menggunakan janji keleluasaan penerapan syriat Islam untuk mencari dukungan
dari pemimpin Aceh, Abu Beureueh dan berhasil. Saat janji yang tak pernah di
tepati itu ditagih melalui perlawanan bersenjata, kembali jurus syariat Islam
yang di pergunakan dan sekali lagi berhasil. Beberapa PERDA yang mengatur tata
pelaksanaan syariat namun sebatas yang di bolehkan penguasa. Masa orde baru pun
tak jauh beda. Syariat Islam cuma sekedar usaha penguatan kedudukan di mata
masyarakat yang sudah hilang kesabaran menanti janji pemerintah. Setelah
kepercayaan masyarakat tumbuh malah syariat Islam yang di laksnakan
turun-temurun tingkat desa malah di hapuskan dan di ganti dengan peraturan yang
berlaku di seluruh Indonesia.
- Syariat
islam era otonomi khusus (sekarang).
Penerapan syariat islam era otonomi khusus untuk Aceh
akrab dengan kata-kata “penerapan syariat islam secara kaffah di Aceh”. Bisa di
artikan usaha untuk memberlakukan Islam sebagai dasar hukum dalam tiap
tindak-tanduk umat Muslim secara sempurna. Istilah kaffah digunakan karena negara
akan melibatkan diri dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Membuat hukum
positif yang sejalan dengan syariat, merumuskan kurikulum yang islami, dan
masalah-maslah lain yang berkaitan dengan syariat. Dasar hukum pelaksanaan
syariat islam di Aceh adalah diundangkan UU no 44 tahun 1999 dan UU no 18 tahun
2001. Dalam undang-undang nomor 44 syariat Islam didefinisikan sebagai semua
aspek ajaran Islam. Dalam undang-undang nomor 18 disebutkan bahwa mahkamah
syar’iyah akan melaksanakan syariat islam yang di tuangkan ke dalam qanun
terlebih dahulu. Qanun adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah Aceh
untuk melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh ( al yasa abu bakar,
2004:61). Selama penerapan syariat Islam disana ada beberapa qanun yang telah
disahkan, seperti:
1) Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat
islam bidang aqidah. Ibadah dan syariat islam.
2) Qanun nomor 12 tahun 2003 tentang larangan khamar
(minuman keras), pelaku yang mengkonsumsi khamar akan dijatuhi hukuman cambuk
40 kali. Hakim tidak di beri izin untuk memilih (besar kecil atau tinggi
rendah) hukuman. Bagi yang memproduksi khamar dijatuhi hukuman ta’zir berupa
kurungan paling lama satu tahun, paling sedikit 3 bulan dan denda paling banyak
Rp. 75.000.000 (tujuh puluh lima juta) dan paling sedikit Rp. 25.000.000 (dua
puluh lima juta rupiah).
3) Qanun nomor 13 tahun 2003 tentang larangan maysir
(perjudian).
4) Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang larangan khalwat
(perbuatan mesum).
5) Qanun nomor 7 tahun 2004 tentang pengelolaan zakat (al
yasa abu bakar, 2006)
3.
Rancangan Qanun Hukum Acara
Jinayat untuk non Muslim di Aceh
BAB
III
RUANG LINGKUP
BERLAKUNYA QANUN
Pasal
5
Qanun Aceh
ini berlaku untuk lembaga penegak hukum dan setiap orang yang berada di Aceh.
BAB XI
KONEKSITAS
Pasal 94
(1)
|
Jarimah yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara
bersama-sama yang diantaranya beragama bukan Islam, pelaku yang beragama bukan
Islam dapat memilih dan menundukkan diri pada Qanun ini, diperiksa dan diadili
oleh Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota.
(2)
Jika perbuatan yang dilakukan oleh pelaku Jarimah yang tunduk kepada
peradilan umum tidak menundukkan diri pada Qanun ini, maka dia diperiksa dan
diadili di Peradilan Umum.
(3)
Jika perbuatan Jarimah yang dilakukan oleh pelaku yang tunduk pada
peradilan umum bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana atau Ketentuan Pidana di luar Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, maka pelaku Jarimah tetap di adili di Mahkamah Syar’iyah
Kabupaten/Kota.
Dalam
rancangan qanun jinayat yang sedang dibahas oleh DPRA dan pemerintah Aceh, ada penambahan
beberapa persoalan lain seperti zina, pemerkosaan, pelecehan seksual,
homoseksual dan lesbian. Ancaman hukuman bagi pelaku pelanggaran syariat islam
dalam qanun itu lebih keras, yakni puluhan hingga ratusan kali cambuk atau
puluhan sampai ratusan bulan hukuman penjara.
Seiring
dengan munculnya kekontroversian terhadap Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang
penerapan Hukum Acara Jinayat (HAJ), yaitu sanksi hukum bagi para pelaku
pelanggaran syariat Islam di Aceh, diberlakukan bagi setiap orang yang berada
di provinsi ini. Aturan hukum ini dilaksanakan terhadap semua orang yang berada
di Aceh, tanpa memandang agama, daerah, maupun kewarganegaraan. Dari sisi lain
menyamakan penerapan syari`at Islam (Hukum Acara Jinayat) di propinsi Aceh
untuk non Muslim dengan penerapan yang pernah dilakukan pada masa kekhalifahan
Islam terdahulu merupakan sesuatu yang sangat rancu, dikarenakan Aceh merupakan
propinsi yang bernaung di bawah kesatuan republic Indonesia yang memiliki Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang memiliki kekuatan hukum yang lebih besar
dibandingkan peraturan lainnya.
Oleh karena itu, untuk menjawab kekontroversian diatas
hanya sedikit teori-teori yang bisa dipakai dalam penelitian ini. Buku-buku
yang digunakan juga tidak banyak mengemukakan teori-teori tentang penerapan
qanun dan hukum jinayat untuk non Muslim diwilayah Islam. Adapun teori-teori
yang dipakai dalam menunjang penelitian ini adalah dasar-dasar yang membedakan kedudukan
penerapan hukum Islam pada masa kekhalifahan Islam dan penerapannya di propinsi
Aceh, disini penulis sedikit menyinggung tentang karakteristik daulah/negara
Islam. Teori yang kedua adalah dalil-dalil syar`I yang membuktikan adanya
penerapan hukum jinayat atau al-Hudud untuk non Muslim yang berada di wilayah
Islam. Teori yang ketiga adalah bagaimana tanggapan para pemuka agama atau
masyarakat selain Islam dalam menyikapi qanun hukum jinayah ini, apakah mereka
merespon positif ataupun tidak.
Dari teori-teori diatas, dapat dirangkai satu kerangka
teori yang akan menjadi rangkain penelitian ini, penelitian ini akan diawali
dengan mencari data-data mengenai penerapan syariat Islam unutk non Muslim
diwilayah Islam secara umumnya ataupun data mengenai penerapan hukum jinayah
untuk non Muslim di wilayah Islam, dalam langkah selanjutnya peneliti membuat
perbandingan mengenai penerapan syariat pada masa kekhalifahan terdahulu dan
penerapan disebagian wilayah Islam sekarang seperti Aceh. Dalam langkah
terakhir penelitian peneliti disini akan menyimpulkan apakah raqan Hukum Acara
Jinayah ini bermanfaat untuk non Muslim ataupun hanya bersifat antisipatif
saja, kesimpulan ini tentunya
didimpulkan setelah peneliti membuat perbandingan hukum acar jinayah
dengan KUHP.
BAB III
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA QANUN
Pasal 5
Qanun
Aceh ini berlaku untuk lembaga penegak hukum dan setiap orang yang berada di
Aceh.
C.
Hasil Penelitian
Seiring dengan munculnya
kekontroversian terhadap Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang
penerapan Hukum Acara Jinayat (HAJ), yaitu sanksi hukum bagi para pelaku
pelanggaran syariat Islam di Aceh, diberlakukan bagi setiap orang yang berada
di provinsi ini. Aturan hukum ini dilaksanakan terhadap semua orang yang berada
di Aceh, tanpa memandang agama, daerah, maupun kewarganegaraan. Seprti halnya
qanun-qanun sebelumnya qanun inipun tidak luput dari pro dan kontra dari
masyarakat yang menyikapinya ataupun golongan-golongan tertentu dari mereka. Penelitian sederhana ini
mengungkapkan beberapa hal yang bisa kita ringkaskan sebagai berikut:
1.
Alasan ataupun latar belakang
dikeluarkannya Qanun Hukum Acara Jinayat untuk non Muslim di Aceh.
Dari hasil wawancara yang
dilakukan dengan segenap para pelaku hukum di propinsi Aceh peneliti
mendapatkan alasan utama penggagasan Qanun Hukum Acara Jinayat tersebut adalah
upaya untuk menciptakan keadilan hukum di Aceh, yang sesuai dengan landasan Equality
Before the Law atau asas persamaan dihadapan hukum. Hal ini senada
dengan apa yang disampaikan oleh Abdullah Saleh, Ketua Badan Legislatif Aceh,
ketika beliau diwawancarai oleh wartawan BBC Siaran Indonesia, Liston Siregar.
“mengatakan penerapan Syariah Islam
kepada warga non-Muslim dimaksudkan sebagai perlakukan yang sama bagi semua penduduk
yang tinggal di provinsi tersebut. Tercipta ketidakadilan hukum di dalam
masyarakat kalau orang yang Muslim dihukum jika melakukan pelanggaran hukum
sementara yang non-Muslim lepas, kan tidak ada keadilan hukum dalam situasi
seperti itu”.
Bahkan Prof
Alyasa` Abu Bakar, Kepala Dinas Syariat Islam Propinsi Aceh, dalam acara
diskusi dan dialog dengan organisasi Islam dan santri Aceh memandang penerapan
syariat Islam untuk non Muslim di Aceh sebagai bentuk penyempurnaan terhadap
qanun-qanun syariat Islam sebelumnya. Bahkan beliau memberikan kemungkinan yang
bahwa qanun-qanun tersebut akan diterapkan juga untuk selain warga sipil
seperti halnya anggota militer dan kepolisian.
“Jadi, kita
akan sempurnakan lagi qanun-qanun yang telah ditetapkan tersebut, sehingga
lebih sempurna lagi, termasuk pelanggaran Syariat Islam juga diberlakukan oleh
non muslim di Aceh, qanun-qanun Syariat Islam, yakni tentang judi (maisir),
minuman keras (khamar), dan mesum (khalwat), masih perlu direvisi, karena
dinilai masih ada kelemahan dan kekurangan, sehingga menimbulkan ketidakadilan”.
Beliau menambahkan:
“Mungkin juga
bisa dimasukkan lagi, pelaksanaan qanun tersebut tidak hanya warga sipil, tapi
juga anggota militer dan kepolisian, yang selama ini tidak terjerat hukum
Islam, apabila melakukan pelanggaran qanun Syariat Islam”.
Walaupun demikian sebagian
dari mereka menilai QHAJ itu hanya sebagai bentuk antisipasi saja, barangkali
inilah yang disebutkan oleh Edrian yang menjabat sebagai kepala urusan hukum
pemerintahan Aceh.
“Pasal yang
berkaitan dengan warga non Muslim adalah untuk mencegah pelaku menghindari
konsekuensi hukum ”jika tindak pidana tidak diatur berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)”.
Beliau menambahkan:
“Tetapi
menurut saya, tidak ada pelanggaran tindak pidana yang tidak diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan peraturan lain di Indonesia. Jadi, pasal yang
mengatur warga non Muslim hanya untuk antisipasi saja”.
Pendapat senada diungkapkan Abdullah Saleh, mantan
Ketua Panitia Khusus Qanun Hukum Acara Jinayat DPRA. Menurut dia, pasal yang
dapat menjerat non-muslim untuk memberi rasa keadilan hukum kepada pelaku
pelanggaran syariat Islam di Aceh.
“Kalau
terjadi tindak pidana yang di dalamnya terdapat non-muslim, tapi tak diatur
dalam KUHP atau aturan lain di Indonesia, pelaku pelanggaran hukum beragama
Islam diproses hukum, sementara non-muslim harus bebas karena tidak ada dasar
hukum menjeratnya. Dimana rasa keadilan hukum, Sangat
tersinggung rasa keadilan jika yang satu diadili, satu lagi bebas”.
Beliau memberikan contoh pelanggaran yang tak diatur dalam
KUHP atau aturan hukum lain di Indonesia, tetapi terdapat dalam qanun tentang
syariat Islam di Aceh, yaitu khalwat dan khamar.
“Berdua-duaan
laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka yang dilakukan orang dewasa
tanpa ikatan perkawinan tidak bisa ditindak karena mesum tak ada deliknya dalam
KUHP”.
Politisi senior Partai Aceh ini menolak pernyataan
yang menyatakan bahwa pasal yang tercantum pada Bab Koneksitas Qanun Hukum
Acara Jinayat seakan-akan ada pemaksaan ajaran Islam kepada non-muslim di Aceh.
“Sebenarnya,
tak ada itu. Ini semata-mata untuk memberi rasa keadilan hukum dan bukan hendak
menerapkan ajaran Islam untuk non-muslim”.
Disini
penulis ingin memberitahukan yang bahwa Qanun Hukum Acara Jinayat tersebut
telah dikirim ke Departemen Dalam Negeri di Jakarta pada tanggal 3 Februari
untuk persetujuan akhir, dan jika Menteri Dalam Negeri tidak merespon dalam 60
hari, undang-undang baru ini secara otomatis akan berlaku.
2.
Respon, sikap dan tanggapan
masyarakat non Muslim serta pemuka agama mereka dalam menyikapi penerapan Qanun
Acara Jinayat Islam untuk non Muslim di Aceh.
Seiring dengan munculnya pro
dan kontra terhadap penerapan Qanun Hukum Acara Jinayat diatas, yang secara
umumnya masyarakat terbagi dalam dua kelompok yang pro terhadap qanun diatas
dan yang kontra dengan qanun tersebut, barangkali ini hasil yang bisa
didapatkan oleh peneliti mengenai hal ini:
Tidak sedikit kelompok
masyarakat yang bersikap pro terhadap qanun diatas, baik mereka yang berasal
dari golongan cendikia ataupun masyarakat umum Muslim atau non Muslim. Salah
satunya Muhammad Siddiq, salah seorang dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
UIN ar-Raniry Banda Aceh yang memberikan pandangan sebagaimana berikut ini:
“ ketika Syariat Islam sudah diformalkan maka secara
otomatis ia menjadi hukum positif pada suatu wilayah. Ketika itu berlaku,
Syariat Islam tidak bisa dikatakan sebagai hukum hanya bagi penduduk muslim,
akan tetapi, Syariat Islam bagi non-muslim juga, ketika suatu hukum diterapkan di
suatu teritorial tertentu, maka hukum itu akan mengikat siapa saja yang
melanggar hukum di wilayah itu. Hal ini dalam istilah hukum lebih dikenal
dengan istilah law abiding citizen (hukum mengikat para
warga). Dalam konteks ini, hukum tidak dipandang sebagai hukum untuk sebagian
golongan, tetapi hukum untuk siapa saja yang telah masuk ke dalam wilayah
tersebut, atau dalam hukum lebih dikenal dengan asas territorial”.
Kemudian
beliau juga menambahkan:
“Diskriminasi dan penggolongan
pemberlakuan HAJ (Hukum Acara Jinayat), secara tidak langsung, telah
merendahkan marwah dan martabat HAJ itu sendiri. HAJ sebagai hukum Islam, harus
belajar untuk berdiri sendiri dengan corak, kekhasan, dan otonominya sendiri.
HAJ pada dasarnya harus bisa mengisi kekosongan nilai-nilai hukum dan moral
yang ditinggalkan KUHP selama ini. Bukan malah menempatkan diri diposisi
terendah dibawah KUHP warisan kolonial. Beliau mengatakan pemberlakuan qanun
Hukum Acara Jinayat Islam di Aceh untuk non Muslim sesuai dengan prinsip
persamaan di hadapan hukum (Equality Before the Law) yang termaktub
dalam Deklarasi HAM PBB”.
Ada juga
tokoh agama Nasrani yang memandang masuknya pasal controversial tersebut dalam
qanun jinayat tidak memberikan pengaruh yang berarti, karena asasnya kita
dituntut untuk mentaati hukum yang berlaku, seperti yang dikatakan oleh Sondang
Marbun, Pembimbing Masyarakat Kristen pada Kantor Departemen Agama Aceh, beliau
mengatakan:
“itu sebenarnya enggak berpengaruh mas kalau kita taat hukum, coba kalau
semua umat beragama taat hukum dan tidak melanggar aturan, kan tidak perlu
diproses hukum”.
Bahkan sebagai
bentuk penghormatan beliau terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh, perempuan yang
telah 35 tahun menetap di
Aceh ini memilih
tampil mengenakan jilbab saat berada di luar rumah. Anak-anak perempuannya dan
perempuan Kristen dianjurkan memakai jilbab, tapi tidak ada paksaan dan mereka
bebas berpakaian asalkan sopan. Beliau berkata:
“Saya selalu
pesan pada umat Kristen untuk menyesuaikan diri karena Aceh memberlakukan
syariat Islam. Saya dan anak-anak selalu memakai jilbab bila keluar rumah.
Begitu juga sebagian perempuan Kristen lain. Mereka nyaman saja meski tak ada
kewajiban harus pakai jilbab”.
Disamping
sekian banyak kelompok yang setuju dengan penerapan qanun diatas, banyak juga
yang kontra dan mempertanyakan qanun yang dianggap controversial tersebut,
sebut saja Kho Khie
Siong, Ketua Komunitas Hakka Aceh, menyebutkan bahwa toleransi antarumat
beragama terjalin sangat baik di Aceh. Interaksi sosial juga cukup baik terbina
antara orang Islam dan non-muslim. Beliau mengatakan:
“Kami sangat
menghormati pelaksanaan syariat Islam di Aceh”.
Saat ditanya
tanggapannya soal pasal dalam Qanun Acara Jinayat yang dapat menjerat
non-muslim, Kho menyatakan tak bisa berkomentar banyak, karena belum
mempelajari secara detil ketentuan tersebut. Namun beliau berujar:
“Tetapi, ini
terkesan agak aneh karena yang saya tahu syariat Islam di Aceh hanya berlaku
untuk Muslim saja. Jadi kenapa harus diberlakukan juga untuk non-Muslim”.
Pernyataan
senada juga diutarakan Baron Ferryson Pandiangan, Pembimbing Masyarakat Katolik
di Kementerian Agama Provinsi Aceh, yang telah tiga tahun lebih
menetap di Aceh. Menurut
beliau, umat Katolik yang berjumlah 5.300 lebih di Aceh sangat menghormati
pelaksanaan syariat Islam karena ini bentuk kearifan lokal dan kekhususan Aceh.
Dia menuturkan:
“Toleransi
orang Aceh terhadap warga non-muslim sangat tinggi. Saya pribadi merasa lebih
menjadi Katolik sejati sejak bertugas di Aceh. Saya merasa lebih taat”.
Soal
menjerat warga non-muslim bila melakukan pelanggaran bersama orang Islam, Baron
menyatakan:
“Pemerintah
Aceh belum pernah mensosialisasikan masalah tersebut kepada umat Katolik. Patut
dipertanyakan juga apa motif di balik masuknya pasal itu karena syariat
Islam hanya untuk muslim”.
Hal
yang senada juga diungkapkan oleh Aki, salah seorang warga
Budhis lokal yang dihormati
dalam wawancara beliau dengan Khabar, beliau menilai
peraturan baru itu terkesan sangat aneh.
Beliau mengatakan:
“Yang saya tahu Syariah Islam di Aceh hanya berlaku untuk
warga Muslim saja. Jadi kenapa harus diberlakukan juga untuk warga non Muslim?
Warga non Muslim menghormati penerapan Syariah Islam di Aceh. Hubungan dan
toleransi antarumat beragama di Aceh terjalin dengan baik. Interaksi sosial
juga cukup baik antara orang Islam dan warga non Muslim.”
Aki mengatakan ia dan umat
Budha lainnya di Aceh cemas menunggu tanggapan pemerintah pusat terhadap
peraturan tersebut.
“Kalau
nanti Menteri Dalam Negeri tidak membatalkan pasal kontroversial itu, saya akan
konsultasi dengan teman-teman aktivis masyarakat sipil di Aceh untuk dapat
mengadvokasi agar melakukan peninjauan yudisial pasal itu ke Mahkamah Agung.”
Dari sekian
alasan yang dikemukakan oleh mereka yang kontra dengan diimplementasikan qanun
tersebut, diantaranya kekhawatiran mereka terhadap polisi syariat yang bakal
bertindak diluar kewenangan seperti yang diatur dalam Qanun Hukum Acara
Jinayat, barangkali inilah yang disebutkan oleh Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM
Aceh, Zulfikar Muhammad, beliau menyatakan:
“Ini bentuk
diskriminasi terhadap warga non-muslim oleh DPRA karena tetap memaksakan pasal
itu masuk dalam qanun,” katanya. “Siapa bisa jamin kalau WH tak akan bertindak
di luar batas kewenangan mereka, seperti yang sering terjadi selama ini ketika
pasal itu dilaksanakan.”
Ada juga
pendapat diantara mereka yang kontra dengan qanun tersebut yang mengatakan
pasal controversial tersebut tidak dapat diimplementasikan dengan alasan tidak
adanya hukum materil terhadap pasal tersebut, seperti halnya apa yang
disampaikan oleh Saifuddin
Bantasyam, pengamat hukum dari Universitas Syiah Kuala, beliau
mengatakan empat qanun
yang jadi dasar hukum materil pelaksanaan syariat Islam di Aceh berlaku bagi
muslim.
“Ketika
hukum acara menambah klausul yang juga berlaku bagi non-muslim, dasar hukum
penuntutan apa? Jadi, Qanun Hukum Acara Jinayat tak dapat dilaksanakan untuk non-muslim.”
Saifuddin
menambahkan satu aturan hukum tidak boleh dibuat kalau tak bisa dilaksanakan.
Non-muslim di Aceh bisa dijerat dengan aturan hukum pidana Indonesia kalau
melanggar syariat bersama muslim. “Bisa saja non-Muslim dijerat pasal
mengganggu ketertiban umum. Bukan memasukkan pasal diadili di Mahkamah
Syar’iyah karena tak dapat dilaksanakan,” ujarnya.
Saifuddin
yang merupakan seorang dosen Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala,
menyatakan pernah terjadi tahun 2006, tiga orang Kristen dan seorang Islam
terlibat perjudian hendak diadili di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.
“Di
persidangan, hakim bertanya pada tiga orang Kristen itu apakah mereka tahu
fungsi Mahkamah Syar’iyah. Mereka menjawab tidak tahu. Lalu, hakim menjelaskan
bahwa Mahkamah Syar’iyah hanya mengadili orang Islam,” tutur Saifuddin. Kemudian
hakim bertanya kepada mereka apakah mau masuk Islam sehingga bisa diproses di
Mahkamah Syar’iyah. Hakim juga menjelaskan syarat-syarat bagi seseorang pindah
agama. Tetapi, ketiganya sepakat tidak mau pindah ke agama Islam. “Akhirnya,
hakim memutuskan Mahkamah Syar’iyah tak punya kompetensi dan tak berwenang
mengadili perkara itu,” katanya.
Wakil Ketua
Mahkamah Syar’iyah Aceh, Jamil Ibrahim, sependapat dengan Saifuddin. Menurut
Jamil, non-muslim yang melakukan pelanggaran bersama Muslim tak dapat diproses
dengan qanun syariat Islam karena empat hukum materil yang ada hanya berlaku
untuk orang Islam. Beliau menambahkan:
“Tetapi,
non-muslim di Aceh boleh menundukkan diri diproses di Mahkamah Syar’iyah jika
melakukan pelanggaran bersama muslim. Caranya dia memilih apakah diadili di
Mahkamah Syar’iyah atau Pengadilan Negeri atas kesadaran sendiri, tanpa paksaan
dari pihak manapun.”
Beliau menambahkan,
masuknya pasal kontroversial yang tetap mengadili warga non-Muslim kalau tak
ada aturan hukum pidana Indonesia akan membingungkan hakim Mahkamah Syar’iyah
karena tidak dapat dilaksanakan. “Mungkin nanti akan dibuatkan qanun khusus
yang mengatur masalah itu,” ujarnya.
Ada
juga pendapat dari sebagian tokoh masyarakat Muslim yang menilai qanun jinayat
untuk non Muslim tersebut tidak benar-benar diperlukan, seperti yang
dikemukakan oleh Ketua Nahdlatul Ulama (NU) di Aceh, Tengku Faisal Ali dalam
wawancara belia dengan Khabar, bahkan beliau menilai memperkenalkan pasal
tersebut merupakan upaya untuk menghambat implementasi hukum Syariat di Aceh
secara penuh. Beliau
berkata:
“pasal tentang non Muslim itu tidak benar-benar diperlukan dan telah diperkenalkan
dalam upaya untuk mencegah implementasi hukum Syariah di Aceh secara penuh.
Selama ini berbagai cara dilakukan oleh sebagian pihak agar Syariah Islam tidak
jalan di Aceh, Salah satunya dengan memasukkan pasal yang mengatur warga non
Muslim karena hal itu sebenarnya tidak perlu. Jadi itu upaya penghambatan dan
kesengajaan sehingga syariah Islam tidak bisa dijalankan. DPRD dan pemerintah Aceh tidak serius mendukung Syariah
Islam dan berlama-lama dalam meratifikasi Qanun Jinayat terbaru yang dijanjikan DPRA untuk diterapkan pada tahun 2013”.
Disamping pandangan masyarakat
yang kita sebutkan diatas, masih banyak juga masyarakat umum non Muslim yang
tidak sama sekali mengetahui tentang qanun jinayat untuk non Muslim tersebut.
Seperti halnya Eric warga kristiani yang bermukim diseputaran Peunayong Banda
Aceh, ketika diwawancara oleh peneliti dia menjawab dengan polosnya.
“gak tau dek,
baru kali ini saya dengar yang gituan. Kok hukum Islam untuk kita yang bukan
Islam?
Dan disana
masih banyak juga warga non Muslim lainnya yang dari hasil wawancara yang
dilakukan peneliti menunjukkan kalau mereka sama sekali tidak memiliki
pengetahuan mengenai penerapan qanun tersebut.
- Hukum jinayat yang diberlakukan untuk masyarakat non Muslim
yang berada dibawah kekuasaan Islam dalam pandangan normative syariat.
Untuk lebih
ringkasnya peneliti disini akan menyebutkan beberapa referensi ilmiah Islam
(yang ditulis oleh para pakar Islam terkemuka) yang sedikit banyaknya
menguraikan tentang masalah penerapan hukum Islam untuk masyarakat non Muslim,
diantaranya:
- Dr.yusuf
al-qardhawy, ghairu al-Muslimin fii al-Mujtama` al-Islami (non
muslim dalam masyarakat Islam), penerbit: yayasan al-Risalah, Saudi
Arabia. Dalam halaman ke 132 buku ini beliau menyebutkan: diantara
kewajiban seorang non Muslim dalam masyarakat Islam adalah berkewajiban
mengikuti undang-undang islam yang berlaku, undang-undang yang tidak sama
sekali menyinggung kebebasan beraqidah dan beragama mereka. Dan begitu
juga tidak diwajibkan bagi mereka mengikuti aturan-aturan Islam yang
berhubungan dengan privasi pribadi dan social mereka yang dihalalkan dalam
agama mereka. sedangkan mengenai hukum-hukum yang berhubungan dengan
jinayat maka diwajibkan bagi mereka untuk mengikuti aturan/undang-undang
islam dalam hal ini seperti: zina, mencuri dan lain-lainnya.
- Prof.
Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin, samahatu al-Islam fii ta`amuli ma`a
ghairi al-Muslimin (keterbukaan agama Islam dalam berinteraksi dengan
non muslim), penerbit: kementrian waqaf Saudi Arabia.
Dalam halaman
ke 45 buku ini beliau menyebutkan: bahwasanya hukum al-Hudud dalam
syariat tidak dilaksanakan kecuali dalam bentuk yang sangat sempit dan
terbatas, banyak yang menyangka pelaksanaan hudud dalam Islam sama banyaknya
seperti pelaksanaan shalat, yang benar hukum-hukum syar`i itu ratusan
banyaknya sedangkan jumlah hudud dalam syari`at hanya dalam tujuh permasalahan
saja: perampokan, riddah (keluar dari agama), al-Bagyu (keluar dari
pemerintahan yg sah), zina, al-Qadhaf (menuduh orang muslim baik dengan
perbuatan zina), pencurian dan minum khamar (minuman keras), dan hal itu tidak
juga dilaksanakan sehingga terpenuhi seluruh syarat-syaratnya seraya dilakukan
secara bertahab sesuai dengan langkah-langkah hukumnya.
- Khalid
bin Muhammad Majid, ahkam al-Ta`amul ma`a ghairu al-Muslimin
(hukum-hukum dalam bermuamalah dengan non muslim).
Dalam halaman
ke 77 buku ini beliau menyebutkan: kalau seorang non Muslim dalam negeri Islam
melakukan kemaksiatan yang diwajibkan karenanya penerapan al-Hudud (kalau
Muslim melakukannya), maka perlu kita perhatikan jenis kemaksiatan tersebut,
kalau maksiat tersebut termasuk yang diperbolehkan oleh syariat untuk mereka
melakukannya dalam keadaan bersembunyi seperti minum khamar maka tidak
diberlakukan untuk mereka hukum al-Hudud syar`I, tapi kalau kemaksiatan itu
termasuk yang tidak diperbolehkan oleh syariat untuk mereka melakukannya
seperti zina, maka diwajibkan untuk pemerintah Islam menghukumi mereka dengan
al-Hudud syar`i yaitu rajam untuk yang telah menikah ataupun cambuk seratus
kali untuk yang lainnya.
Barangkali
referensi yang dicantumkan peneliti diatas sedikit banyaknya telah menjawab
tentang pandangan normative syariat dalam hal penerapan hukum jinayat Islam
untuk masyarakat non Muslim yang berada dibawah kekuasaan Islam.
BAB III
PENUTUP
- Analisis
Dari
pemaparan panjang lebar yang kami kemukakan dalam dua bab sebelumnya, maka
peneliti melakukan analisa sebagaimana berikut ini:
- Sebab dan alasan dikeluarkannya pasal controversial
mengenai penerapan syariat Islam untuk non Muslim di Aceh:
Sesuai dengan
data yang diterima oleh peneliti dari wawancara-wawancara yang pernah dilakukan
dengan pihak yang terkait dalam masalah ini, peneliti bisa menyimpulkan yang
bahwa asas dasar dikeluarkannya pasal controversial mengenai penerapan qanun
jinayat untuk non Muslim di Aceh hanya semata-mata untuk menyempurnakan
penerapan syariat Islam yang sedang berjalan di Aceh, dan hanya untuk
menegakkan rasa keadilan terhadap semua kelompok masyarakat yang berada di
propinsi Aceh, dengan berpayung dalam satu hukum yang sama tanpa membedakan ras,
agama dan lain-lainnya. Dalam penerapan qanun ini tidak ada unsur-unsur yang
lain yang melatarbelakangi dikeluarkannya pasal dalam qanun jinayat tersebut sebagaimana
yang pernah ditudingkan oleh sebagian orang atau kelompok. Dalam penerapan
qanun tersebut juga tidak ada sedikitpun bentuk pemaksaan ajaran Islam terhadap
warga non Muslim di Aceh.
- Tanggapan masyarakat terhadap penerapan qanun Hukum
Acara Jinayat untuk non Muslim:
Respon masyarakat
berkaitan hal ini baik mereka yang beragama Islam atau mereka yang non Muslim dari hasil data penelitian peneliti
sebagai berikut:
-
Pasal
penerapan qanun jinayat untuk non Muslim banyak menuai kekontroversian antara
masyarakat, munculnya pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat dengan
berbagai macam alasan yang mereka kemukakan.
-
Banyak juga
pihak yang menilai pasal ini hanya bersifat antisipatif saja terhadap
hukum-hukum yang tidak termaktub dalam undang-undang KUHP.
-
Disamping
banyak masyarakat yang pro terhadap penerapan qanun tersebut, tapi tidak
sedikit juga mereka yang kontra terutama dari kalangan non Muslim, yang lebih
karena disebabkan oleh kurangnya sosialisasi pemerintah terhadap qanun tersebut
untuk masyarakat non Muslim.
- Kesimpulan
Dari uraian
penelitian diatas peneliti disini dapat menyimpulkan sebagaimana berikut ini.
kebanyakan informan dan khususnya mereka yang non Muslim tidak menyetujui
penerapan qanun hukum acara jinayat untuk masyarakat non Muslim di Aceh, karena
mereka menilai hukum Islam itu hanya berlaku untuk masyarakat Muslim tidak
untuk lainnya, sebagian yang lain menilai pasal mengenai penerapan qanun hukum
acara jinayat untuk non Muslim tidak dapat diimplementasikan dikarenakan tidak
adanya hukum materil terhadap pasal tersebut, karena empat hukum materil
mengenai penerapan syariat Islam di Aceh semuanya berlaku untuk non Muslim,
disamping itu ada juga yang menolak dengan landasan kekhawatiran mereka
terhadap polisi syariat yang akan berlaku semena-mena dalam penerapannya
nantinya.
Walaupun
demikian banyaknya yang kontra dengan penerapan qanun diatas, tidak sedikit
juga yang pro dan mendukung penerapan qanun tersebut untuk masyarakat non
Muslim, pendapat yang pro in tentunya lebih didomonasi oleh mereka yang
beragama Islam, karena mereka menilai ini merupakan bentuk penyempurnaan
terhadap syariat Islam yang sedang berlaku didaerah Aceh, dan bentuk dari suatu
keadilan untuk semua elemen masyarakat dihadapan hukum tanpa membedakan ras,
fisik, agama dan lain-lainnya. Ada juga masyarakat non Muslim yang pro dan
mendukung upaya pemerintah Aceh dalam menerapkan qanun hukum acara jinayat
untuk non Muslim karena mereka memandang yang paling penting adalah hasilnya
bukan proses, yaitu terciptanya suasana damai di Aceh dengan tanpa terjadi
apapun bentuk kriminalitas atau pidana jinayat.
Pasal tentang
penerapan qanun jinayat Islam untuk masyarakat non Muslim di Aceh dikeluarkan
oleh Dinas Syariat Islam Aceh dan disahkan oleh DPRA pada tanggal 13 desember
2013 M. Dengan tujuan menyempurnakan syariat Islam yang sedang berlaku dan
menciptakannya rasa keadilan bagi seluruh masyarakat Aceh dihadapan hukum.
Penerapan hukum jinayat untuk masyarakat non Muslim seperti ini sesuai dengan
penerapan yang pernah dilakukan oleh pemerintah Islam (baik dizaman Rasulullah
saw atau setelahnya) untuk masyarakat non Muslim yang berada dibawah kekuasaan
mereka, hal ini semata-mata dilakukan hanya untuk menciptakan keadilan bagi
semua. Dan qanun ini tidak dikeluarkan kecuali atas asas keadilan dan keseimbangan,
dan untuk menjaga hak asasi manusia.
- Saran-saran
Untuk lebih
mengoptimalkan penerapan qanun hukum acara jinayat untuk masyarakat non Muslim
di Aceh, disini peneliti memberikan beberapa usulan dan saran berlandaskan
hasil penelitian yang telah dilakukan, diantaranya:
-
Dibutuhnya
banyak pensosialisasian qanun tersebut untuk masyarakat non Muslim khususnya
agar mereka dapat memahami dengan baik alasan, sebab dan tujuan qanun itu
dikeluarkan.
-
Pemerintah
perlu melakukan banyak pendekatan keagamaan antara agama-agama yang ada di
Aceh, karena tidak tertutup kemungkinan qanun yang berlaku dalam syariat Islam
juga punya dasarnya dalam normative hukum agama lain. Ini beranjak dari kisah
baginda Rasulullah saw yang pernah menghukumi dua pasangan Yahudi yang berzina
dengan hukum syariat mereka yang didapatkan tidak berbeda dengan yang terdapat
dalam syariat Islam.
Daftar Pustaka
Yusuf
al-Qardhawy, ghairu al-Muslimin fii al-Mujtama` al-Islami (non muslim
dalam masyarakat Islam), Saudi Arabia: yayasan al-Risalah, 2010 M.
Hikmat
bin Basyir bin Yasin, samahatu al-Islam fii ta`amuli ma`a ghairi al-Muslimin
(agama Islam dalam berinteraksi dengan non muslim), Saudi Arabia: kementrian
waqaf Saudi Arabia.
Khalid
bin Muhammad Majid, ahkam al-Ta`amul ma`a ghairu al-Muslimin
(hukum-hukum dalam bermuamalah dengan non muslim).
Sabiq
Sayid, fiqhu al-Sunnah, Beirut: Dar al-Kutub al-Araby, cetakan ketiga,
1977 M.
Muhammad
Siddiq, Syariat Islam bagi non Muslim, http: //www. acehinstitute.
org/id/ pojok-publik/hukum/item/217-syariat-islam-bagi-non-muslim.html,
diakses pada tanggal 15 mei 2014.
Nurdin
Hasan, Hukum Syariat berlaku untuk warga non Muslim di Aceh, http://khabarsoutheastasia.com/id/articles/apwi/articles/features/2014/03/22/feature-02,
diakses pada tanggal 15 mei 2014.
Komentar
Posting Komentar