Efektifitas Regulasi Qanun Jinayat ISLAM untuk non Muslim DI Aceh


ABSTRAK
Ditilik dari sejarah panjang kerajaan Aceh, dimasa kejayaannya syariat dan peradilan Islam sudah jadi landasan utama dalam mengatur tatanan hukum yang diatur oleh para ulama. Setelah bergabungnya propinsi Aceh dalam negara kesatuan republic Indonesiapun Aceh masih mendapatkan keistimewaannya dalam menjalankan syariat Islam secara kaffah bagi masyarakat dalamnya, qanun-qanun syariat Islam itupun secara berurutan disahkan. Tepatnya pada tahun 2013 masyarakat Aceh dikejutkan dengan disahkannya qanun hukum jinayat yang berisi tuntutan hukum pidana Islam untuk non Muslim selama pelanggaran tersebut tidak diatur dalam KUHP. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui latar belakang dikeluarkannya qanun tersebut dan respon masyarakat terhadap qanun tersebut. Dan adapun hasil dari analisa yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini qanun tersebut dikeluarkan semata-mata untuk menciptakan rasa keadilan dan keseimbangan bagi seluruh masyarakat Aceh tanpa terkecuali, sedangkan respon masyarakat terhadap qanun tersebut menuai pro dan kontra.

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
Islam dengan syariatnya yang komprehensif dan universal datang  sebagai rahmat untuk sekalian alam, dapat memenuhi semua kebutuhan dan bahkan mampu bersaing dengan norma dan aturan hukum yang ada sekarang. Oleh karena itu, umat Islam secara umumnya sangat merindui tegaknya hukum syariat diatas bumi dan negeri mereka. Secara prinsipnya Islam tidak pernah memperdulikan agama orang-orang yang berada di wilayahnya dan tidak pernah memaksa mereka untuk mengikuti ajaran agama Islam itu sendiri ataupun lainnya.
Aceh yang secara historisnya punya peranan sangat penting dalam perkembangan kemerdekaan Indonesia rasanya sangat pantas untuk mendapatkan perlakuan khusus dan istimewa dalam hal penegakan syariat Islam didaerahnya, dengan keluarnya qanun no 11 tahun 2002 dan diikuti dengan qanun-qanun lain setelahnya secara resmi Aceh mendapatkan izin penerapan syariat Islam diwilayahnya. Sedangkan untuk hukum acara jinayat baru termaktub dalam qanun Aceh no 7 tahun 2013, yang berisi: sanksi hukum bagi para pelaku pelanggaran syariat Islam di Aceh diperlakukan bagi setiap orang yang berada di propinsi tersebut,  dilaksanakan terhadap semua orang yang berada di Aceh tanpa memandang agama, daerah maupun kewarganegaraan. Hukum prosedur pidana Islam ini disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh pada tanggal 13 Desember 2013.
Seringkali kita mendengar tentang prinsip dan asas persamaan dihadapan hukum atau yang dikenal dengan Equality Before the Law sebagaimana termaktub dalam Deklarasi HAM PBB, yang menegaskan bahwa setiap orang harus diperlakukan sama dihadapan hukum. Hukum dan hakim tidak boleh memberikan perlakuan (treatment) berbeda hanya karena memandang latar belakang ras, jenis kelamin, kebangsaan, warna kulit, kesukuan, agama, cacat, atau hal-hal lainnya yang bertujuan untuk membedakan antara satu dengan yang lain. Pemberlakuan prinsip Equality Before the Law ini sudah diterapkan oleh negara-negara Eropa dan negara maju lainnya. Barangkali prinsip Equality Before the Law tersebut menjadi acuan utama dalam pemberlakuan qanun hukum acara jinayat untuk non Muslim di Aceh.
Dengan seiring munculnya sikap pro dan kontra mengenai pemberlakuan hukum acara jinayat terhadap non Muslim (selama pelanggaran tersebut tidak terdapat didalam KUHP), dan muncul banyaknya argumentasi dari berbagai macam kalangan yang berangkat dari latar belakang yang berbeda, bahkan disana ada yang beranggapan Rancangan Qanun Hukum Acara Jinayah untuk non Muslim tersebut hanya bersifat antisifatif saja dan tidak benar-benar diperlukan, maka dari sini penulis dalam penelitian ini ingin menanggapi secara ilmiah mengenai hal tersebut baik dari sudut pandang normative Islam ataupun dari pandangan mereka para tokoh pemuka agama non Islam yang merupakan objek utama dalam penerapan qanun diatas.
Makalah ini selain menguraikan tentang penerapan hukum acara jinayah untuk non Muslim juga menyebutkan beberapa hal yang berkaitan dengan syariat Islam secara umumnya seperti mengenai adab-adab dalam berpakaian untuk non Muslim diwilayah Islam. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti dalam makalah yang sederhana ini ingin mengetahui tentang bagaimana penerapan qanun jinayat Islam untuk non Muslim di Aceh.
  1. Rumusan Masalah
Berdasarkan apa yang telah kita sebutkan dalam latar belakang diatas peneliti dalam makalah yang sederhana ini ingin mengetahui beberapa hal berkaitan dengan penerapan syari`at Islam di Aceh yang dapat kita rumuskan dalam beberapa pertanyaan berikut ini:
1.  Mengapa Dinas Syari`at Islam Aceh mengeluarkan qanun tentang Hukum Acara Jinayat untuk non Muslim tersebut?
2.   Bagaimana respon, sikap dan tanggapan masyarakat non Muslim serta pemuka agama mereka dalam menyikapi penerapan Qanun Acara Jinayat Islam untuk non Muslim di Aceh?
3.  Apakah masyarakat non Muslim (yang berada diwilayah Islam) diharuskan mengikuti hukum jinayat Islam dari sudut pandang normative syariat?
  1. Tujuan Penelitian
Dari rumusan permasalahan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1.      Untuk mengetahui latar belakang Dinas Syari`at Islam Aceh mengeluarkan Qanun Acara Hukum Jinayat untuk non Muslim di Aceh.
2.      Untuk mengetahui bagaimana respon dan tanggapan masyarakat non Muslim dan pemuka agama mereka terhadap Qanun Acara Hukum Jinayat untuk non Muslim di Aceh.
3.      Untuk mengetahui apakah hukum jinayat Islam juga diterapkan untuk non Muslim yang berada diwilayah Islam dalam sudut pandang normative syariat ataupun tidak.
  1. Kegunaan dan Manfaat Penelitian
Peneliti sangat berharap penelitian ini nantinya bisa memberikan kontribusi yang bemanfaat atau dampak positif bagi pihak-pihak yang berwenang dalam penerapan syariat Islam di aceh, khususnya dalam masalah yang belakangan ini sering menimbulkan kekontrofersian yaitu mengenai qanun hukum acara jinayat untuk non Muslim di Aceh. Adapun manfaat untuk peneliti secara pribadi, penelitian ini memperdalam keilmuan peneliti dalam memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan non Muslim yang berada di wilayah/daerah Islam, secara tidak langsung penelitian ini mendekatkan peneliti dengan khazanah keIslaman yang lebih khususnya mengenai buku-buku/kitab klasik dan baru yang berbicara tentang hukum jinayah.
  1. Defenisi Operasional
1.      Qanun Jinayat terdiri dari dua kata, yaitu qanun dan jinayah, kata qanun berasal dari bahasa arab yaitu ((قنّ qanna, yang bermakna membuat hukum dan kemudian qanun dapat diartikan sebgaai hukum, peraturan atau undang-undang. Sedangkan jinayah secara etimologis berarti perbuatan terlarang. Menurut Ahmad Wardi jinayah secara bahasa adalah:
اسم لما يجنه المرء من شر وما اكتسبه
“ nama bagi perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan”. Sedangkan jinayah menurut istilah fuqaha, sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah:
فالجناية اسم لفعل محرم شرعا, سواء وقع الفعل على نفس أو مال أو غير ذلك
“ jinayah adalah suatu istilah yang dilarang oleh syari`at, baik perbuatan yang mengenai  jiwa, harta dan lainnya”
Menurut Sayid Sabiq pengertian jinayah adalah: “yang dimaksud jinayah dalam istilah syara` adalah setiap perbuatan yang dilarang dalam syari`at kita melakukannya, karena adanya bahaya terhadap agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta benda”.[1] Menurut Amir Syarifuddin pengertian jinayah atau lengkapnya adalah fiqh jinayah merupakan satu bagian dari pembahasan fiqh. Kalau fiqh adalah ketentuan yang bersifat wahyu Allah dan amaliyah yang mengatur kehidupan manusia dalam hubunganya dengan Allah dan sesame manusia, maka fiqh jinayah secara khusus mengatur tentang pencegahan tindak kejahatan yang dilakukan manusia dalam hubungannya dengan Allah dan sesama manusia, maka fiqh jinayah secara khusus mengatur tentang pencegahan tindak kejahatan yang dilakukan oleh manusia dan sanksi hukuman yang dikenakan dengan kejahatan itu adalah mendatangkan kemashlahatan untuk manusia, baik itu mendatangkan manfaat dan keuntungan untuk mereka ataupun menghindari kerusakan dan kemudharatan dari manusia. Segala bentuk tindakan terhadap orang lain atau makhluk lain dilarang oleh agama dan tindakan tersebut dinamakan tindak kejahatan atau jinayah. Semua bentuk tindakan tersebut yang dilarang oleh Allah dan diancam pelakunya dengan hukuman tertentu itu secara khusus disebut jinayah. Menurut Sudarsono istilah fiqh jinayah adalah pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap hak Allah atau larangan Allah, hak-hak manusia dan hak binatang dimana orang yang melakukan wajib mendapat hukuman yang sesuai baik di dunia maupun di akhirat. Dalam rumusan lain disebutkan jinayah itu kehajatan dosa besar ataupun (kriminal/pidana) seperti membunuh, melukai orang, berzina dan menuduh orang baik berzina.
2.      Adapun mengenai pengertian non Muslim, menurut Khalid bin Muhammad Majid mereka adalah orang-orang yang tidak beriman dengan nabi Muhammad saw, ataupun orang-orang yang tidak mengimani ushul atau pokok-pokok ajaran Islam yang diketahui secara dharurah.
  1. Metode Penelitian
1.      Metode Penelitian:
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis, yakni suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang realitas pada obyek yang diteliti secara obyektif. Penelitian ini menekankan pada satu variable yaitu penerapan Qanun Hukum Acara Jinayah di Aceh untuk non Muslim. Peneliti akan melakukan kajian tentang masalah ini baik secara teoritis maupun yang terjadi dilapangan, disampin itu penulis juga menggunakan metode fenomonologis yang tidak terbatas pada empiric (sensual) tapi juga mencakup persepsi, pemikiran, kemauan, keyakinan “dan keyakinan subjek tentang sesuatu diluar subject: ada sesuatu yang transenden disamping yang opsteroti”. (Noeng Muhajir, Metodelogi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), hal.12.
2.      Lokasi Penelitian
Wilayah Banda Aceh yang merupakan ibukota provinsi Aceh, dan lebih khususnya lagi tempat-tempat ibadah masyarakat non Muslim yang ada di Banda Aceh.
a.       Populasi
Masyarakat non Muslim kota Banda Aceh yang terdiri dari:
-         Masyarakat non Muslim secara umum
-         Masyarakat non Muslim yang berpendidikan ataupun para pemuka agama mereka
-         Instansi-instansi pemerintahan, seperti Dinas Syariat Islam Aceh, MPU Aceh, dll.
b.      Sampel
Diwawancarai sejumlah orang yang terdiri dari para pemuka agama Islam dan non Islam, instansi pemerintahan seperti Dinas Syari`at Islam Aceh, MPU Aceh.
c.       Tehnik Pengumpulan Data
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabungan antara descriktif analisis dan fenomenalogi dan menggunakan tehnik pengumpulan data sebagai berikut:
1.   Wawancara yang mendalam (in depth interview), tehnik ini digunakan untuk mendapatkan informasi yang akurat dari nara sumber.
2.    Data kepustakaan, tehnik ini bertujuan untuk melengkapi data yang didapatkan dari wawancara mendalam, ditambah informasi-informasi dari media seperti internet dan Koran-koran yang ada relevansinya dengan objek penelitian yang dilakukan.
d.      Analisis Data:
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan data kualitatif sebagai dasar deskripsi, inti permasalahan yang ingin diketahui adalah apa latar belakang dikeluarkannya Qanun Hukum Acara Jinayat untuk non Muslim di Aceh. Dan bagaimana respond dan tanggapan masyarakat non Muslim di Aceh terhadap qanun tersebut. Oleh karena itu, analisis data yang dilakukan lebih terfokus pada analisis konstektual, dengan cara melihat hubungan satu data kedalam system dimana data itu berasal. Data yang telah diperoleh direduksi sedemikian rupa sesuai dengan kerangka konseptual dan pertanyaan penelitian. Kemudian data tersebut diklarifikasi, diverifikasi, dan diinterpretasikan.


BAB II
PEMBAHASAN
  1. Studi Keperpustakaan
Menurut hemat peneliti, telah banyak karya penelitian yang bertema tentang penerapan syariat Islam di Aceh, baik dalam bentuk skripsi ataupun tesis, diantaranya ada yang meneliti tentang syariat Islam di Aceh secara umumnya, sedangkan sebagian yang lain membuat penelitian dengan menganalisis qanun-qanun tertentu dari sekian banyak qanun syariat Islam yang telah diterapkan. Peneliti sendiri dalam penelitian ini banyak mengambil manfaat dari penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya, baik dari metode dalam menganalisis data, ataupun hal-hal lainnya yang berhubungan dengan metode penulisan. Dengan table berikut ini kita akan menguraikan sebagian dari penelitian tersebut:
No
Nama/Nim
Judul Skripsi/Tesis
Tanggal Sidang
1
Usep Sanjabil Ms.Sy
105045101502
Pidana Rajam menurut Hukum Islam dan HAM
23 Juni 2013
2
Dede Hendra MR
1006754882
Eksistensi Penerapan Pidana Cambuk terhadap Pelanggar Qanun Syariat Islam di Propinsi Aceh
18 Juni 2012
3
Willy Purnamasari
Efektifitas Regulasi Hukuman Cambuk terhadap Pelaku Tindak Pelaku Minum-Minuman Keras (Khamar) dan Perjudian (Maisir) di Kota Langsa Aceh
27 Mei 2013

Disamping penelitian-penelitian ilmiah yang kita sebutkan diatas, yang jauh dekatnya sedikit berhubungan dengan judul penelitian ini, disana ada Beberapa artikel yang pernah ditulis mengenai penerapan syari`at Islam untuk non Muslim di Aceh, seperti:
1.    Muhammad Siddiq, Syariat Islam bagi non Muslim.[2] Disini beliau lebih menekankan akan pentingnya penyamaan antara non Muslim dan lainnya dalam hal penegakan syari`at Islam baik itu jinayah ataupun lainnya, dalam artikel ini beliau mencantumkan beberapa bukti/dalil untuk menguatkan argumen tersebut.
2.   Nurdin Hasan, Hukum Syari`at berlaku untuk warga non Muslim di Aceh.[3] Dalam artikel ini penulis memunculkan argument yang mengatakan Qanun nomr 7 tahun 2013 mengenai Hukum Acara Jinayah untuk non Muslim di Aceh selama pelanggaran tersebut tidak termaktub dalam undang-undang KUHP hanya bersifat antisipatif dan tidak benar-benar diperlukan, dengan dalih segala macam pelanggaran telah disebutkan dalam undang-undang KUHP.
Beberapa penelitian yang kita sebutkan diatas sangat membantu peneliti dalam melakukan kajiannya tentang efektifitas regulasi qanun jinayah Islam untuk non Muslim di Aceh.
  1. Kerangka Teori
1.      Pengertian Syari`at Islam, tujuan serta keistemewaannya.
Syari`at bisa disebut syir`ah, artinya secara bahasa adalah sumber air yang mengalir yang didatangi oleh manusia ataupun binatang untuk minum. Perkataan “syara`a fi maa`I” artinya datang kesumber air mengalir. Kemudian kata itu digunakan untuk pengetian hukum-hukum Allah swt yang diturunkan untuk manusia, sedangkan arti syari`at menurut istilah adalah hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah swt melalui rasul-rasulNya yang mulia, untuk manusia, agar mereka keluar dari kegelapan kedalam terang, dan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus. Jadi,syariat Islam adalah hukum dan aturan yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. kata syara`a berarti memakai syari`at, dan juga kata ini digunakan dengan arti membentuk syari`at atau hukum seperti firman Allah swt :
Q,s almaidah:18 atau asy-syura:13.
Ada lima hal pokok yang merupakan tujuan utama dari syariat Islam: 1). Memelihara kemaslahatan agama, 2). Memelihara jiwa, 3). Memelihara akal, 4). Memelihara keturunan dan kehormatan, 5). Memelihara harta benda.
Adapun diantara keistimewaan syariat Islam kita bisa ringkaskan dalam beberapa poin berikut ini: 1). Dalam Islam kekuasaan mutlak itu hanya milik Allah swt semata, 2). Syariat Islam bersifat komperhensif, yaitu mengatur semua aspek kehidupan, 3). Syariat Islam sempurna dan sesuai dengan fitrah manusia, 4). Syariat Islam fleksibel atau luwes.
2.      Sejarah penerapan syari`at Islam di Aceh
Aceh dikenal dengan seramboe mekkah (serambi mekkah). Nafas Islam begitu menyatu dalam adat budaya orang Aceh sehingga aktifitas budaya kerap berazaskan Islam. Islam di Aceh punya sejarah panjang yang bisa kita ringkaskan dalam poin-poin berikut ini:
  1. masa kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh mencapai gemilang masa pemerintahan iskandar muda (1607-1636). Salah satu usaha beliau adalah meneruskan perjuangan sultan sebelumnya untuk melawan kekuasaan Portugis yang sangat membenci Islam. Dia juga mendorong penyebaran agama islam keluar kerajaan Aceh, seperti malaka dan pantai barat pulau Sumatera. (Zakaria Ahmad, 1973:20-22). Peradilan islam dibentuk untuk mengatur tatanan hukum yang di atur oleh ulama. Pengadilan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk mengatur jalan roda hukum tanpa meminta persetujuan pihak atasan, peranan Qadhi malikul Adil (hakim agung kesultanan) di pusat kerajaan Aceh memiliki kewenangan seperti Mahkamah Agung sekarang ini. Setiap kawasan ada Qadhi ulee balang yang memutuskan perkara di daerah tersebut. Jika ingin mengajukan banding diteruskan pada Qadli Maliku Adil. Kedua Qadhi ini diangkat dari kalangan ulama yang cakap dan berwibawa. ( http// www. Mahkamah syariahaceh.go.id). Sultan Aceh merupakan pelindung ajaran Islam sehingga banyak ulama datang ke Aceh. Pada masa itu hidup ulama seperti Hamzah fansuri, Syamsuddin As-samathrani, syekh Ibrahim as-syami dll. Di bawah perintah sultan juga ditulis buku mit’at-uttullah karangan syekh Abdurra’uf disusun pada masa pemerintahan sultanah safiattuddin syah ( 1641-1675 ), dan buku safinat-ulhukkamyi takhlish khashham karangan syekh Jalaluddin at-Tarussani disusun masa pemerintahan sultan Alaiddin Johansyah (1732-1760). Buku ini ditulis sebagai pegangan hakim dalam menyelesaikan perkara yang berlaku di seluruh wilayah di seluruh kerajaan Aceh sendiri dan di seluruh rantau takluknya. Kedua buku ini bersumber pada buku-buku fiqih bermazhab syafi’i. Hukum berlaku untuk setiap lapisan masyarakat termasuk kaum bangsawan dan kerabat raja. Dari cerita mulut ke mulut iskandar muda menjatuhkan hukuman rajam kepada anak kandungnya sendiri karena terbukti berzina dengan salah seorang isteri bangsawan di lingkungan istana. Raja ling eke XIV masa sultan ala’uddin ri’ayatsyah-al qahhar (1537-1571) di jatuhi hukuman oleh qadli malikul adil untuk membayar 100 ekor kerbau kepada keluarga adik tirinya yang dia bunuh dengan sengaja ( al yasa’ abu bakar, 2006:389-390), dari sekian banyak kisah yang kita dapatkan membuktikan yang bahwa pemerintah kerajaan Aceh dimasa dulu telah menerapkan Syariat Islam.
  1. Masa awal kemerdekaan Indonesia dan orde baru.
Ketika kemerdekaan Indonesia di deklarasikan Soekarno pada 17 agustus 1945, Aceh belum menjadi bagian dari NKRI. Kesediaan bergabung dalam wilayah RI karena adanya janji Soekarno yang ingin memberikan kebebasan untuk mengurus diri sendiri termasuk pelaksanaan syariat Islam. Janji itu terucap pada tahun 1948, bung karno datang ke Aceh mencari dukungan moril dan materil bagi perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda. Kebebasan melaksakan syariat merupakan imbalan jika bangsa Aceh bersedia memberikan bantuan. Gayung pun bersambut. Di bawah komando Daud Beureueh berhasil terkumpul dana sebanyak 500.000 dolar AS. Untuk membiayai ABRI 250.000 dolar, 50.000 dolar untuk perkantoran pemerintahan, 100.000 dolar untuk biaya pengembalian pemerintahan RI dari Yogya ke Jakarta. Bangsa Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membeli oblogasi pemerintahan dan dua pesawat terbang, selawah agam dan selawah dara. Janji yang di lontarkan sang presiden RI tidak diwujudkan malah provinsi Aceh di satukan dengan provinsi sumatera utara tahun 1951. Hak mengurus wilayah sendiri dicabut. Rumah rakyat, dayah, menasah yang hancur porak-poranda akibat peperangan melawam Belanda dibiarkan begitu saja. Dari sinilah Daud Beureueh menggulirkan ide pembentukan Negara islam Indonesia ( DII ), april 1953 dia bergerilya ke hutan. Namun pada tahun 1962 bersedia menyerah karena di janjikan akan di buatkan UU syariat Islam bagi rakyat Aceh (majalah Era Muslim “untold history”. ]  30 September 2009 jam 22:35) Setelah itu di berikan otonomi khusus untuk menjalankan proses keagamaan, peradatan dan pendidikan namun pelaksanaan syariat Islam masih sebatas yang di izinkan pemerintah pusat. Hal itu tertuang dalam keputusan penguasa perang (panglima militer 1 Aceh/ iskandar muda, colonel M.Jasin) no KPTS/PEPERDA-061/3/1962 tentang kebijaksanaan unsur-unsur syariat agama Islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh yang berbunyi : pertama: terlaksananya secara tertib dan seksama unsur-unsur syariat agama islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh, dengan mengindahkan peraturan perundangan Negara. Kedua: penertiban pelaksanaan arti dan maksud ayat pertama di serahkan sepenuhnya kepada pemerintah Daerah Istimewa Aceh. (al yasa Abu Bakar, 2006:33).
Pada tahun 1966 orde baru yang berkuasa, di sahkan peraturan daerah nomor 1 tahun 1966 tentang pedoman dasar Majelis Permusyawaratan Ulama. Fungsi majelis ini adalah sebagai lembaga pemersatu umat, sebagai penasehat pemerintah daerah dalam bidang keagamaan dan sebagai lembaga fatwa yang akan memberikan pedoman kepada umat Islam dalam hidup keseharian dan keagamaanya. Langkah untuk mewujudkan syariat Islam melalui PERDA yang mengatur rambu-rambu pelaksanaan syariat Islam di Aceh ditempuh dengan membuat panitia khusus yang terdiri dari cendekiawan dan ulama di luar DPRD. Rancangan ini disahkan DPRD menjadi peraturan daerah nomor 6 tahun 1968 tentang pelaksanaan unsur syariat Islam Daerah Istimewa Aceh. Ketika peraturan daerah ini diajukan kedepartemen dalam negeri untuk mengesahkan namun di tolak dan secara halus (tidak resmi) meminta DPRD dan PEMDA Aceh mencabut PERDA tersebut. Tahun 1974 pemerintah mengesahkan undang-undang tentang pokok pemerintahan didaerah yang antara lain menyatakan bahwa sebutan Daerah Istimewa Aceh hanyalah sekedar nama, peraturan sama dengan daerah lain. Syariat Islam yang berlaku di tingkat gampong diganti dengan undang-undang no:5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa ( alyasa abu bakar, 2006:31-39). Tidak ada penerapan syariat Islam sama sekali baik pada masa orde lama maupun orde baru. Syariat Islam Cuma senjata politik untuk memuluskan rencana penguasa. Periode orde lama, Soekarno menggunakan janji keleluasaan penerapan syriat Islam untuk mencari dukungan dari pemimpin Aceh, Abu Beureueh dan berhasil. Saat janji yang tak pernah di tepati itu ditagih melalui perlawanan bersenjata, kembali jurus syariat Islam yang di pergunakan dan sekali lagi berhasil. Beberapa PERDA yang mengatur tata pelaksanaan syariat namun sebatas yang di bolehkan penguasa. Masa orde baru pun tak jauh beda. Syariat Islam cuma sekedar usaha penguatan kedudukan di mata masyarakat yang sudah hilang kesabaran menanti janji pemerintah. Setelah kepercayaan masyarakat tumbuh malah syariat Islam yang di laksnakan turun-temurun tingkat desa malah di hapuskan dan di ganti dengan peraturan yang berlaku di seluruh Indonesia.
  1. Syariat islam era otonomi khusus (sekarang).
Penerapan syariat islam era otonomi khusus untuk Aceh akrab dengan kata-kata “penerapan syariat islam secara kaffah di Aceh”. Bisa di artikan usaha untuk memberlakukan Islam sebagai dasar hukum dalam tiap tindak-tanduk umat Muslim secara sempurna. Istilah kaffah digunakan karena negara akan melibatkan diri dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Membuat hukum positif yang sejalan dengan syariat, merumuskan kurikulum yang islami, dan masalah-maslah lain yang berkaitan dengan syariat. Dasar hukum pelaksanaan syariat islam di Aceh adalah diundangkan UU no 44 tahun 1999 dan UU no 18 tahun 2001. Dalam undang-undang nomor 44 syariat Islam didefinisikan sebagai semua aspek ajaran Islam. Dalam undang-undang nomor 18 disebutkan bahwa mahkamah syar’iyah akan melaksanakan syariat islam yang di tuangkan ke dalam qanun terlebih dahulu. Qanun adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh ( al yasa abu bakar, 2004:61). Selama penerapan syariat Islam disana ada beberapa qanun yang telah disahkan, seperti:
1)             Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang aqidah. Ibadah dan syariat islam.
2)         Qanun nomor 12 tahun 2003 tentang larangan khamar (minuman keras), pelaku yang mengkonsumsi khamar akan dijatuhi hukuman cambuk 40 kali. Hakim tidak di beri izin untuk memilih (besar kecil atau tinggi rendah) hukuman. Bagi yang memproduksi khamar dijatuhi hukuman ta’zir berupa kurungan paling lama satu tahun, paling sedikit 3 bulan dan denda paling banyak Rp. 75.000.000 (tujuh puluh lima juta) dan paling sedikit Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah).
3)            Qanun nomor 13 tahun 2003 tentang larangan maysir (perjudian).
4)            Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang larangan khalwat (perbuatan mesum).
5)             Qanun nomor 7 tahun 2004 tentang pengelolaan zakat (al yasa abu bakar, 2006)
3.      Rancangan Qanun Hukum Acara Jinayat untuk non Muslim di Aceh
BAB III
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA QANUN
Pasal 5
Qanun Aceh ini berlaku untuk lembaga penegak hukum dan setiap orang yang berada di Aceh.

BAB XI
KONEKSITAS
Pasal 94
(1)    

(2) Jika...

 
Jarimah yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama yang diantaranya beragama bukan Islam, pelaku yang beragama bukan Islam dapat memilih dan menundukkan diri pada Qanun ini, diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota.
(2)     Jika perbuatan yang dilakukan oleh pelaku Jarimah yang tunduk kepada peradilan umum tidak menundukkan diri pada Qanun ini, maka dia diperiksa dan diadili di Peradilan Umum.
(3)     Jika perbuatan Jarimah yang dilakukan oleh pelaku yang tunduk pada peradilan umum bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Ketentuan Pidana di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana, maka pelaku Jarimah tetap di adili di Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota.

Dalam rancangan qanun jinayat yang sedang dibahas oleh DPRA dan pemerintah Aceh, ada penambahan beberapa persoalan lain seperti zina, pemerkosaan, pelecehan seksual, homoseksual dan lesbian. Ancaman hukuman bagi pelaku pelanggaran syariat islam dalam qanun itu lebih keras, yakni puluhan hingga ratusan kali cambuk atau puluhan sampai ratusan bulan hukuman penjara.
Seiring dengan munculnya kekontroversian terhadap Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang penerapan Hukum Acara Jinayat (HAJ), yaitu sanksi hukum bagi para pelaku pelanggaran syariat Islam di Aceh, diberlakukan bagi setiap orang yang berada di provinsi ini. Aturan hukum ini dilaksanakan terhadap semua orang yang berada di Aceh, tanpa memandang agama, daerah, maupun kewarganegaraan. Dari sisi lain menyamakan penerapan syari`at Islam (Hukum Acara Jinayat) di propinsi Aceh untuk non Muslim dengan penerapan yang pernah dilakukan pada masa kekhalifahan Islam terdahulu merupakan sesuatu yang sangat rancu, dikarenakan Aceh merupakan propinsi yang bernaung di bawah kesatuan republic Indonesia yang memiliki Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang memiliki kekuatan hukum yang lebih besar dibandingkan peraturan lainnya.
            Oleh karena itu, untuk menjawab kekontroversian diatas hanya sedikit teori-teori yang bisa dipakai dalam penelitian ini. Buku-buku yang digunakan juga tidak banyak mengemukakan teori-teori tentang penerapan qanun dan hukum jinayat untuk non Muslim diwilayah Islam. Adapun teori-teori yang dipakai dalam menunjang penelitian ini adalah dasar-dasar yang membedakan kedudukan penerapan hukum Islam pada masa kekhalifahan Islam dan penerapannya di propinsi Aceh, disini penulis sedikit menyinggung tentang karakteristik daulah/negara Islam. Teori yang kedua adalah dalil-dalil syar`I yang membuktikan adanya penerapan hukum jinayat atau al-Hudud untuk non Muslim yang berada di wilayah Islam. Teori yang ketiga adalah bagaimana tanggapan para pemuka agama atau masyarakat selain Islam dalam menyikapi qanun hukum jinayah ini, apakah mereka merespon positif ataupun tidak.
            Dari teori-teori diatas, dapat dirangkai satu kerangka teori yang akan menjadi rangkain penelitian ini, penelitian ini akan diawali dengan mencari data-data mengenai penerapan syariat Islam unutk non Muslim diwilayah Islam secara umumnya ataupun data mengenai penerapan hukum jinayah untuk non Muslim di wilayah Islam, dalam langkah selanjutnya peneliti membuat perbandingan mengenai penerapan syariat pada masa kekhalifahan terdahulu dan penerapan disebagian wilayah Islam sekarang seperti Aceh. Dalam langkah terakhir penelitian peneliti disini akan menyimpulkan apakah raqan Hukum Acara Jinayah ini bermanfaat untuk non Muslim ataupun hanya bersifat antisipatif saja, kesimpulan ini tentunya  didimpulkan setelah peneliti membuat perbandingan hukum acar jinayah dengan KUHP.
BAB III
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA QANUN
Pasal 5
Qanun Aceh ini berlaku untuk lembaga penegak hukum dan setiap orang yang berada di Aceh.

C.    Hasil Penelitian
Seiring dengan munculnya kekontroversian terhadap Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang penerapan Hukum Acara Jinayat (HAJ), yaitu sanksi hukum bagi para pelaku pelanggaran syariat Islam di Aceh, diberlakukan bagi setiap orang yang berada di provinsi ini. Aturan hukum ini dilaksanakan terhadap semua orang yang berada di Aceh, tanpa memandang agama, daerah, maupun kewarganegaraan. Seprti halnya qanun-qanun sebelumnya qanun inipun tidak luput dari pro dan kontra dari masyarakat yang menyikapinya ataupun golongan-golongan tertentu dari  mereka. Penelitian sederhana ini mengungkapkan beberapa hal yang bisa kita ringkaskan sebagai berikut:
1.      Alasan ataupun latar belakang dikeluarkannya Qanun Hukum Acara Jinayat untuk non Muslim di Aceh.
Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan segenap para pelaku hukum di propinsi Aceh peneliti mendapatkan alasan utama penggagasan Qanun Hukum Acara Jinayat tersebut adalah upaya untuk menciptakan keadilan hukum di Aceh, yang sesuai dengan landasan Equality Before the Law atau asas persamaan dihadapan hukum. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Abdullah Saleh, Ketua Badan Legislatif Aceh, ketika beliau diwawancarai oleh wartawan BBC Siaran Indonesia, Liston Siregar.
“mengatakan penerapan Syariah Islam kepada warga non-Muslim dimaksudkan sebagai perlakukan yang sama bagi semua penduduk yang tinggal di provinsi tersebut. Tercipta ketidakadilan hukum di dalam masyarakat kalau orang yang Muslim dihukum jika melakukan pelanggaran hukum sementara yang non-Muslim lepas, kan tidak ada keadilan hukum dalam situasi seperti itu”.
Bahkan Prof Alyasa` Abu Bakar, Kepala Dinas Syariat Islam Propinsi Aceh, dalam acara diskusi dan dialog dengan organisasi Islam dan santri Aceh memandang penerapan syariat Islam untuk non Muslim di Aceh sebagai bentuk penyempurnaan terhadap qanun-qanun syariat Islam sebelumnya. Bahkan beliau memberikan kemungkinan yang bahwa qanun-qanun tersebut akan diterapkan juga untuk selain warga sipil seperti halnya anggota militer dan kepolisian.
“Jadi, kita akan sempurnakan lagi qanun-qanun yang telah ditetapkan tersebut, sehingga lebih sempurna lagi, termasuk pelanggaran Syariat Islam juga diberlakukan oleh non muslim di Aceh, qanun-qanun Syariat Islam, yakni tentang judi (maisir), minuman keras (khamar), dan mesum (khalwat), masih perlu direvisi, karena dinilai masih ada kelemahan dan kekurangan, sehingga menimbulkan ketidakadilan”.
Beliau menambahkan:
“Mungkin juga bisa dimasukkan lagi, pelaksanaan qanun tersebut tidak hanya warga sipil, tapi juga anggota militer dan kepolisian, yang selama ini tidak terjerat hukum Islam, apabila melakukan pelanggaran qanun Syariat Islam”.
Walaupun demikian sebagian dari mereka menilai QHAJ itu hanya sebagai bentuk antisipasi saja, barangkali inilah yang disebutkan oleh Edrian yang menjabat sebagai kepala urusan hukum pemerintahan Aceh.
“Pasal yang berkaitan dengan warga non Muslim adalah untuk mencegah pelaku menghindari konsekuensi hukum ”jika tindak pidana tidak diatur berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)”.
Beliau menambahkan:
“Tetapi menurut saya, tidak ada pelanggaran tindak pidana yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan peraturan lain di Indonesia. Jadi, pasal yang mengatur warga non Muslim hanya untuk antisipasi saja”.
Pendapat senada diungkapkan Abdullah Saleh, mantan Ketua Panitia Khusus Qanun Hukum Acara Jinayat DPRA. Menurut dia, pasal yang dapat menjerat non-muslim untuk memberi rasa keadilan hukum kepada pelaku pelanggaran syariat Islam di Aceh.
“Kalau terjadi tindak pidana yang di dalamnya terdapat non-muslim, tapi tak diatur dalam KUHP atau aturan lain di Indonesia, pelaku pelanggaran hukum beragama Islam diproses hukum, sementara non-muslim harus bebas karena tidak ada dasar hukum menjeratnya. Dimana rasa keadilan hukum, Sangat tersinggung rasa keadilan jika yang satu diadili, satu lagi bebas”.

Beliau memberikan contoh pelanggaran yang tak diatur dalam KUHP atau aturan hukum lain di Indonesia, tetapi terdapat dalam qanun tentang syariat Islam di Aceh, yaitu khalwat dan khamar.
“Berdua-duaan laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka yang dilakukan orang dewasa tanpa ikatan perkawinan tidak bisa ditindak karena mesum tak ada deliknya dalam KUHP”.
Politisi senior Partai Aceh ini menolak pernyataan yang menyatakan bahwa pasal yang tercantum pada Bab Koneksitas Qanun Hukum Acara Jinayat seakan-akan ada pemaksaan ajaran Islam kepada non-muslim di Aceh.
“Sebenarnya, tak ada itu. Ini semata-mata untuk memberi rasa keadilan hukum dan bukan hendak menerapkan ajaran Islam untuk non-muslim”.
Disini penulis ingin memberitahukan yang bahwa Qanun Hukum Acara Jinayat tersebut telah dikirim ke Departemen Dalam Negeri di Jakarta pada tanggal 3 Februari untuk persetujuan akhir, dan jika Menteri Dalam Negeri tidak merespon dalam 60 hari, undang-undang baru ini secara otomatis akan berlaku.

2.      Respon, sikap dan tanggapan masyarakat non Muslim serta pemuka agama mereka dalam menyikapi penerapan Qanun Acara Jinayat Islam untuk non Muslim di Aceh.
Seiring dengan munculnya pro dan kontra terhadap penerapan Qanun Hukum Acara Jinayat diatas, yang secara umumnya masyarakat terbagi dalam dua kelompok yang pro terhadap qanun diatas dan yang kontra dengan qanun tersebut, barangkali ini hasil yang bisa didapatkan oleh peneliti mengenai hal ini:
Tidak sedikit kelompok masyarakat yang bersikap pro terhadap qanun diatas, baik mereka yang berasal dari golongan cendikia ataupun masyarakat umum Muslim atau non Muslim. Salah satunya Muhammad Siddiq, salah seorang dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN ar-Raniry Banda Aceh yang memberikan pandangan sebagaimana berikut ini:
“ ketika Syariat Islam sudah diformalkan maka secara otomatis ia menjadi hukum positif pada suatu wilayah. Ketika itu berlaku, Syariat Islam tidak bisa dikatakan sebagai hukum hanya bagi penduduk muslim, akan tetapi, Syariat Islam bagi non-muslim juga, ketika suatu hukum diterapkan di suatu teritorial tertentu, maka hukum itu akan mengikat siapa saja yang melanggar hukum di wilayah itu. Hal ini dalam istilah hukum lebih dikenal dengan istilah law abiding citizen (hukum mengikat para warga). Dalam konteks ini, hukum tidak dipandang sebagai hukum untuk sebagian golongan, tetapi hukum untuk siapa saja yang telah masuk ke dalam wilayah tersebut, atau dalam hukum lebih dikenal dengan asas territorial”.
Kemudian beliau juga menambahkan:
Diskriminasi dan penggolongan pemberlakuan HAJ (Hukum Acara Jinayat), secara tidak langsung, telah merendahkan marwah dan martabat HAJ itu sendiri. HAJ sebagai hukum Islam, harus belajar untuk berdiri sendiri dengan corak, kekhasan, dan otonominya sendiri. HAJ pada dasarnya harus bisa mengisi kekosongan nilai-nilai hukum dan moral yang ditinggalkan KUHP selama ini. Bukan malah menempatkan diri diposisi terendah dibawah KUHP warisan kolonial. Beliau mengatakan pemberlakuan qanun Hukum Acara Jinayat Islam di Aceh untuk non Muslim sesuai dengan prinsip persamaan di hadapan hukum (Equality Before the Law) yang termaktub dalam Deklarasi HAM PBB”.
Ada juga tokoh agama Nasrani yang memandang masuknya pasal controversial tersebut dalam qanun jinayat tidak memberikan pengaruh yang berarti, karena asasnya kita dituntut untuk mentaati hukum yang berlaku, seperti yang dikatakan oleh Sondang Marbun, Pembimbing Masyarakat Kristen pada Kantor Departemen Agama Aceh, beliau mengatakan:
“itu sebenarnya enggak berpengaruh mas kalau kita taat hukum, coba kalau semua umat beragama taat hukum dan tidak melanggar aturan, kan tidak perlu diproses hukum”.
Bahkan sebagai bentuk penghormatan beliau terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh, perempuan yang telah 35 tahun menetap di Aceh ini memilih tampil mengenakan jilbab saat berada di luar rumah. Anak-anak perempuannya dan perempuan Kristen dianjurkan memakai jilbab, tapi tidak ada paksaan dan mereka bebas berpakaian asalkan sopan. Beliau berkata:
“Saya selalu pesan pada umat Kristen untuk menyesuaikan diri karena Aceh memberlakukan syariat Islam. Saya dan anak-anak selalu memakai jilbab bila keluar rumah. Begitu juga sebagian perempuan Kristen lain. Mereka nyaman saja meski tak ada kewajiban harus pakai jilbab”.
Disamping sekian banyak kelompok yang setuju dengan penerapan qanun diatas, banyak juga yang kontra dan mempertanyakan qanun yang dianggap controversial tersebut, sebut saja Kho Khie Siong, Ketua Komunitas Hakka Aceh, menyebutkan bahwa toleransi antarumat beragama terjalin sangat baik di Aceh. Interaksi sosial juga cukup baik terbina antara orang Islam dan non-muslim. Beliau mengatakan:
“Kami sangat menghormati pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Saat ditanya tanggapannya soal pasal dalam Qanun Acara Jinayat yang dapat menjerat non-muslim, Kho menyatakan tak bisa berkomentar banyak, karena belum mempelajari secara detil ketentuan tersebut. Namun beliau berujar:
“Tetapi, ini terkesan agak aneh karena yang saya tahu syariat Islam di Aceh hanya berlaku untuk Muslim saja. Jadi kenapa harus diberlakukan juga untuk non-Muslim”.
Pernyataan senada juga diutarakan Baron Ferryson Pandiangan, Pembimbing Masyarakat Katolik di Kementerian Agama Provinsi Aceh, yang telah tiga tahun lebih menetap di Aceh. Menurut beliau, umat Katolik yang berjumlah 5.300 lebih di Aceh sangat menghormati pelaksanaan syariat Islam karena ini bentuk kearifan lokal dan kekhususan Aceh. Dia menuturkan:
“Toleransi orang Aceh terhadap warga non-muslim sangat tinggi. Saya pribadi merasa lebih menjadi Katolik sejati sejak bertugas di Aceh. Saya merasa lebih taat”.
Soal menjerat warga non-muslim bila melakukan pelanggaran bersama orang Islam, Baron menyatakan:
Pemerintah Aceh belum pernah mensosialisasikan masalah tersebut kepada umat Katolik. Patut dipertanyakan juga apa motif di balik masuknya pasal  itu karena syariat Islam hanya untuk muslim”.
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Aki, salah seorang warga Budhis lokal yang dihormati dalam wawancara beliau dengan Khabar, beliau menilai peraturan baru itu terkesan sangat aneh. Beliau mengatakan:
“Yang saya tahu Syariah Islam di Aceh hanya berlaku untuk warga Muslim saja. Jadi kenapa harus diberlakukan juga untuk warga non Muslim? Warga non Muslim menghormati penerapan Syariah Islam di Aceh. Hubungan dan toleransi antarumat beragama di Aceh terjalin dengan baik. Interaksi sosial juga cukup baik antara orang Islam dan warga non Muslim.”
Aki mengatakan ia dan umat Budha lainnya di Aceh cemas menunggu tanggapan pemerintah pusat terhadap peraturan tersebut.
“Kalau nanti Menteri Dalam Negeri tidak membatalkan pasal kontroversial itu, saya akan konsultasi dengan teman-teman aktivis masyarakat sipil di Aceh untuk dapat mengadvokasi agar melakukan peninjauan yudisial pasal itu ke Mahkamah Agung.
Dari sekian alasan yang dikemukakan oleh mereka yang kontra dengan diimplementasikan qanun tersebut, diantaranya kekhawatiran mereka terhadap polisi syariat yang bakal bertindak diluar kewenangan seperti yang diatur dalam Qanun Hukum Acara Jinayat, barangkali inilah yang disebutkan oleh Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad, beliau menyatakan:
“Ini bentuk diskriminasi terhadap warga non-muslim oleh DPRA karena tetap memaksakan pasal itu masuk dalam qanun,” katanya. “Siapa bisa jamin kalau WH tak akan bertindak di luar batas kewenangan mereka, seperti yang sering terjadi selama ini ketika pasal itu dilaksanakan.”
Ada juga pendapat diantara mereka yang kontra dengan qanun tersebut yang mengatakan pasal controversial tersebut tidak dapat diimplementasikan dengan alasan tidak adanya hukum materil terhadap pasal tersebut, seperti halnya apa yang disampaikan oleh Saifuddin Bantasyam, pengamat hukum dari Universitas Syiah Kuala, beliau mengatakan empat qanun yang jadi dasar hukum materil pelaksanaan syariat Islam di Aceh berlaku bagi muslim.
“Ketika hukum acara menambah klausul yang juga berlaku bagi non-muslim, dasar hukum penuntutan apa? Jadi, Qanun Hukum Acara Jinayat tak dapat dilaksanakan untuk non-muslim.”
Saifuddin menambahkan satu aturan hukum tidak boleh dibuat kalau tak bisa dilaksanakan. Non-muslim di Aceh bisa dijerat dengan aturan hukum pidana Indonesia kalau melanggar syariat bersama muslim. “Bisa saja non-Muslim dijerat pasal mengganggu ketertiban umum. Bukan memasukkan pasal diadili di Mahkamah Syar’iyah karena tak dapat dilaksanakan,” ujarnya.
Saifuddin yang merupakan seorang dosen Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala, menyatakan pernah terjadi tahun 2006, tiga orang Kristen dan seorang Islam terlibat perjudian hendak diadili di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.
“Di persidangan, hakim bertanya pada tiga orang Kristen itu apakah mereka tahu fungsi Mahkamah Syar’iyah. Mereka menjawab tidak tahu. Lalu, hakim menjelaskan bahwa Mahkamah Syar’iyah hanya mengadili orang Islam,” tutur Saifuddin. Kemudian hakim bertanya kepada mereka apakah mau masuk Islam sehingga bisa diproses di Mahkamah Syar’iyah. Hakim juga menjelaskan syarat-syarat bagi seseorang pindah agama. Tetapi, ketiganya sepakat tidak mau pindah ke agama Islam. “Akhirnya, hakim memutuskan Mahkamah Syar’iyah tak punya kompetensi dan tak berwenang mengadili perkara itu,” katanya.
Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, Jamil Ibrahim, sependapat dengan Saifuddin. Menurut Jamil, non-muslim yang melakukan pelanggaran bersama Muslim tak dapat diproses dengan qanun syariat Islam karena empat hukum materil yang ada hanya berlaku untuk orang Islam. Beliau menambahkan:
“Tetapi, non-muslim di Aceh boleh menundukkan diri diproses di Mahkamah Syar’iyah jika melakukan pelanggaran bersama muslim. Caranya dia memilih apakah diadili di Mahkamah Syar’iyah atau Pengadilan Negeri atas kesadaran sendiri, tanpa paksaan dari pihak manapun.”
Beliau menambahkan, masuknya pasal kontroversial yang tetap mengadili warga non-Muslim kalau tak ada aturan hukum pidana Indonesia akan membingungkan hakim Mahkamah Syar’iyah karena tidak dapat dilaksanakan. “Mungkin nanti akan dibuatkan qanun khusus yang mengatur masalah itu,” ujarnya.
Ada juga pendapat dari sebagian tokoh masyarakat Muslim yang menilai qanun jinayat untuk non Muslim tersebut tidak benar-benar diperlukan, seperti yang dikemukakan oleh Ketua Nahdlatul Ulama (NU) di Aceh, Tengku Faisal Ali dalam wawancara belia dengan Khabar, bahkan beliau menilai memperkenalkan pasal tersebut merupakan upaya untuk menghambat implementasi hukum Syariat di Aceh secara penuh. Beliau berkata:
pasal tentang non Muslim itu tidak benar-benar diperlukan dan telah diperkenalkan dalam upaya untuk mencegah implementasi hukum Syariah di Aceh secara penuh. Selama ini berbagai cara dilakukan oleh sebagian pihak agar Syariah Islam tidak jalan di Aceh, Salah satunya dengan memasukkan pasal yang mengatur warga non Muslim karena hal itu sebenarnya tidak perlu. Jadi itu upaya penghambatan dan kesengajaan sehingga syariah Islam tidak bisa dijalankan. DPRD dan pemerintah Aceh tidak serius mendukung Syariah Islam dan berlama-lama dalam meratifikasi Qanun Jinayat terbaru yang dijanjikan DPRA untuk diterapkan pada tahun 2013”.
Disamping pandangan masyarakat yang kita sebutkan diatas, masih banyak juga masyarakat umum non Muslim yang tidak sama sekali mengetahui tentang qanun jinayat untuk non Muslim tersebut. Seperti halnya Eric warga kristiani yang bermukim diseputaran Peunayong Banda Aceh, ketika diwawancara oleh peneliti dia menjawab dengan polosnya.
“gak tau dek, baru kali ini saya dengar yang gituan. Kok hukum Islam untuk kita yang bukan Islam?
Dan disana masih banyak juga warga non Muslim lainnya yang dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti menunjukkan kalau mereka sama sekali tidak memiliki pengetahuan mengenai penerapan qanun tersebut.
  1. Hukum jinayat yang diberlakukan untuk masyarakat non Muslim yang berada dibawah kekuasaan Islam dalam pandangan normative syariat.
Untuk lebih ringkasnya peneliti disini akan menyebutkan beberapa referensi ilmiah Islam (yang ditulis oleh para pakar Islam terkemuka) yang sedikit banyaknya menguraikan tentang masalah penerapan hukum Islam untuk masyarakat non Muslim, diantaranya:
  1. Dr.yusuf al-qardhawy, ghairu al-Muslimin fii al-Mujtama` al-Islami (non muslim dalam masyarakat Islam), penerbit: yayasan al-Risalah, Saudi Arabia. Dalam halaman ke 132 buku ini beliau menyebutkan: diantara kewajiban seorang non Muslim dalam masyarakat Islam adalah berkewajiban mengikuti undang-undang islam yang berlaku, undang-undang yang tidak sama sekali menyinggung kebebasan beraqidah dan beragama mereka. Dan begitu juga tidak diwajibkan bagi mereka mengikuti aturan-aturan Islam yang berhubungan dengan privasi pribadi dan social mereka yang dihalalkan dalam agama mereka. sedangkan mengenai hukum-hukum yang berhubungan dengan jinayat maka diwajibkan bagi mereka untuk mengikuti aturan/undang-undang islam dalam hal ini seperti: zina, mencuri dan lain-lainnya.
  2. Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin, samahatu al-Islam fii ta`amuli ma`a ghairi al-Muslimin (keterbukaan agama Islam dalam berinteraksi dengan non muslim), penerbit: kementrian waqaf Saudi Arabia.
Dalam halaman ke 45 buku ini beliau menyebutkan: bahwasanya hukum al-Hudud dalam syariat tidak dilaksanakan kecuali dalam bentuk yang sangat sempit dan terbatas, banyak yang menyangka pelaksanaan hudud dalam Islam sama banyaknya seperti pelaksanaan shalat, yang benar hukum-hukum syar`i itu ratusan banyaknya sedangkan jumlah hudud dalam syari`at hanya dalam tujuh permasalahan saja: perampokan, riddah (keluar dari agama), al-Bagyu (keluar dari pemerintahan yg sah), zina, al-Qadhaf (menuduh orang muslim baik dengan perbuatan zina), pencurian dan minum khamar (minuman keras), dan hal itu tidak juga dilaksanakan sehingga terpenuhi seluruh syarat-syaratnya seraya dilakukan secara bertahab sesuai dengan langkah-langkah hukumnya.
  1. Khalid bin Muhammad Majid, ahkam al-Ta`amul ma`a ghairu al-Muslimin (hukum-hukum dalam bermuamalah dengan non muslim).
Dalam halaman ke 77 buku ini beliau menyebutkan: kalau seorang non Muslim dalam negeri Islam melakukan kemaksiatan yang diwajibkan karenanya penerapan al-Hudud (kalau Muslim melakukannya), maka perlu kita perhatikan jenis kemaksiatan tersebut, kalau maksiat tersebut termasuk yang diperbolehkan oleh syariat untuk mereka melakukannya dalam keadaan bersembunyi seperti minum khamar maka tidak diberlakukan untuk mereka hukum al-Hudud syar`I, tapi kalau kemaksiatan itu termasuk yang tidak diperbolehkan oleh syariat untuk mereka melakukannya seperti zina, maka diwajibkan untuk pemerintah Islam menghukumi mereka dengan al-Hudud syar`i yaitu rajam untuk yang telah menikah ataupun cambuk seratus kali untuk yang lainnya.
Barangkali referensi yang dicantumkan peneliti diatas sedikit banyaknya telah menjawab tentang pandangan normative syariat dalam hal penerapan hukum jinayat Islam untuk masyarakat non Muslim yang berada dibawah kekuasaan Islam.

BAB III
PENUTUP
  1. Analisis
Dari pemaparan panjang lebar yang kami kemukakan dalam dua bab sebelumnya, maka peneliti melakukan analisa sebagaimana berikut ini:
  1. Sebab dan alasan dikeluarkannya pasal controversial mengenai penerapan syariat Islam untuk non Muslim di Aceh:
Sesuai dengan data yang diterima oleh peneliti dari wawancara-wawancara yang pernah dilakukan dengan pihak yang terkait dalam masalah ini, peneliti bisa menyimpulkan yang bahwa asas dasar dikeluarkannya pasal controversial mengenai penerapan qanun jinayat untuk non Muslim di Aceh hanya semata-mata untuk menyempurnakan penerapan syariat Islam yang sedang berjalan di Aceh, dan hanya untuk menegakkan rasa keadilan terhadap semua kelompok masyarakat yang berada di propinsi Aceh, dengan berpayung dalam satu hukum yang sama tanpa membedakan ras, agama dan lain-lainnya. Dalam penerapan qanun ini tidak ada unsur-unsur yang lain yang melatarbelakangi dikeluarkannya pasal dalam qanun jinayat tersebut sebagaimana yang pernah ditudingkan oleh sebagian orang atau kelompok. Dalam penerapan qanun tersebut juga tidak ada sedikitpun bentuk pemaksaan ajaran Islam terhadap warga non Muslim di Aceh.
  1. Tanggapan masyarakat terhadap penerapan qanun Hukum Acara Jinayat untuk non Muslim:
Respon masyarakat berkaitan hal ini baik mereka yang beragama Islam atau mereka yang non  Muslim dari hasil data penelitian peneliti sebagai berikut:
-         Pasal penerapan qanun jinayat untuk non Muslim banyak menuai kekontroversian antara masyarakat, munculnya pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat dengan berbagai macam alasan yang mereka kemukakan.
-         Banyak juga pihak yang menilai pasal ini hanya bersifat antisipatif saja terhadap hukum-hukum yang tidak termaktub dalam undang-undang KUHP.
-         Disamping banyak masyarakat yang pro terhadap penerapan qanun tersebut, tapi tidak sedikit juga mereka yang kontra terutama dari kalangan non Muslim, yang lebih karena disebabkan oleh kurangnya sosialisasi pemerintah terhadap qanun tersebut untuk masyarakat non Muslim.
  1. Kesimpulan
Dari uraian penelitian diatas peneliti disini dapat menyimpulkan sebagaimana berikut ini. kebanyakan informan dan khususnya mereka yang non Muslim tidak menyetujui penerapan qanun hukum acara jinayat untuk masyarakat non Muslim di Aceh, karena mereka menilai hukum Islam itu hanya berlaku untuk masyarakat Muslim tidak untuk lainnya, sebagian yang lain menilai pasal mengenai penerapan qanun hukum acara jinayat untuk non Muslim tidak dapat diimplementasikan dikarenakan tidak adanya hukum materil terhadap pasal tersebut, karena empat hukum materil mengenai penerapan syariat Islam di Aceh semuanya berlaku untuk non Muslim, disamping itu ada juga yang menolak dengan landasan kekhawatiran mereka terhadap polisi syariat yang akan berlaku semena-mena dalam penerapannya nantinya.
Walaupun demikian banyaknya yang kontra dengan penerapan qanun diatas, tidak sedikit juga yang pro dan mendukung penerapan qanun tersebut untuk masyarakat non Muslim, pendapat yang pro in tentunya lebih didomonasi oleh mereka yang beragama Islam, karena mereka menilai ini merupakan bentuk penyempurnaan terhadap syariat Islam yang sedang berlaku didaerah Aceh, dan bentuk dari suatu keadilan untuk semua elemen masyarakat dihadapan hukum tanpa membedakan ras, fisik, agama dan lain-lainnya. Ada juga masyarakat non Muslim yang pro dan mendukung upaya pemerintah Aceh dalam menerapkan qanun hukum acara jinayat untuk non Muslim karena mereka memandang yang paling penting adalah hasilnya bukan proses, yaitu terciptanya suasana damai di Aceh dengan tanpa terjadi apapun bentuk kriminalitas atau pidana jinayat.
Pasal tentang penerapan qanun jinayat Islam untuk masyarakat non Muslim di Aceh dikeluarkan oleh Dinas Syariat Islam Aceh dan disahkan oleh DPRA pada tanggal 13 desember 2013 M. Dengan tujuan menyempurnakan syariat Islam yang sedang berlaku dan menciptakannya rasa keadilan bagi seluruh masyarakat Aceh dihadapan hukum. Penerapan hukum jinayat untuk masyarakat non Muslim seperti ini sesuai dengan penerapan yang pernah dilakukan oleh pemerintah Islam (baik dizaman Rasulullah saw atau setelahnya) untuk masyarakat non Muslim yang berada dibawah kekuasaan mereka, hal ini semata-mata dilakukan hanya untuk menciptakan keadilan bagi semua. Dan qanun ini tidak dikeluarkan kecuali atas asas keadilan dan keseimbangan, dan untuk menjaga hak asasi manusia.
  1. Saran-saran
Untuk lebih mengoptimalkan penerapan qanun hukum acara jinayat untuk masyarakat non Muslim di Aceh, disini peneliti memberikan beberapa usulan dan saran berlandaskan hasil penelitian yang telah dilakukan, diantaranya:
-         Dibutuhnya banyak pensosialisasian qanun tersebut untuk masyarakat non Muslim khususnya agar mereka dapat memahami dengan baik alasan, sebab dan tujuan qanun itu dikeluarkan.
-         Pemerintah perlu melakukan banyak pendekatan keagamaan antara agama-agama yang ada di Aceh, karena tidak tertutup kemungkinan qanun yang berlaku dalam syariat Islam juga punya dasarnya dalam normative hukum agama lain. Ini beranjak dari kisah baginda Rasulullah saw yang pernah menghukumi dua pasangan Yahudi yang berzina dengan hukum syariat mereka yang didapatkan tidak berbeda dengan yang terdapat dalam syariat Islam.

Daftar Pustaka
Yusuf al-Qardhawy, ghairu al-Muslimin fii al-Mujtama` al-Islami (non muslim dalam masyarakat Islam), Saudi Arabia: yayasan al-Risalah, 2010 M.
Hikmat bin Basyir bin Yasin, samahatu al-Islam fii ta`amuli ma`a ghairi al-Muslimin (agama Islam dalam berinteraksi dengan non muslim), Saudi Arabia: kementrian waqaf Saudi Arabia.
Khalid bin Muhammad Majid, ahkam al-Ta`amul ma`a ghairu al-Muslimin (hukum-hukum dalam bermuamalah dengan non muslim).
Sabiq Sayid, fiqhu al-Sunnah, Beirut: Dar al-Kutub al-Araby, cetakan ketiga, 1977 M.
Muhammad Siddiq, Syariat Islam bagi non Muslim, http: //www. acehinstitute. org/id/ pojok-publik/hukum/item/217-syariat-islam-bagi-non-muslim.html, diakses pada tanggal 15 mei 2014.
Nurdin Hasan, Hukum Syariat berlaku untuk warga non Muslim di Aceh, http://khabarsoutheastasia.com/id/articles/apwi/articles/features/2014/03/22/feature-02, diakses pada tanggal 15 mei 2014.








[1] . Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut-Lebanon, Dar al-Kitab al-Araby, cet 3, jilid 2, hal: 502.
[2] . http://www.acehinstitute.org/id/pojok-publik/hukum/item/217-syariat-islam-bagi-non-muslim.html
[3] . http://khabarsoutheastasia.com/id/articles/apwi/articles/features/2014/03/22/feature-02

Komentar

Postingan Populer