icmi dan peranannya dalam perpolitikan Indonesia
BAB I:
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Ikatan Cendekiawan
Muslim se-Indonesia (ICMI) berdiri sebagai bentuk dari politik akomodasi Orde
Baru yang didirikan pada tanggal 7 Desember 1990 bertepatan dengan tanggal 20
Jumadil Awal 1411 H. dan yang menjabatsebagai ketua umum Ikatan Cendekiawan
Muslim se-Indonesia (ICMI) yang pertama kalinya ialah Prof. Dr. Ing. Baharuddin
Yusuf Habibie. Sebagaimana tercantum dalam Muqaddimah Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga ICMI, ICMI didirikan karena adanya kesadaran akan
kedudukan cendekiawan muslim sebagai abdi Allah dan peranannya sebagai warga
negara Republik Indonesia, serta besarnya tantangan yang sedang akan dihadapi
oleh bangsa Indonesia. Fenomena kelahiran ICMI yang dipimpin oleh BJ Habibie
yang nota bene sebagai menteri dalam kabinet pembangunan pada waktu itu, telah
mengundang kontroversi di kalangan publik. Kontroversi ini terutama berkaitan
dengan sikap pro dan kontra perlu tidaknya sebuah komunitas cendekiawan untuk
terlibat dalam suatu kekuasaan negara. Mereka yang pro terhadap ICMI memandang
bahwa organisasi ICMI merupakan wadah integratif bagi kekuatan cendekiawan
Islam yang ada, sehingga ICMI merupakan rahmat bagi umat Islam di Indonesia
Sedangkan mereka yang kontra tentu memiliki alasan tersendiri bahwa kepentingan
ICMI akan digunakan oleh sebagian orang untuk kepentingan yang bersifat sempit
dalam rangka memasuki sistem kekuasaan.ICMI sebagai organisasi kemasyarakatan yang
bercirikan kebudayaan sebagaimana yang terumuskan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga, secara tegas menyatakan bahwa organisasi ini tidak mempunyai
tujuan politik. Berdirinya ICMI juga tidak dilatarbelakangi oleh politik
melainkan didororong oleh kesadaran budaya kaum cendekiawan muslim untuk
meningkatkan perannya dalam pembangunan bangsa.Meskipun ICMI sudah dinisbatkan
sebagai gerakan budaya, tetapi wajah populer dari organisasi ini sendiri
ternyata lebih sering dilihat dengan kaca mata politik. Mungkin karena
kelahiran ICMI sendiri tidak lepas dari dinamika dan perkembangan sejarah umat
Islam Indonesia.18 Hal ini disebabkan karena banyak
kader-kader ICMI yang telibat dalam kegiatan politik. Walaupun dalam kegiatan
politik tidak membawa atau tidak terkait langsung dengan ICMI, tetapi oleh
banyak kalangan dianggap sebagai realiasai manuver politik ICMI, sebagai satu
bentuk dari dinamisasi program dan kegiatan ICMI. Anggapan-anggapan ini semakin
terlihat pada figur ketua umum (BJ. Habibie) ICMI sebagai motor penggerak
kegiatan ICMI sehingga langkah apapun yang diayunkan BJ Habibie membawa dampak
pada ICMI,atau setidaknya nama ICMI selalu terbawa pula. BJ Habibie misalnya,
telah disebut-sebut berhasil memasukkan orang-orang ICMI dalam DPR/MPR, kabinet
dan kepengurusan teras Golkar, yang oleh para pengamat dinilai sebagai
peng-ijo royo-royo-an
dari senayan sampai kabinet.Sehingga semua perilaku BJ. Habibie dan kader-kader
ICMI yang terlibat dalam kegiatan politik mengakibatkan dampak terbentuknya
opini publik (public
opinion) bahwa ICMI telah
menjadi bagian dan bermain dalam kekuasaan dan politik praktis. Sekalipun
seringkali dikemukakan bahwa perlu dibedakan antara tindakan Habibie sebagai
pribadi dan posisinya sebagai ketua umum ICMI, masyarakat tetap saja
mengidentikkan dan mengkaitkan langkah BJ. Habibie sebagai bagian dari langkah
“Politik ICMI”. Dari uraian diatas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji dan
menganalisis keberadan keberadaan ormas cendikiawan ini dengan menyebutkan
sedikit peranannya dalam dunia perpolitikan Islam di Indonesia.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang
masalah di atas, maka penulis ingin mengkaji
-
ICMI pertumbuhan dan perkembangannya
-
Visi dan misi ICMI
-
Peranan ICMI dalam dunia perpolitikan Islam
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan
ilmiah dari penulisaan makalah ini ialah untuk lebih mengenali sebuah ormas
cendikiawan Islam di Indonesia,kemudian juga peranan mereka dalam perkembangan
perpolitikan Islam di Indonesia.
BAB
II:
ICMI
: PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
A.
Latar belakang berdirinya ICMI
Kelahiran ICMI bukanlah sebuah kebetulan sejarah
belaka.Tetapi erat kaitannya dengan perkembangan global regional didalam dan
luar negeri.Menjelang akhir 1980-an dan awal dekade 1990-an,dunia ditandai
dengan berakhirnya perang dingin dan konflik idiologi, keruntuhan komunisme
sebagai salah satu idiologi yang kuat diduniamengakibatkan terjadinya
perpecahan dan disintregasi di negaranegarayang diperintah oleh rezim komunis,
khususnya di EropaTimur.Ketika kemudian Uni Soviet sebagai negara adikuasa juga
runtuh,peta politik dunia juga berubah secara drastis.Barat dan khususnya Amerika
yang memegang hegemoni kekuatan, tidak lagi memiliki “lawan tanding” yang
tangguh dalam perebutan pengaruh.Sementara itu, disisi lain diberbagai belahan
dunia tertentu muncul semangat kebangkitan agama (religious revival)
yang membawa implikasi bagi adanya resistensi terhadap arus kekuatan sekuler
sebagai produk dari peradaban barat.Kebangkitan agama itu secara mencolok juga
ditandai dengan tampilnya Islam sebagai idiologi peradaban dunia dan kekuatan alternative
bagi perkembangan peradaban dunia. Bagi barat, kebangkitan Islam ini menjadi
masalah yang serius karena itu berarti hegemoni mereka menjadi terancam.Apa
yang diproyeksikan sebagai konflik antar peradaban.Lahir dari perasaan terancam
barat yang subjektif terhadap Islam sebagai kekuatan peradaban dunia yang
sedang bangkit kembali.Tetapi bagi umat Islam sendiri,kebangkitan yang muncul
justru memberikan motifasi untuk mencari alternatif bagi munculnya nilai-nilai kultur
yang membebaskan manusia dari kegelisahan batin dan ketidakpastian tujuan
hidup,sebagai akibat perkembangan peradaban yang terlalu berorientasi pada
materialistis.Manusia,termasuk manusia Indonesia, terus mencari-cari pegangan agar
tidak goyah oleh perubahan apapun.Dalam situasi seperti ini, Islam ternyata
menjadi pilihan yang lebih menjanjikan dibanding idiologi atau peradaban
manapun.Bertahap tetapi pasti semangat keislaman meningkat dan menyatu dalam identitas
keindonesian bangsa Indonesia yang tengah melaksanakan pembangunan.Dalam kehidupan
bangsa dan negara.Meningkatnya peran serta umat Islam itu ditunjang dengan
adanya
ledakan
kaum terdidik (Intelektual Booming) dikalangan kelas menengah kaum
santri Indonesia.[1] Dikalangan
mahasiswa peningkatan minat dan apresiasi terhadap ajaran Islam juga merupakan
gejala yang umum.
Dasawarsa 1980 menyaksikan kemunculan banyak
kelompok-kelompok studi Islam dikalangan mahasiswa,baik universitas negeri
maupun swasta,dan umum atau agama. Kelompok-kelompok studi keislaman ini dalam aktifitas
mereka lebih lanjut memusatkan kegiatan bukan hanya pada pengkajian pemikiran
dan ajaran Islam,tetapi juga pada kegiatan-kegiatan yang sekarang populer
dengan termasuk dakwah bil al-haal.Banyak diantara mereka terjun
langsung kemasyarakat melalui aksi-aksi sosial yang mencakup bukan hanya pendidikan
keagamaan seperti pemberatasan buta huruf Al-Quran,tetapi juga penyantunan
ekonomi, kesehatan lingkungan dan lain-lain.[2]
Panen besar kaum terpelajar muslim itu semakin bertambah ketika dunia
pendidikan makin memberikan peluang kepada mereka untuk bisa meneruskan
pendidikan kejenjang yang lebih tinggi,baik dalam maupun luar negeri.Berkat
kecakapan dan kemampuan akademik yang tinggi.Kelas menengah “ neo santri ” yang
terpelajar itu dapat memasuki dan mengisi lapisan birokrasi,dunia kampus,dunia
usaha,dan lembaga-lembaga masyarakat dengan profesionalisme yang teruji.Dengan
kondisi yang membaik ini,maka pada dasawarsa 1980-an mitos bahwa “umat Islam Indonesia
merupakan mayoritas tetapi secara teknis minoritas” runtuh dengan sendirinya. Disamping
kemajuan-kemajuan yang dicapai umat Islam, juga terjalinnya hubungan yang lebih
mesra antara pemerintah dengan kalangan Islam. Hal ini dapat dilihat dari
komitmen pemerintah untuk mewujudkan Undang-Undang Pendidikan Nasional tahun
1988 dan Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA) tahun 1989.semua itu telah memperlihatkan
hubungan yang mesra dengan kalangan Islam [3]
dan juga mulai memudarnya kecurigaan pemerintah kepada kalangan Islam yang akan
mendirikan negara Islam. Kelahiran ICMI (Ikatan Cendekiawan Islam Se-Indonesia)
menjelang akhir 1990, menurut sumber-sumber yang dapat dipercaya, juga
dimotifasi semangat untuk membendung ekspansi kristenisasi pada berbagai sektor
masyarakat.[4] Namun
demikian disadari bahwa motivasi kelahiran ICMI juga tidak dipisahkan dari
kehendak kalangan cendekiawan muslim untuk menciptakan keadaan yang lebih adil
dan profesional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Kehendak ini wajar
karena dimasa lalu, umat Islam oleh karena kondisi objektif yang dimilikinya,ataupun
karena rekayasa pihak-pihak tertentu, berada dalam posisi yang marginal,bahkan
pernah diidentifikasikan sebagai kekuatan-kekuatan distruktif yang anti pembangunan.Melalui
ICMI sebagai agregat kaum cendekiawan muslim,diharapkan muncul
perubahan-perubahan yang dinamis dalam Indonesia yang merdeka, maju, bersatu,
berdaulat, adil, makmur dan lestari berdasarkan Pancasila.
B.
VISI DAN MISI ICMI
Aktifitas sebuah organisasi tidak akan lepas dari
misi dan visi yang dimiliki oleh organisasi tersebut.Begitu pula dengan ICMI
untuk dapat memahami misi dan visi ICMI sebaiknya penulis terangkan pengertian-pengertian
dasar tentang cendekiawan, kecendekiawanan,cendekiawan muslim dan Ikatan
Cendekiawan Muslin se-Indonesia.Yang dimaksud dengan cendekiawan adalah orang
yang karena pendidikannya,baik formal maupun informal mempunyai wawasan,sikap
dan perilaku cendekia. Wawasan, sikap, perilaku cendekia ini tercermin dalam
kemampuannya untuk menatap,menafsirkan dan merespon lingkungan hidupnya dan
perkembangan masyarakat dengan sikap kritis,kreatif,objektif dan analitis,atas
tanggung jawab moral dan kemanusiaan.Dengan demikian cendekiawan bukanlah
status, tetapi lebih merupakan panggilan nurani untuk peranan dan misi dalam
masyarakat.Kecendekiawanan bukan terletak pada apakah seseorang memiliki ilmu atau
tidak,atau pada gradasi pendidikan, tetapi terutama pada komitmen seseorang
untuk melibatkan diri masalah-masalah kemanusian dan kemasyarakatan. Dengan
demikian ciri dasar kecendekiawanan adalah kepedulian terhadap masyarakat serta
terus menerus berusaha memberikan respon yang tepat dan bertanggung jawab. Demikian
pula alam pikiran terbuka yang melekat pada subkultural kaum cendekiawan
memberikan keleluasaan kepada mereka untuk melakukan kritrik sosial,antara lain
dengan membandingkan praktek dengan teori, atau antara “apa yang ada” (das
Sein) dengan “apa yang idial” (das Sollen). Kritisme itu dapat
mencakup segi moral, etik,sosial, politik, budaya dan lain sebagainya.Sedangkan
yang dimaksud dengan cendekiawan muslim adalah seorang atau sekelompok orang Islam
yang terus–menerus meningkatkan kemampuan berfikir, menggali, dan mengamalkan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta kehidupan keagamaan dan kehidupan sosial
keagamaan untuk mengabdikan bagi kesejahteran umat Islam.[5]
Ikatan Cendekiawan muslim Se-Indonesia (ICMI) adalah organisasi kemasyarakatan
yang bersifat keagamaan dan kebudayaan yang menghimpun para cendekiawan muslim
se-indonesia atas dasar kesamaan cita-cita dan profersi kecendekiawanan,keilmuan
menujuk pada cara atau proses dalam mencapai tujuan. Sebagai organisasi
cendekiawan ICMI bercorak terbuka,bebas dan mandiri.Terbuka artinya menyerap
berbagai aspirasi masyarakat dan tanggap terhadap perkembangan dunia.Terbuka
artinya aktif melakukan komunikasi internal,diantara cendekiawan muslim
sendiri, maupun komunikasi ekternal dengan dunia lain.bebas dan mandiri berarti
percaya pada diri sendiri dalam mengambil keputusan,dan untuk selanjutnya
melakukan kegiatan kreatif dan inifatif.[6]
Konsep kecendekiawan dilingkungan ICMI mencakup beberapa genre pertama; adalah
cendekiawan dalam pengertian intelegensia yakni kaum terpelajar atau
berpendidikan. Kedua adalah kaum intelektual yang terlibat (Concerned
Intelektual). Ketiga adalah cendekiawan dalam arti “Ulama”. Tetapi
pengertian ulama disini berbeda dengan pengertian pastur, pendeta atau
rohaniawan dalam agama-agama lain. Ulama disini adalah orang-orang dengan
unsur-unsur iman, ilmu, takwa dan amal soleh, yang dalam Al-Quran sering
disebut sebagai ulil al bab. Dan keempat, dalam tradisi Hindu, Budha
dijumpai istilah sarjana yang artinya orang bijak dan peka, walaupun dalam
pengertian formalnya adalah orang yang menyandang gelar akademis. Dengan
cakupan itu maka, dilingkungan ICMI, cendekiawan diartikan secara luas yang
titik beratnya adalah memiliki kepekaan social dan komitmen terhadap persoalan
masyarakat banyak. Dengan perkataan lain, cendekiawan adalah mereka yang dengan
potensi manusiawinya, khususnya pengetahuan, keterampilan, atau ilmunya,
akademis atau tidak terpanggil untuk membaktikan dirinya untuk kepentingan
masyarakat.[7] Misi
penting yang diemban ICMI adalah menghimpun partisipasi umat Islam dan
meningkatkan partisipasi tersebut. Kurangnya partisipasi umat Islam sebenarnya
lebih banyak disebabkan karena kualitas sumberdaya manusia dari pada hambatan
dotriner yang bersumber pada pandangan teologis. Oleh karena itu, tujuan
himpunan ICMI difokuskan pada kualitas manusia yang disimbolkan dengan huruf
“K”. dengan perkataan lain, tujuan ICMI adalah pencapaian 5K atau lima kualitas
manusia, kualitas iman, kualitas fikir, kualitas kerja, kualitas karya dan kualitas
hidup. Peningkatan 5K ini adalah visi ICMI tentang pembangunan,yakni
interpretasi dari rumusan tujuan pembangunan menurut GBHN: “membangun manusia
seutuhnya dan masyarakat seluruhnya”.[8]
Misi lain ICMI adalah pembangunan dan perubahan sosial. Persepsi tentang misi
ini timbul dari kesadaran bahwa umat Islam pada umumnya berada dalam kondisi
keterbelakangan dan kemiskinan. Kesadaran semacam ini sangat mudah tumbuh
dikalangan cendekiawan, karena cendekiawan adalah manusia yang peka sosial.10 Untuk
mewujudkan misi dan visi, ICMI mempunyai kegiatankegiatan kemasyarakatan
seperti penyediaan beasiswa bagi penuntut ilmu yang keluarganya miskin atau
yatim piatu, bantuan peralatan dan buku kepada pesantren, peningkatan
pengajaran matematika dan sains disekolah-sekolah Islam, kerjasama ASEAN
diberbagai bidang ( bukan hanya dengan kelompok muslim tetapi juga dengan
kelompok non muslim). Pengembangan jaringan informasi elektronik global. ICMI juga
melakukan kegiatan intelektual, baik melalui organ utama ICMI,seperti Orsat
(Organisasi satuan) dan Orwil
(organisasi wilayah),maupun lembaga-lembaga khusus,seperti Cides (Center for
information and development studies) atau majelis sinergi kalam
(Masika) yang dikelola oleh generasi muda. Cides tidak hanya menyelenggarakan
seminar belaka, dan seminar-seminar khusus, baik bersifat nasional maupun internasional,
tetapi juga melakukan penelitian dan penerbitan majalah-majalah (Sintesa,
Fokus, Khazanah) atau buku-buku. Penerbitan harian umum Republika dan Majalah
Umat, dapat pula dianggap sebagai kegiatan kecendekiawanan. Dan dalam
forum-forum Ilmiah yang bersifat terbuka,ICMI bersikap kritis terhadap
persoalan-persoalan yang berkembang dimasyarakat dan juga terhadap
kritik-kritik yang dilemparkan terhadapnya. Dan dalam forum ilmiah tersebut,ICMI
juga merintis komunikasi dan kerja sama dengan PIKI (Persatuan Intelegesia
Kristen), ISKA (Ikatan Sarjana Katolik, FCH (Forum Cendekiawan Hindu Indonesia)
dan KCHBI (Kelompok Cendekiawan Budha Indonesia).[9]
C.
ICMI Sebagai Gerakan Politik Islam.
Sejarah kelahiran ICMI telah menyita perhatian
pengamat politik baik dari dalam maupun luar negeri. Berbagai tanggapan,
komentar dan kritik merebak mewarnai perjalanan Organisasi tersebut. Bahkan sejak
pencetusannya hingga kini seakan-akan ICMI menjadi “faktor baru” yang
diperhitungkan sebagai kekuatan strategis dalam peta perpolitikkan Indonesia
pada umumnya dan Islam pada khususnya Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia
(ICMI) lahir adalah buah dari proses politik. Dimana pada waktu itu, mulai
membaiknya hubungan Islam dengan Birokrasi (Pemerintah). Hubungan itu bersifat reprokal
atau timbal balik.Sehingga menumbuhkan konvergensi diantara dua belah pihak
Ketika pengumuman susunan pengurus ICMI tanggal 13 Februari 1991,BJ Habibie
mengatakan bahwa “ICMI bukanlah organisasi politik,dan bukan pula organisasi
massa yang bernaung dibawah organisasi politik.Tujuan pembentukan ICMI adalah
untuk meningkatkan kualitas hidup,kualitas kerja,kualitas karya, serta kualitas
berfikir seluruh bangsa indonesia, khususnya umat Islam” ujarnya. Penegasan ini
selalu diulanginya dalam berbagai kesempatan. Ia sepertinya mengesankan bahwa
ICMI tidak akan berpolitik. Persoalannya adalah mungkinkah cendekiawan tidak
berpolitik ?[10]Salah
satu dari fungsi utama kaum cendekiawan, menurut Edward Shil adalah “Memainkan
peran politik “sebab dengan memainkan peran politik, seorang cendekiawan
terlibat dalam persoalan-persoalan masyarakatnya. Sehingga tokoh semacam Bung
Hatta pun tidak ragu untuk mengatakan bahwa politik adalah salah satu bentuk
keterlibatan kaum cendekiawan.Jika demikian persoalannya, adakah peluang bagi organisasi
semacam ICMI untuk berpolitik?[11]Dari
pernyataan Habibie diatas seolah-olah ruang untuk berpolitik bagi ICMI telah
tertutup.Tetapi apakah benar bahwa ICMI memang apolitik? Bagi Dr.Afan Gaffar
pakar politik dan pengamat politik dari UGM Yogyakarta, “ICMI tidak akan
a-politik, tidak ada Ormas di Indonesia ini yang tidak berpolitik ICMI pun
menurut hemat saya juga berpolitik hanya artikulasinya saja yang berbeda dengan
Ormas lain”tandasnya.Sebagai agregat cendekiawan muslim,ICMI merupakan lahan yang
efektif untuk menggalang potensi mengkomunikasikan dan medesiminasikan
ide-ide,menggalang lobi dan sebagainya.Menurut Affan,peran politik ICMI yang
paling signifikan adalah mengkondisikan hubungan yang tidak konfrontatif antar
Islam dengan Birokrasi Orde Baru.[12]
Senada dengan pendapat Affan,Dr.Arbisanit mengatakan “sepak terjang ICMI jelas
menunjukkan keterlibatannya dalam politik praktis”.Hal ini tampak dalam
“penghijauan” MPR 1993-1998, kabinet pembangunan IV, dan pengurus Golkar.Amin Rais
dari kalangan dalam juga mengakuinya, “ walaupun ICMI bukan Organisasi politik
dan tidak berpolitik praktis, saya yakin ICMI mempunyai politik leverge yang
besar.Sejalan dengan pendapat Adi Sasono,ICMI tidak boleh buta politik.[13]
Diantara artikulasi politik ICMI yang tidak konfrontatif dengan birokrasi Orde
Baru menjadikan pengaruh nyata bagi kelompokkelompok kelas menengah yang soleh
dan tekun menjalankan perintah agama, dan membuat birokrat yang semula takut
berjamah jum’at menjadi bangga melakukannya. Dan menguatnya kepatuhan pada
Islam dikalangan kelas menengah dan pejabat pemerintah, menurut Nurcholis Majid
adalah sebuah pencapaian yang sangat berharga.[14]BJ
Habibie sebagai ketua umum ICMI,dan politisi yang ada dalam pemerintahan dan
dekat dengan lingkaran kekuasaan—pada waktu itu— menjadikan langkah-langkah
politiknya yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan ICMI oleh banyak
kalangan telah dilihat sebagai realisasi manufer politik ICMI, sebagai suatu
bentuk dari dinamisasi program dan kegiatan ICMI.Disamping Habibie, banyak
anggota ICMI yang masuk dalam dunia politik, sehingga hal itu telah memberikan
pengaruh politik yang dalam perkembangan politik Islam di Indonesia.
Partisipasi anggota ICMI tampak pada anggota legislatif 1993-1998, sebagaimana
yang dikemukakan Arbisanit, “DPR dan MPR telah menjadi hijau karena ICMI,
demikian dengan kabinet dan Golkar.Peran ICMI makin kelihatan sangat besar,terutama
sekali karena posisi ketua umumnya waktu itu Habibie Menristek kemudian menjadi
Wakil Presiden dan Presiden RI yang ketiga.Demikian fenomena keterlibatan ICMI
dalam dinamika politik Islam di Indonesia sebagaimana telah kita ketahui bersama
bahwa keberadaan ICMI telah memberikan fenomena baru bagi umat Islam khususnya
dan bagi bangsa Indonesia pada umumnya.Namun sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas
ICMI diperlukan suatu kajian untuk mengkaji dan mengkritiknya tanpa mengurangi
rasa hormat atas semua yang disumbangkan kepada umat Islam.
D.
Gerakan ICMI Pasca Orde Baru (1998-2003)
Mundurnya Presiden Soeharto (Mei 1998) dari pucuk pimpinan
pemerintahan, telah membawa banyak perubahan dalam berbagai bidang. Pembaharuan
besar juga terjadi pada ICMI, dimana BJ Habibie-pada waktu itu menjabat sebagai
Ketua Umum ICMI-naik menjadi Presiden RI yang ketiga menggantikan
Soeharto.Pembaharuan prinsip perjuangan ICMI terjadi pada Muktamar III Ikatan
Cendikiawan Muslim se-Indonesia tahun 2000,yang mana ICMI sebagai organisasi
kebudayaan yang bergerak dalam bidang keagamaan yang pada awalnya berasaskan
Pancasila, merubah dirinya menjadi berasaskan Islam,sebagai dasar dan
perjuangan.[15]ICMI
adalah organisasi yang menampung para cendikiawan muslim se-Indonesia yang
bertujuan mewujudkan tata kehidupan masyarakat madani yang damai adil sejahtera
lahir dan batin,yang diridoi Allah SWT dengan meningkatkan kualitas
manusia,kualitas iman, kualitas fikir, kualitas kerja, kualitas karya dan kualitas
hidup.Untuk mencapai tujuan tersebut ,ICMI mengadakan kegiatan-kegiatan sebagai
berikut:[16]
1.
Menyelenggarakan komunikasi dan kerjasama dalam berbagai kalangan, baik
perorangan, lembaga, perhimpunan, pemerintah maupun swasta.
2.Berperan
aktif dalam kegiatan pengembangan pendidikan dan kualitas sumber daya manusia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan masyarakat dan bangsa,khususnya umat Islam
Indonesia.
3.
Meningkatkan mutu para anggota serta mengembangkan kegiatan kepakaran melalui
koordinasi system jaringan informasi dan komunikasi didalam maupun diluar
negeri.
4.
Menyelenggarakan berbagai pemikiran, penelitian dan pengkajian yang inofatif,
strategis dan antisipatif serta berupaya merumuskan dan memecahkan berbagai
masalah
lokal,
regional nasional dan global.
5.
Menyelenggarakan berbagai kegiatan dibidang sosial, budaya, ekonomi, politik
dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan martabat rakyat kecil dan kaum yang
lemah,guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
E.Gerakan
Politik ICMI Pasca Orde Baru
Naiknya Habibie-yang pada waktu itu menjadi Ketua
Umum ICMI-menjadi Presiden ketiga RI menggantikan Soeharto, membuat ICMI
semakin dekat dengan kekuasaan (pemerintah) dan mejadikan ICMI mempunyai
kekuatan politik yang besar dan menentukan.Hal ini terlihat dengan banyaknya
anggota ICMI yang diangkat oleh Habibie menjadi menteri dalam Kabinet
Reformasi.Tetapi keadaan ini hanya bertahan satu tahun,karena Habibie menjadi
Presiden hanya untuk menghantarkan bangsa Indonesia menuju reformasi,ditandai
dengan Pemilihan Umum 1999 yang dianggap sebagai Pemilihan Umum yang paling
jujur dan adil selama tiga dasawarsa terakhir. Pada Muktamar III Ikatan
Cendekiawan Islam Se-Indonesia tanggal 9-12 November 2000 timbul pemikiran yang
bernada pesimis terhadap masa depan organisasi Islam ini,misalnya timbul
pendapat yang menganggap bahwa peran ICMI sudah kehilangan gregetnya setelah mantan
ketua umumnya BJ Habibie tidak lagi berada dipuncak kekuasaan.Hal ini disebabkan
karena ICMI identik dengan Habibie dan Habibie sama dengan ICMI.Sebagai mana
diakui oleh Dawam Raharjo,bahwa image ICMI saat ini berubah jelek seiring
dengan lengsernya Habibie.[17]
Setelah runtuhnya rezim Orde Baru–ditandai lengsernya Soeharto—dan digantikan
dengan Orde Reformasi dan juga hilangnya sosok Habibie dalam ICMI menjadi
seolah-olah surut pula peran politiknya. Dan semakin menurunnya peran politik
ICMI menurut Tebba Sudirman sebaiknya ICMI kembali sebagai organisasi
kebudayaan dibidang keagamaan.[18]Dalam
jumpa pers seusai penutupan muktamar III di Jakarta,Adi Sasono mengatakan “ICMI
tidak akan pernah menjadi oposan, karena ICMI bukanlah partai politik. Namun
juga tidak bisa dipaksakan untuk selalu pro terhadap pemerintah”.[19]
“Kita akan dukung program pemerintah yang positif buat bangsa dan negara. Tapi
juga akan mengkritik sikap yang dipandang sebagai penyalahgunan amanat publik
dalam penyelenggaraan pemerintah”.[20]Lebih
lanjut, Adi mengatakan bahwa cedekiawan tidak boleh netral.Karena sebenarnya
tugas cedekiawan itu sendiri adalah mengakomodasi kebijaksanaan publik merupakan
akar masalah terjadinya berbagai persoalan yang dihadapi saat ini. Karena itu,
ujarnya penilaian bahwa cedekiawan tidak boleh berpolitik adalah keliru.[21]dan
pernyataan Adi Sasono diperkuat oleh Prof Dr M Dawam Raharjo dalam symposium nasional
kontemplasi ICMI digedung Widyaloka Universitas Brawijaya Malang. “Bahwa ICMI
tidak akan sekali-kali meninggalkan wacana
politik,
sebab jika meninggalkan wacana politik, maka umat Islam akan kembali
dipinggirkan, meski ICMI tidak akan membentuk partai politik Islam, tetap ICMI
akan mendukung partai politik Islam yang ada dan mendukung calon Presiden
dimasa mendatang.”[22]
Ungkapan senada juga disampaikan oleh Syafi’i Ma'arif “walaupun ICMI sudah
tidak dekat lagi dengan pemerintah (kekuasaan) tetapi ICMI harus independen,kalau
pemerintah salah dikritik, tapi kalau
pemerintah
memang benar, harus diakui kebenarannya.Dan sikap ICMI dalam bidang politik harus
bergerak dalam tataran high politic. Jadi high politic dalam
tataran teori maupun praktek, tidak seperti masa lalu dimana pada kerangka
teorinya high politik tapi dalam sikapnya ternyata tidak.[23]Kedepan
agar supaya ICMI dapat bertahan dan semakin meningkat, ICMI perlu memperhatikan
beberapa hal diantaranya,
pertama:
ICMI sebaiknya tetap tampil sebagai gerakan kultural dan secara ekplisit
mencerminkan gerakan politik.Ini tidak berarti bahwa ICMI lantas a-politik,
tetapi politik yang dikembangkan oleh ICMI adalah politik alokatif,yakni
politik yang bersubstansial nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan dalam arti
luas.Politik alokatif juga mengembangkan pemikiran dan orientasi politik yang
menekankan substansi dari nilai-nilai Islam (Islamic Inunctions)
dalam aktifitas politik.Politik alokatif menawarkan pengembangka Islamisasi
dalam wajah kultural yang produktif dan kontruktif dalam Indonesia modern yang
berdasarkan Pancasila.Agar politik alokatif itu dapat dikembangkan dengan baik
oleh ICMI,ia harus ditunjang oleh inklusifisme pemikiran dan wawasan politik
yang mengarah pada penampilan simbol-simbol politik yang terbuka, dimengerti
dan diterima baik oleh kalangan sendiri maupun kalangan luar.
Kedua:
ICMI perlu melakukan komunikasi yang lebih intensif baik secara internal maupun
dalam arti dengan sesama organisasi Islam maupun secara ekternal terutama
dengan kelompok-kelompok non muslim.Selama ini muncul kesan bahwa ICMI lebih
didominasi oleh kalangan modernis muslim,sedang kalangan tradisional muslim
baik dalam keanggotaan maupun aspirasi pemikiran terkesan under represented
.
Ketiga:
ICMI perlu memperluas basis sosial dukungan kalangan akar rumput (gross roat
people) ini hanya bisa terwujud apabila program dan agenda ICMI memihak
hajat hidup golongan kecil yang selama ini secara sengaja atau tidak sering
tergusur dan di anak tirikan.
Keempat:
ICMI bukan hanya harus peka terhadap isu-isu demokrasi,tetapi sekaligus juga
mempelopori mengimplementasikan kedalam atau keluar.[24]Untuk
mewujudkan cita-cita dan harapan tersebut, ICMI akan memperhatikan 3 hal,sebagai
mana dikatakan oleh Adi Sasono yang disampaikan dalam jumpa pers setelah
Muktamar III di Jakarta.Pertama: ICMI harus bergegas mengawasi era otonomi
daerah dengan pengembangan majelis kajian pembangunan daerah yang berfungsi
membantu Pemda dan masyarakat untuk merencanakan pembangunan dan mengembangkan
sumber daya lokal. Kedua: ICMI akan melakukan agenda kemanusian sebagai
komitmen
organisasi terhadap persatuan bangsa,ICMI mengajak semua unsur untuk melakukan
dialog kemanusiaan guna memecahkan berbagai kekerasan politik yang kini terjadi
diberbagai daerah.Ketiga: komitmen untuk membangun ekonomi kerakyatan sebagai
dasar pemulihan ekonomi nasional,karena tidak mugkin Negara bangkit kalau
ekonomi rakyat tidak diberi dukungan memadai.[25]Tekad
ICMI untuk tidak meninggalkan wacana politik dan ikut dalam pembangunan
Indonesia telihat pada Silahturahmi Kerja Nasional (Silaknas) ICMI di Pontianak
Kalimantan,yang dibuka oleh Wakil Presiden Hamzah Haz.Dalam Silaknas tersebut,ICMI
mencanangkan sistem ekonomi dengan menggunakan Dinar Dirham sebagai alat transaksi
guna menggantikan system ekonomi konfensional yang syarat dengan riba.[26]Gagasan
ICMI untuk mengagantikan system ekonomi konfensional dengan sistem ekonomi
Islam tidak hanya isapan jempol belaka, akan tetapi dilakukan dengan serius dan
sungguh-sungguh. Keseriusan tersebut terlihat dengan seringnya ICMI mengadakan
seminar tentang ekonomi Islam, seperti seminar Gold Dinar as Bilateral
Traiding Currency an Prospect and Implementation di Jakarta
(17/12/2003). Untuk dapat menggantikan alat transaksi konfensional dengan Dinar
Dirham, ICMI telah melakukan pembicaraan-pembicaraan dengan instansi-instansi
terkait seperti Departemen Keuangan maupun Bank Indonesia (BI). Namun,
perjalanan untuk merealisasikannya membutuhkan waktu yang tidak bisa cepat.
Sebagaimana diungkapkan oleh Muslimin Nasution “Tidak bisa kita katakan hari
ini ICMI memutuskan Dinar Dirham sebagai mata uang negara, maka berlaku, tetapi
perlu waktu” jelasnya. Hal ini dikarenakan Dinar merupakan sesuatu yang baru,meskipun
mata uang emas itu telah berlaku di zaman Rasulullah saw.Mereka (masyarakat)
masih berpikir agak rumit,apabila mengantongi emas dijalanan. Padahal,persoalan
fisiknya-kata Muslimin-bisa diatasi dengan tidak harus kemana-mana membawa
Dinar.Dengan kecanggihan teknologi perbankkan saat ini,transfer Dinar bisa saja
dilakukan melalui ATM.[27]Sebelum
mata uang Dinar dan Dirham berlaku,masyarakat dapat menggunakannya dalam
kehidupan sehari-hari.Misalnya,dapat digunakan mahar dalam pernikahan,untuk
pembayaran ongkos naik haji,bahkan dapat juga digunakan untk melakukan jual
beli tanah,karena nilai tukar emas tidak jatuh (inflasi).Apabila gagasan ini
tentang mata uang Dinar dan dirham dapat terwujud, maka ini adalah sebuah
prestasi politik Islam yang sangat besar bagi umat Islam di Indonesia,yang
dilakukan oleh ICMI..Gerakan politik yang lain yang dilakukan ICMI ialah
mendesak pemerintah MPR DPR dan pemerintah untuk segera melaksanakan Tap MPR
yang mengamanatkan penghentian kerja sama dengan IMF pada 2003, karena
kebijaksanaan ekonomi dengan resep IMF dan Bank Dunia tidak membawa perbaikan kondisi
ekonomi seperti yang diharapkan,akan tetapi membuat perekonomian nasional makin
parah.[28]Ikatan
Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) juga mendesak pemerintah dan DPR segera
mewujudkan adanya Undang-Undang (UU), tentang Perbankan Syariah. Menurut
Pejabat Ketua Umum ICMI Muslimin Nasution :“Sistem perbankan yang digunakan
saat ini berdampak pada penumpukkan kekayaan pada kelompok orang yang mengetahui
seluk beluk dan mekanisme untuk menguras kekayaan Negara seperti halnya yang
telah dilakukan oleh para konglomerat.”[29]ICMI
juga menyarankan kepada seluruh umat Islam Indonesia, agar memanfaatkan
sebesar-besarnya Bank Syariah untuk kegiatan perbankan. Selain UU tentang
Perbankan Syariah, juga ada sejumlah UU yang didesak untuk segera direvisi dan
dikeluarkan oleh pemerintah bersama DPR.UU yang perlu direvisi meliputiUU yang
mengatur tentang Privatisasi BUMN,UU tentang Pendidikan Nasional, UU tentang Harmonisasi
Bangsa, UU tentang Pembiayaan Pengembangan Masyarakat, pembaharuan terhadap UU
tentang Perkoperasian.UU lain syang perlu di keluarkan meliputi UU tentang
Pasar Modal Syariah.[30]
KESIMPULAN
Dari uraian yang telah penulis paparkan,banyak hal yang sebenarnya
bisa ditarik kesimpulan. diantaranya:
1. ICMI lahir dari kaum santri modern perkotaan yang membutuhkan
wadah dan keseimbangan baru dengan Islam, akibat Islam dipinggirkan dan umat Islam
dinista pada era Orde Baru, yang bertujuan membangun bangsa yang bermartabat
dan mandiri.Maka yang mendahului kelahiran ICMI adalahperjalanan panjang umat
Islam ditengah ‘badai politik’ yang tidak menginginkan ekistensi ‘Islam
politik’. Melalui wadah ICMI berbagai potensi Islam dipersatukan, timbul
kesadaran saling berakomodasi antara berbagai ‘pusat sumber kekuasaan’
cendekiawan muslim.
2. Lahirnya ICMI adalah salah satu corak pengejawantahan
kembangkitan kembali Islam Indonesia. Ini bisa disebut sebagai satu proses
alamiah bagi setiap komunitas yang ingin mempertahankan dan menjaga
kelangsungan hidupnya. Kebangkitan agama itu secara mencolok juga ditandai
dengan tampilnya Islam sebagai "ideologi peradaban" dunia dan
kekuatan alternative bagi perkembangan peradaban dunia. Bagi Barat, kebangkitan
Islam ini menjadi masalah yang serius karena itu berarti hegemoni mereka menjadi
terancam.
3. Jika "terpaksa" ICMI harus bermain di ranah politik,maka
yang perlu dimainkan adalah membangun kesadaran berpolitik masyarakat untuk menentukan
pilihannya sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Allah.ICMI justru harus berada
di atas semua gerakan politik, untuk memberikan pesan moral dan etika kepada
elit politik.Kader-kader ICMI memiliki hak dan kewajiban untuk terjun ke kancah
politik dalam rangka pergulatan penyusunan kebijakan publik.
DAFTAR PUSAKA
1. Anwar, M. Syafi’i, Pemikiran dan
Aksi Islam Indonesia, Sebuah Kajian Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru, Jakarta,
Paramadina, 1995.
2. Anggaran Rumah Tangga ICMI
3. Azra, Azyurmadi, Islam Reformis;
Dinamika Intelektual dan Gerakan, Jakarta,
PT.
Raja Grafindo Persada, 1999
4. Hefner, W. Roberts, ICMI dan
Perjuangan Menuju Kelas Menengah Indonesia,Alih Bahasa Endi Haryono,
Jakarta, Tiara Wacana, 1995
5. http:\\www.icmi.or.id
[1]
. http://www.icmi.or.id/.
[2] . Azyumardi
Azra, Islam Reformis; Dinamika Intelektual dan Gerakan, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1999, hlm. 21
[3]
. A. Makmur Makka, Dhurorudin Mashad, ICMI: Dinamika Politik Islam di
Indonesia, Jakarta: Pustaka Cesindo, 1996, hlm. 14-15
[4]
. Azyumardi Azra, op. cit , hlm. 22.
[6]
. Anggran Rumah Tangga ICMI Bab II Pasal 2 (1-9).
[7]
. M. Dawan Raharjo dalam Nasrullah Ali Fauzi (ed), ICMI; Antara Status Quo
dan Demokratisasi, Bandung: Mizan, cet. Ke-1, 1995, hlm. 38
[8]
. ibid, hlm. 39-40
[9]
. ibid, hlm. 42
[10]
. M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Sebuah Kajian Politik
Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995, hlm. 296.
[11]
. ibid, hlm. 297
[12]
. ibid
[13]
. Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Jakarta:
Gema Insani, 1996, hlm. 292
[14]
. W. Hafner Robert, ICMI dan Perjuangan Menuju Kelas Menengah Indonesia,
Alih bahasa: Endi Haryono, Jakarta: Tiara Wacana, 1995, hlm. 64
[15]
. Hasil Muhtamar III Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia tahun 2000; Bab II,Pasal
4 Anggaran Dasar ICMI, Arsip ICMI
[16]
. Anggaran Dasar ICMI BAB II Pasal 7, tentang kegiatan ICMI
[17]
. Republika, Demi Umat, ICMI Takkan Tinggalkan Wacana Politik, Minggu 5 Novem
ber 2000, hlm. 1 & 3
[18]
. Sudirman Thaba, Islam Pasca Orde Baru, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000,
hlm. 89
[19]
. Republika, ICMI Tak Akan Jadi Oposan, Senin 13 November 2000, hlm. 1
& 3
[20]
.ibid
[21]
.ibid
[22]
. Loc. Cit, Republika, Minggu 5 November 2000
[23]
. Syafi’i Maarif, Republika, Hapuskan Citra ICMI sebagai Kendaraan Politik, 13
November 2000, hlm. 12.
[24]
. Hari Sucipto, ICMI Demokrasi dan Nasib Ummat, Republika, Minggu 5 November
2000, hlm. 8
[25]
. Hari Sucipto, ICMI Demokrasi dan Nasib Ummat, Republika, Minggu 5
November 2000, hlm. 8
[26]
. Republika, 24 Januari 2003, hlm. 2
[27]
. http://www.icmi.or.id
[28]
. http://www.icmi.or.id
[29]
.ibid
[30]
.ibid
Komentar
Posting Komentar